Risiko Kesehatan dan Hoaks Jadi Tantangan Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19

Masyarakat Surakarta Anti Politisasi SARA dan Informasi Palsu saat membacakan Deklarasi Tolak Hoaks Pilkada dalam 2020.

JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menjadi pesta demokrasi yang penuh tantangan. Pasalnya pesta demokrasi untuk memilih pemimpin tingkat kota/kabupaten digelar di tengah masa pandemi Covid-19.

Dan tantangan tersebut tak hanya dihadapi para penyelenggara Pilkada, namun juga bagi penegak hukum yang bertugas mengamankan jalannya Pilkada. Sebagaimana yang diutarakan Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Luthfi dalam diskusi bertajuk “Pilkada Serentak Jateng 2020 Aman dan Bergembira Tanpa Provokasi”, yang digelar secara online melalui aplikasi Zoom, Rabu (22/7).

“Tidak hanya KPU dan Bawaslu, penegak hukum yang bertugas juga harus menerapkan protokol kesehatan. Karena itu, kami sudah membekali petugas dengan 13 langkah penerapan protokol kesehatan. Seperti memakai masker, cuci tangan, baju lengan panjang, dan sebagainya. Sebelum menertibkan masyarakat, polisi harus tertib menerapkan protokol,” tandasnya.

Untuk pengamanan pilkada di Jawa Tengah, Lutfi mengatakan Polda menyiapkan 14.575 personel yang akan diterjunkan dan masih diback-up 720 anggota Brimob. “Mereka akan mem-back up pengamanan di 44.385 TPS di seluruh wilayah yang menyelenggarakan pilkada,” ujarnya.


Selain protokol kesehatan, Kapolda juga menegaskan pihaknya juga menyiagakan tim khusus untuk penanganan kasus pelanggaran Pilkada termasuk hoaks. Pasalnya, penyebaran kabar bohong juga menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan pesta demokrasi.

Baca juga:  Meski Bukan Musim Panen, Bulog Surakarta Kejar Target Serapan Beras

“Bercermin dari Pileg dan Pilpres tahun lalu banyak sekali pelanggaran pemilu yang berkaitan dengan hoaks atau berita bohong. Karena itu dalam pilkada ini kami membentuk timsus yang dipimpin Ditreskrimsus Polda Jateng untuk menangani hal itu. Kami akan menindak tegas pelanggaran yang ada, termasuk hoaks,” tandasnya.

Bahaya hoaks saat pelaksanaan pesta demokrasi juga diamini Presidium Mafindo Anita Wahid. Bahkan berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, justru saat pemilu fenomena hoaks dipastikan marak.

“Menjelang Pilkada 2018 lalu saja produksi hoax tiap bulan selalu lebih dari 60 berita. Bahkan di bulan April mencapai 101 informasi palsu, sementara di Oktober sebanyak 111 informasi palsu. Lainnya di kisaran angka 70 hingga 80 berita palsu. Mayoritas berisi tentang black campaign, atau informasi yang menyerang pihak tertentu. Di Indonesia, isu agama, ras, ideologi paling banyak untuk materi hoax,” jelasnya.

Gampangnya penyebaran hoaks, lanjut Anita, membuatnya kerap dijadikan senjata menyerang kubu lawan politik. Dan yang paling berbahaya informasi palsu tersebut akhirnya dipercayai masyarakat dan disebarkan kemudian menjadi kebencian. Dan berujung pada terkikisnya persaudaraan. Karena pikiran yang dipenuhi kebencian membuat orang tidak bisa berpikir netral dan rasional.

Baca juga:  PPKM Darurat, DPRD Karanganyar Desak ADD Segera Cair

“Dan itu berlangsung tidak hanya sehari-dua hari, tapi bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Kita tahu, efek Pilpres 2014 masih berlangsung hingga sekarang,” tuturnya.

Anita pun berharap semua stakeholder bergandeng tangan, mencegah informasi palsu beredar luas di masyarakat. “Misalnya KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu. Harus lebih cermat mendengar info yang beredar di masyarakat. Jika menemukan indikasi hoax, segera lakukan klarifikasi. Jangan sampai dibiarkan terlalu lama. Sebab, hoax yang dibiarkan lebih dari empat jam tanpa klarifikasi, akan sangat susah untuk meluruskannya,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua KPU Jateng Yulianto Sudrajat menegaskan, pihaknya terus menyosialisasikan terselenggaranya pesta demokrasi yang gembira tanpa dinodai hoax.

“Kita punya kultur adiluhing. Jangan sampai pemilu menjadi semakin liberal, makin mengutamakan kelompok, sehingga proses kontestasi menjadi sangat gaduh,” ujarnya.

Sedangkan terkait pelaksanaan pemilu di tengah pandemi Covid-19, Yulianto menegaskan penerapan protokol kesehatan menjadi mutlak apalagi KPU sudah mengeluarkan Peraturan KPU 6 / 2020 tentang pilkada di masa pandemi.

Baca juga:  Rekor Baru Covid-19, Sehari 4.850 Kasus

“Memang banyak penyesuaian. Misalnya nanti, rapat pleno terbuka hanya dihadiri pihak terkait dan disiarkan via medsos, agar masyarakat bisa menyaksikan. Kampanye juga ada penyesuaian, agar tidak menghadirkan kerumunan massa. Lebih memanfaatkan teknologi informasi. Debat paslon digelar dengan menyesuaikan situasi,” tandasnya.

Selain diskusi yang digelar PWI Surakarta bersama Polda Jateng, KPU Provinsi Jateng dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) juga dilakukan Deklarasi Tolak Hoaks dalam Pilkada 2020 oleh Masyarakat Surakarta Anti Politisasi SARA dan Informasi Palsu.

Dimana dalam deklarasi tersebut mereka mengecam dan menolak segala bentuk ujaran kebencian, politisasi isu-isu SARA, penyebaran hoaks dan berbagai bentuk provokasi yang dapat memecah-belah bangsa.

“Kami juga mengimbau masyarakat tetap selalu menjaga kerukunan, serta tidak mudah terprovokasi dan terpecah belah akibat informasi hoaks, ujaran kebencian dan isu SARA. Serta mendesak  aparat kepolisian mengusut dan menindak pembuat dan penyebar informasi hoaks,” ucap Sri Hartanto, koordinator deklarasi. (jay/bis)

Capt

Masyarakat Surakarta Anti Politisasi SARA dan Informasi Palsu saat membacakan Deklarasi Tolak Hoaks Pilkada dalam 2020.

Attachments area