JATENGPOS.CO.ID, – Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk karakter dan budaya bangsa. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Satuan Pendidikan sebagai lembaga formal merupakan wadah untuk mencetak karakter dan kecerdasan generasi penerus bangsa. Karenanya, satuan pendidikan, baik sekolah umum maupun madrasah mempunyai tangung jawab untuk menggodok peserta didiknya menjadi generasi yang tangguh.
Seiring dengan reformasi zaman, perkembangan perilaku anak-anak pun mengalami reformasi. Tak ingin kecolongan perilaku anaknya terimbas dari tontonan pergaulan di media sosial ataupun media elektronik yang marak mempertontonkan kerakter “semau gue”, orang tua zaman now yang inginnya serba instan lebih memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah khusus berbasis agama. Indikasinya dengan menitipkan anaknya ke sekolah berbasis agama, orang tua tak lagi terlalu repot memantau karakter spiritual dan sosial anaknya. Ibaratnya semua pendidikan anak sudah “diborongkan” ke sekolah ataupun madrasah.
Tak salah para pakar pendidikan membuka ladang pendidikan lewat sekolah khusus berbasis agama. Gayung bersambut, pendirian sekolah berbasis agama pun mendapat restu dari pemerintah. Hingga menjamurlah sekolah-sekolah khusus berbasis agama. Lalu bagaimana nasib sekolah umum, yang peminatnya berkurang karena para orang tua dan anak-anak lebih memilih sekolah berbasis agama?
Berbagai upaya dilakukan oleh satuan pendidikan terlebih di sekolah umum, untuk meningkatkan karakter peserta didik. Mulai dari pembiasaan apel pagi, kajian rutin, ekstrakurikuler, pembelajaran berkarakter, hingga menjalin kerja sama dengan lembaga khusus keagamaan. Andai saja sinergitas pengelola pendidikan, orang tua peserta didik, peserta didik, dan komite beserta mitra sekolah seirama saling bergandengan tangan, upaya-upaya itu tentu bisa berjalan mulus hingga bisa mencetak kader bangsa yang berkarakter.
Berbagai trik khusus perlu dipilih sebagai pembanding agar sekolah umum tak kehilangan penggemar. Lewat program khusus yang dijadikan program unggulan bagi seolah umum. Menempatkan satu kelas khusus dilebeli “pendidikan khusus” yang memberi tambahan materi keagamaan, misal hafisz Quran. Penambahan waktu pembelajaran dengan kajian Quran. Membawa peserta didik ke lembaga nonformal semacam pondok pesantren untuk lebih mengenalkan peserta didik pada pendalaman agama secara intensif. Bisa juga memberi reward peserta didik yang berprestasi di bidang keagamaan.
Tentu banyak kendala dalam pengimplementasian pendidikan khusus tersebut. Mulai dari tenaga pendidik, sarana dan prasarana pendukung, biaya, juga sulitnya membangun mindset orang tua yang menganggap sekolah umum kurang menanamkan pendidikan karakter religius. Karena itu, perlu penguatan program pendidikan khusus melalui MoU dengan pondok pesantren (ponpes) yang nirlaba. Ponpes siap dengan tenaga pembimbing yang piawai di bidang agama dan bimbingan religius.
Namun ponpes memerlukan santri yang akan dibimbingya. Ponpes perlu juga pengakuaan akan keberadaannya sebagai lembaga nonformal. Nah, satuan pendidikan tinggal menggerakkan anak didiknya untuk dibina tambahan pendidikan khusus ke ponpes tersebut. Simbiosis mutualisma pun berlaku. Terkait dengan biaya, bisa diatasi dengan gotong royong dari sekolah, sumbangan pihak ketiga dan dari ponpres yang umumnya nirlaba. Ketika program itu terimplementasi, pastilah mindset orang tua bergeser menjadi yakin bahwa sekolah umum pun menanamkan pendidikan karakter religius. Dengan demikian upaya mewujudkan pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi peserta didik dan membentuk karakter bangsa bisa terwujud.
Dra. Utami Padriastuti, M.Pd.
SMP Negeri 4 Jatisrono, Kabupaten Wonogiri