JATENGPOS.CO.ID, Semarang – Pertumbuhan “startup” harus disesuaikan dengan regulasi di Tanah Air, kata pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha, Jumat petang.
Begitu pula sebaliknya, kata Pratama Persadha menjawab pertanyaan Antara di Semarang, peraturan perundang-undangan yang ada harus mengakomodasi sepanjang tidak membahayakan kepentingan nasional.
Menyinggung target 1.000 “stratup unicorn” di Indonesia untuk mendongkrak tingkat pertumbuhan ekonomi, Pratama mengatakan bahwa peluang pertumbuhan ekonomi lewat “stratup” terbuka lebar. Namun, bukan tanpa tantangan dan ancaman.
Pratama lantas memaparkan sejumlah langkah sebelum pendirian “startup”, yakni pertama, pemerintah perlu melakukan pemetaan. Kebutuhan apa saja yang bisa dibantu diwujudkan lewat aplikasi maupun “startup”.
Menurut dia, pemetaan ini penting agar terjaring “startup” yang memang punya peluang besar laris di dalam negeri. Kesuksesaan Go-Jek, misalnya, tidak lepas dari keberanian mereka memasukkan unsur kebutuhan lokal.
Pratama mengatakan bahwa pemetaan juga bisa membantu pemerintah dalam mewujudkan keamanan siber yang mumpuni di Tanah Air. Misalnya, surat elektronik (email) yang dipermudah dengan layanan penggunaan go.id maupun kebutuhan teknis pengamanan jaringan.
“Jelas ini membantu negara secara langsung,” ucap Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC).
Pemetaan, menurut Pratama, membuat arah kebijakan terkait dengan target 1.000 “stratup unicorn” tidak amburadul alias tertarget.
Langkah kedua, lanjut dia, adalah pengklasteran dan pendampingan. Pendampingan yang sangat krusial adalah advokasi permodalan. Hal ini penting agar “startup” bisa terus naik dan “survive” di pasar domestik.
Pratama menjelaskan bahwa pendampingan juga berfungsi untuk mengawal agar “stratup” dibangun dengan mengindahkan faktor keamanan siber, apalagi bila terkait dengan sektor finansial.
Langkah ketiga, katanya lagi, kembali pada peningkatan biaya riset agar ditemukan teknologi baru. Hal ini erat kaitannya dengan “bridging” (menjembatani) antara kampus dan industri besar agar kebutuhan industri bisa di-“provide” (disediakan) kampus. Begitu pun sebaliknya, kampus tidak kesulitan mencari pembiyaan riset.
“Pada akhirnya pemerintah akan tahu dari awal kebutuhan ‘startup’ macam apa untuk Indonesia. Di sinilah Pemerintah bisa mendorong tumbuh kembangnya,” tutur Pratama.
Pratama menyebutkan di seluruh dunia setidaknya ada 325 “startup unicorn”, dan empat di antaranya ada di Indonesia, yakni Go-Jek mempunyai valuasi 10 miliar dolar Amerika Serikat, Tokopedia 7 miliar dolar AS, Traveloka 2 miliar dolar AS, dan BukaLapak 1 miliar dolar AS. (udi/fid)