JATENGPOS.CO.ID, KUDUS – Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Kudus mencatat sebanyak 2.142 kasus stunting di temukan di Kudus. Jumlah tersebut berdasarkan data pada aplikasi Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM).
‘’Dari 50.087 anak yang menjadi sasaran pengukuran tumbuh kembang anak, tercatat ada 2.142 kasus stunting atau 4,27 persen,’’ ungkap Kepala DKK Kudus, dr Andini Aridewi, Senin (29/9/2025).
Sambung Andini, di dalam E-PPGBM juga disebutkan terdapat 1.941 kasus wasting, dengan 162 anak di antaranya mengalami gizi buruk. Saat ini, DKK Kudus terus melakukan berbagai upaya untuk menkan angka kasus tersebut.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meminimalisir angka kasus tersebut, diantaranya menggelar bimbingan teknis dalam peningkatan kompetensi petugas terkait tatalaksana kasus gizi, di Gedung Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kudus, Senin (29/9/2025).
‘’Kami terus berupaya dengan melaksanakan berbagai program untuk menekan angka kasus stunting dan gizi buruk di Kudus,’’ tandasnya.
Kabid Kesehatan Masyarakat DKK Kudus, Edi Kusworo menambahkan, berdasarkan data dua tahun terakhir, kasus stunting mengalami penurunan, dari 15,7 persen di tahun 2023 menjadi 13,2 persen di tahun 2024.
‘’Evaluasi terus dilakukan secara rutin setiap bulan. Termasuk melakukan pemantauan rutin sehingga ketika ada kenaikan angka langsung ditindaklanjuti faktor penyebabnya,’’ ungkapnya.
Tahun ini, lanjut Edi, DKK Kudus mengucurkan anggaran sebesar Rp1,3 miliar, untuk belanja Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu hamil dan balita. PMT ini menjadi salah satu langkah intervensi untuk mengatasi kasus stunting.
‘’Untuk ibu hamil, PMT diberikan dalam bentuk susu tambahan. Sedangkan untuk balita, ada dua jenis, yaitu PKMK dan PDK,’’ kata Dia.
Langkah lain, DKK Kudus melakukan deteksi dini kasus gizi buruk dan underweight (berat badan kurang). Meski kasus gizi buruk tercatat menurun, pihaknya menekankan bahwa penanganannya berbeda dengan stunting.
“Kalau gizi buruk, kadang disertai penyakit penyerta seperti TBC, HIV, atau sakit jantung. Penanganannya harus sesuai dengan kondisi masing-masing pasien,’’ tutupnya. (han/rit)