UNGARAN. JATENGPOS.CO.ID- Rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus bergulir, meskipun implementasinya kemungkinan besar akan diundur ke akhir tahun 2025 atau awal 2026.
Direktur RSUD Gunawan Mangunkusumo (RSGM) Ambarawa, dr. Hasti Wulandari, mengungkapkan proses penyesuaian fasilitas telah dilakukan sejak semester kedua tahun 2024, bahkan dipercepat saat proses kredensialing dengan BPJS pada September 2024.
“Kami sudah menata ulang seluruh ruang rawat inap sesuai 12 kriteria KRIS. Sampai akhir Mei 2025, semua sudah rampung 100 persen,” ungkap dr. Hasti.
Namun demikian, penyesuaian itu tidaklah tanpa tantangan. Satu di antara kendala yakni pemenuhan AC di ruang kelas 2 dan 3 yang sebelumnya tidak menggunakan pendingin karena suhu dingin khas Ambarawa.
Selain itu, standar baru untuk tirai pembatas juga memaksa rumah sakit melakukan penggantian. Hal cukup signifikan, rumah sakit terpaksa mengurangi jumlah tempat tidur dari 248 menjadi 228 demi memenuhi ketentuan maksimal kapasitas per ruangan dalam KRIS.
Dari total tempat tidur, 148 tempat tidur kini telah terstandarisasi sesuai KRIS, bahkan melebihi syarat minimal 60 persen. “Secara finansial ini berdampak pada kami. Beberapa tempat tidur yang sebelumnya dibeli kini tidak bisa digunakan karena tidak sesuai standar baru.
Tapi kami tetap menyesuaikan karena ingin mendukung kebijakan nasional,” imbuh dr. Hasti.
Meski kesiapan fisik telah terpenuhi, dr. Hasti mengaku masih menunggu kepastian regulasi detail dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Pemahaman awal kami, semua ruangan akan diseragamkan. Tapi masih ada ketidakjelasan, seperti apakah pasien non-JKN juga harus sesuai standar KRIS. Ini kami masih tunggu juknis lengkapnya,” tandas dr Hasti dalam pertemuan media bertema “JKN Berkualitas, Masyarakat Semakin Sehat” yang digelar di Susan Spa Resort, Bandungan, pekan kemarin.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Ungaran, Subkhan, bahwa rencana penerapan KRIS dalam sistem JKN masih terus bergulir. “Semuanya belum clear, kemungkinan implementasinya mundur ke Desember atau tahun depan. Tapi pemetaan ke seluruh fasilitas kesehatan sudah dilakukan,” kata Subkhan.
Menurut dia, kesiapan fasilitas kesehatan untuk menjalankan KRIS saat ini bervariasi. Sejumlah rumah sakit sudah siap 70 persen, 80 persen, bahkan ada yang sudah mencapai 100 persen. Namun seluruh pihak masih menunggu regulasi teknis terbaru dari Kemenkes sebelum sistem itu benar-benar diterapkan.
Meski implementasi KRIS belum final, langkah proaktif telah dilakukan baik oleh BPJS Kesehatan maupun rumah sakit. Upaya itu menjadi bagian dari transformasi layanan kesehatan menuju sistem yang lebih adil dan berkualitas bagi seluruh peserta JKN.
Dengan cakupan yang hampir merata di Kabupaten Semarang, tantangan berikutnya adalah memastikan keberlanjutan layanan dan menjaga keaktifan peserta, sekaligus menjamin fasilitas layanan kesehatan memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.
“Kita tunggu saja regulasi resminya, tapi prinsipnya kita sudah siap dan akan terus mendorong peningkatan kualitas pelayanan,” tandasnya.
KRIS dirancang sebagai upaya penyeragaman kualitas layanan rawat inap, tak lagi berbasis kelas 1, 2, atau 3, namun mengacu pada 12 kriteria standar. Beberapa di antaranya meliputi jumlah tempat tidur maksimal dalam satu ruangan, ketersediaan oksigen sentral, kamar mandi dalam, pencahayaan alami, suhu ruangan, kelembapan, dan tirai pembatas antarpasien.
Menanggapi para warga penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terdampak proses pemutakhiran data nasional oleh Kementerian Sosial berbasis Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), Subkhan menyampaikan PBI JKN sangat dinamis karena diperbarui setiap bulan oleh Kementerian Sosial.
“Kami biasanya menerima surat resmi dari Kemensos setiap bulan terkait berapa peserta PBI yang aktif, masuk, dan keluar. Tapi untuk Juni ini kami belum mendapatkannya,” jelasnya.
Menurut dia, sekitar 21.000 peserta di Kabupaten Semarang dan 700-an di Salatiga tercatat tidak lagi mendapat layanan karena status mereka dinonaktifkan.
Meskipun kewenangan penuh ada di pemerintah pusat, BPJS Kesehatan tetap mengambil peran aktif membantu proses reaktivasi dengan melakukan pengecekan dan persetujuan ulang data.
Dia juga menekankan pentingnya partisipasi peserta PBI dalam melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), bukan hanya saat sakit.
“Kunjungan sehat penting agar petugas tahu peserta masih hidup dan aktif.
Ini juga bagian dari fungsi FKTP, bukan hanya pelayanan saat sakit atau rujukan sehingga kami dorong agar minimal 15 persen peserta melakukan komunikasi aktif ke FKTP,” imbuhnya. (muz)