Omnibus Law RUU Cipta Kerja Bisa Memangkas Ego Sektoral Kementerian dan Daerah

Diskusi virtual bertajuk "Menyederhanakan Hambatan Regulasi di Indonesia", Jumat (15/5).

JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA  – Praktisi dan akademisi hukum administrasi negara Universitas Indonesia Hari Prasetiyo melihat metode Omnibus Law dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sangat mungkin memangkas ego sektoral yang selama ini terjadi di berbagai kementerian.

“Secara prinsip, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini menguatkan wewenang presiden. Ini penting untuk memangkas ego sektoral antar kementerian bahkan ego dari pemerintahan daerah,” kata Hari dalam diskusi virtual bertajuk “Menyederhanakan Hambatan Regulasi di Indonesia”, Jumat (15/5).

Menurut Hari, ego sektoral kerap kali muncul karena di tiap kewenangan yang diberikan ke kementerian harus disahkan melalui Undang-Undang oleh DPR. Hal ini diperparah lagi dengan peraturan-peraturan menteri yang seringkali tumpang tindih.

Baca juga:  Dua Tersangka Curanmor Kelompok Guntur dan Mranggen Tak Berkutik

Dalam metode Omnibus Law yang digunakan dalam RUU Cipta Kerja, kewenangan kementerian ini cukup diberikan melalui aturan lanjutan tanpa harus membuat UU baru.


“Bisa cukup diatur dalam Peraturan Presiden, atau Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga ketika nanti kewenangannya dirasa overlap, presiden bisa tinggal cabut saja,” lanjut Hari.

Terkait otonomi daerah dan Peraturan Daerah (Perda) yang juga sering menjadi hambatan investasi, Hari menekankan bahwa otonomi daerah pada hakikatnya pembagian kewenangan kepada daerah oleh pemerintah pusat.

“Kita ini bukan negara federal, tapi negara kesatuan. Harus diingat bahwa pemerintah daerah, kepala daerah dan DPRD, termasuk pembantu presiden juga. Fungsinya adalah representasi pemerintah pusat di daerahnya masing-masing. Jadi produk perda harus sejalan dengan aturan diatasnya,” kata Hari pengajar tetap di Fakultas Hukum UI itu.

Baca juga:  Gus Ridho Doakan Gus Yasin Qobul Hajat

Kontroversi yang muncul di RUU Cipta Kerja adalah kewenangan presiden bisa mencabut Perda. Padahal sudah ada aturan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan tersebut.

“Pembatalan Perda oleh Presiden ini memang sudah pernah ada aturan MK-nya, tapi kita perlu ingat saat itu terjadi dissenting opinion juga dari empat hakim. Jadi secara akademik, masih sangat mungkin didiskusikan,” tandas Hari. (Rit)