Perkuat Literasi, Harapkan Kasus Uyghur Raih Simpati

Wawancara Eksklusif dengan Drs. Asep Setiawan, MA - Kaprodi Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

JATENGPOS.CO.ID,  JAKARTA – Topik Uyghur bukan sekedar permasalahan agama, lebih dari itu adalah persoalan tragedi kemanusiaan yang harus menjadi perhatian semua pihak. Minimnya kepedulian kasus dugaan genosida Uyghur di berbagai negara Muslim, khususnya di Indonesia menjadi permasalahan serius. Rendahnya literasi dan sengkarutnya informasi tumpang tindih yang terkadang dibalut dengan politisasi pemberitaan menjadikan kasus Uyghur direspon berbeda oleh masyarakat.

Penandatanganan kerjasama yang digagas Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan Center for Uyghur Studies di Jakarta pada, 14 Oktober 2022 menjadi momentum penting dalam upaya peningkatan kesadaran permasalahan Uyghur, khususnya untuk masyarakat Muslim di Indonesia.

Berbagai capaian sudah dihasilkan dalam perjanjian yang dihadiri oleh Abdul Hakim Idris, Direktur Eksekutif     Pusat Kajian Uighur (Center for Uyghur Studies) di Jakarta 7 bulan lalu. Seminar internasional, riset, diseminasi informasi dan berbagai forum ilmiah telah digelar untuk mendudukkan Uyghur secara benar dan proporsional.

Asep Setiawan, Kaprodi Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta mengungkapkan, dalam upaya merealisasikan kerjasama UMJ dengan Pusat Studi Uyghur lebih fokus dalam dunia akademik berupa penelitian dan penerbitan buku yang akan dibahas secara ilmiah dalam forum khusus. Selain itu juga riset-riset mahasiswa yang diharapkan ke depan dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan.

“Kegiatan terakhir dan terbaru adalah kemarin (9 Mei 2023) kami menggelar Seminar Internasional di Washington, kita membahas tentang bagaimana membangkitkan kesadaran terhadap masalah-masalah Uyghur, karena di Indonesia memang kesadarannya masih kurang. Jadi sekarang lebih kepada promosi kepada dunia, apa itu etnis Uyghur dan apa saja persoalannya yang perlu menjadi perhatian,” ungkapnya.

Asep menambahkan, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada 16 Mei 2023 juga menandatangani kerjasama persahabatan dengan 13 universitas asal China. “Yang penting di sini adalah bagaimana meningkatkan saling menghormati dan tentu saja ini adalah upaya secara akademis bagaimana diskusi-diskusi itu bisa berlangsung secara terbuka,” tambah Kaprodi Magister Ilmu Politik FISIP UMJ ini.

Sementara itu, capaian yang tidak kalah penting dalam realisasi kerjasama ini adalah adanya diseminasi informasi kepada media massa di Indonesia tentang masalah-masalah Uyghur. “Jadi salah satu yang kemarin kita capai itu diskusi yang paling banyak dibaca oleh masyarakat Indonesia, kemudian juga di situs-situs berita. kemudian yang lainnya adalah persahabatan dan pemahaman terhadap masalah-masalah Uyghur juga menjadi bagian daripada diskusi akademik dan ilmiah,” terang Asep Setiawan.

Pendirian Pusat Studi Uyghur di Indonesia

Rangkaian kerjasama antara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan Pusat Studi Uyghur juga membuahkan turunan kesepakatan yang lebih bersifat taktis implementatif dan tertuang dalam implementation agreement.

“ Implementation agreement tersebut berisi tentang rencana penerbitan buku, seminar ilmiah, riset tentang masalah-masalah Uyghur yang akan dipublikasikan dalam artikel ilmiah ataupun tulisan mahasiswa. Juga tidak kalah penting adalah rencana mendirikan Pusat Studi Uyghur di Indonesia, tapi kantornya akan berada di luar kampus tentunya,” tambah Asep yang juga Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers ini.

Kerjasama lainnya berupa kegiatan diseminasi informasi, seperti penyebaran informasi melalui buku leaflet dan diskusi mengenai adanya masalah etnis Uyghur di negara lain yang perlu perhatian bangsa Indonesia.

Bagi Asep kesadaran adalah yang paling penting, pertama adalah kesadaran umat Islam dan kesadaran masyarakat dunia terhadap adanya isu dan adanya persoalan pelanggaran hak asasi manusia berat atas etnis Uyghur. “Jadi kesadaran ini perlu dibangkitkan karena etnis Uyghur itu minoritas, penduduknya sangat sedikit dibandingkan dengan mayoritas, tetapi mereka itu tertindas. Dengan adanya kesadaran itu maka rasa simpati, bantuan internasional  diharapkan akan menjadi dorongan,” tambahnya.

Selain itu juga perlu mengingatkan negara-negara besar yang termasuk negara-negara di barat tentang perlunya menghormati pelaksanaan penegakan HAM. “Dengan demikian kesadaran komunitas masyarakat dunia termasuk komunitas Muslim diharapkan bisa memberikan dorongan kepada Pemerintah China agar memberikan perhatian dan hak-hak kepada Uyghur yang sesuai dengan keterbukaan sekarang,” tandas wartawan senior ini.

Menyinggung keterbukaan Pemerintah China terhadap isu internasional juga penting untuk menjadi bahan perbincangan. “Karena ini menyangkut masalah manusia dan hak-hak minoritas keberadaan sebuah etnis yang harus dihormati. Tidak ada motif politik di dalam hal ini hanya lebih kemanusiaan saja seperti halnya membantu Rohingya dan  Palestina,” terangnya.

Perhatian dan kepedulian umat Islam dunia terhadap isu Uyghur masih tergolong minim, hal ini juga berlaku untuk masyarakat Islam di Indonesia. Menurut Asep, aspek yang sangat mempengaruhi keberanian negara-negara Muslim termasuk Indonesia adalah karena China merupakan rising power  “Jadi China ini memiliki pengaruh ekonomi dan politik, sehingga negara-negara Muslim juga enggan atau memiliki keraguan untuk memperhatikan masalah Uyghur,” tegasnya.

Terkait dengan keterbukaan informasi Pemerintah China terhadap dunia internasional, Asep berpendapat bahwa keterbukaan China adalah keterbukaan yang didesain “China sendiri juga kurang terbuka terhadap dunia internasional.  Sebenarnya keterbukaannya masih diatur, misalnya China mengundang ulama dari Indonesia atau dari tempat lain, tapi mereka diarahkan untuk melihat sesuatu yang memang tidak ada masalah di sana,” papar Asep.

Dampak Kerjasama UMJ – Pusat Studi Uyghur

Tidak hanya dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Center for Uyghur Studies juga telah mengunjungi Pengurus Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) serta juga jaringan kampus-kampus NU.

Sementara itu, dampak dari kerjasama yang sudah terlihat adalah pelaksanaan seminar yang diikuti dengan peningkatan kegiatan akademis di wilayah internasional dan tidak hanya lokal.

“Harapannya, pertama mahasiswa juga tertarik untuk membahas, mendiskusikan masalah-masalah etnis Uyghur dalam bentuk artikel ilmiah, tulisan atau diskusi di kelas,” tegas Asep.

Asep berharap kerjasama dapat terus berlangsung dan menghasilkan dampak sangat baik ke depannya. Sesuai visi UMJ, tidak hanya isu-isu lokal yang menjadi perhatian, namun juga isu-isu internasional di dalam kegiatan akademis.

“Jadi bukan hanya masalah Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden, tapi juga masalah-masalah internasional, masalah global sehingga dengan demikian Universitas Muhammadiyah Jakarta itu menjadi bagian daripada kegiatan akademi global,” tambahnya.

Salah satu tugas kampus adalah melakukan penelitian, kemudian diseminasi hasil penelitian kajian ilmiah dan juga mendiskusikan hasilnya. “Oleh karena itulah kami bergeraknya lebih fokus ke kampus sebagai masyarakat akademis dan itu sangat membantu. Kami dengan Pusat Studi Uyghur sudah menggelar setidaknya tiga seminar internasional,  baik di Washington maupun di Indonesia,” terangnya.

Secara spesifik sejumlah topik etnis Uyghur yang menarik perhatian adalah sosial budaya. Kajian budaya dinilai sangat penting dan merupakan dasar untuk memahami komunitas atau etnis minoritas Uyghur.

“Berikutnya adalah topik yang menyangkut soal solidaritas dunia dan umat Islam terhadap kemanusiaan Uyghur. Topik ini lebih kepada upaya penyadaran dan peningkatan kepedulian, “ tegas Asep.

Peran Indonesia terhadap masalah genosida yang dialami Uyghur sangat diharapkan. Tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia itu memiliki tanggung jawab menjaga perdamaian dunia.

“Masalah Uyghur itu menimbulkan persoalan tidak hanya di China, tapi juga antar beberapa kawasan dan negara. Oleh karena itu Indonesia perlu menyampaikan masalah ini kepada China bahwa itu masalah dalam negeri. Tetapi juga ini perlu untuk menenangkan situasi internasional di kawasan Xinjiang. Walaupun Indonesia khawatir tentang masalah Papua, maka diperlukan diplomasi dan diserahkan kepada pemerintah, bagaimana di satu sisi memberi atensi terhadap isu ini, tapi tidak merusak hubungan kedua negara yang sekarang lagi tumbuh,” ungkapnya.

Roundtable Discussion Encounter Islamophobia in China Against Uyghur

Genosida Budaya

Terdapat sekitar 12 juta orang Uyghur yang mayoritas beragama Islam tinggal di Provinsi Xinjiang yang secara resmi dikenal dengan Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR). Mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri, yang lebih mirip dengan bahasa Turki, dan melihat diri mereka sebagai budaya dan etnis yang dekat dengan negara-negara Asia Tengah.

Upaya genosida budaya yang dilakukan Pemerintah China berlangsung sistematis, kampanye ini bertujuan memberantas ekspresi independen dan kebebasan orang Uyghur dengan bingkai tuduhan sparatisme dan ekstremisme agama. Tetapi tujuan tindakan China di Xinjiang jelas: untuk menyeragamkan orang Uyghur menjadi mayoritas China Han di negara itu, bahkan jika itu berarti menghapus identitas budaya dan agama mereka untuk selamanya.

Saat ini diperkirakan lebih dari 1.8  juta orang Uyghur ditahap di kamp-kamp, tujuannya sangat jelas adalah untuk menghapus ingatan mereka pada bahasa dan tata budaya Uyghur dan menggantikannya dengan rasa hormat yang dipaksakan kepada Partai Komunis China yang berkuasa dan tradisi penduduk mayoritas etnis Han.

“Jadi salah satu kebijakan pemerintah China pusat Ini adalah upaya untuk mengintegrasikan etnis Uyghur ke dalam etnis mayoritas yaitu Suku Han, dalam rangka itu kebijakan pemerintah pusat itu maka berbagai jejak dan identitas etnis Uyghur sebagian sudah dihapuskan atau dihilangkan, ini salah satu fakta-fakta yang saya mengamati adanya kebijakan dan kebijakan itu resmi kebijakan resmi dalam rangka persatuan etnis,” kata Asep.

Lebih ekstrim lagi, berbagai jejak-jejak kultural, jejak-jejak budaya juga dikurangi dan dihilangkan. Misalnya lagu-lagu Uyghur, pakaian-pakaian khas Uyghur dan simbol-simbol budaya yang lain yang berusaha diintegrasikan dengan suku mayoritas.

“ Ini adalah salah satu upaya untuk mengintegrasikan etnis Uyghur  itu ke dalam mayoritas, kemudian di sisi lain mereka juga khawatir dengan etnis itu sehingga muncul pemisahan diri. Jadi ada Aspek politik dan keamanan di Pemerintah China,  tetapi kita melihat bahwa upaya untuk menekan kebudayaan itu secara menyeluruh bahkan mengintegrasikan juga perkawinan. Nah, jadi mereka tidak memiliki identitas yang utuh tapi mereka sudah terasimilasi. Inilah salah satu upaya yang sebetulnya secara internasional bertentangan dengan kemanusiaan dan bertentangan dengan hak asasi manusia,” jelasnya.

Menurut Asep masyarakat atau Pemerintah Indonesia selayaknya melihat etnis Uyghur dengan penghormatan dari berbagai sisi, sebagai etnis minoritas yang sedang terjajah. Seperti halnya sikap terhadap etnis lain seperti Rohingnya dan Myanmar, seperti itulah selayaknya masyarakat dan pemerintah bersikap.

“Secara komunitas mereka adalah Muslim tentu ada kepedulian bagaimana mereka bisa hidup dengan tenang, menunaikan ibadah tidak merasa terancaman. Walaupun ada unsur-unsur kedaulatan internasional, tetapi yang namanya kedaulatan sebuah negara itu juga ada norma internasional. Oleh karena itu salah satu norma internasional itu adalah hak-hak orang menjalankan budayanya dan beragama. Inilah menurut saya dua aspek yang penting diperhatikan, “ pungkas Asep. (zil)