JATENGPOS.CO.ID, UNGARAN- Awal didirikan Masjid Syahidin Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang, tidak lepas dari sejarah ketokohan sesepuh setempat Nyai Kuning yang berasal dari kerajaan Mataram pada abad ke-15. Jejak sejarah itu dibuktikan benda peninggalan beliau berupa dua buah gentong terbuat dari batu andesit yang masih dilestarikan. Beliau juga dimakamkan di samping masjid.
Keberadaan Nyai Kuning turut penyertai asal usul penamaan Desa Banyukuning. Berdasarkan cerita rakyat atau legenda yang dituturkan secara turun-turun oleh masyarakat Desa Banyukuning, menyebutkan jika nama-nama kampung yang ada di wilayahnya tidak lepas dari perjalanan spiritual Si Mbah Nyai Kuning.
Seperti kampung Bukit Sedandang, Gumuk Kukusan, Kali Pawon, bahkan penamaan Desa Banyukuning sendiri semua bermuara dari cerita spiritual Nyai Kuning.
Sebuah cerita yang hingga kini masih dituturkan oleh para sesepuh desa bertujuan agar warga tidak melupakan jasa Nyai Kuning. Tokoh yang semasa memimpin warga dikenal sebagai sosok yang arif dan bijaksana. Warisan tradisi serta adat istiadat dari Nyai Kuning pun masih diuri-uri warga.
Karena itu Desa Banyukuning dikenal tidak hanya keindahan alam dengan panorama lereng gunung Ungaran, di sini juga terdapat banyak wahana wisata kebun bunga dan sayur, tapi juga memiliki banyak kelompok kesenianan trasional.
Menemukan desa ini cukup mudah. Jika berkendara dari arah bundaran Taman Bandungan atau Kantor Kecamatan Bandungan menuju ke arah lokasi wisata Gedongsongo. Sekitar 3 Kilometer setelah bundaran ada pertigaan belok ke kiri, kemudian melaju lagi sekitar 1 Kilometer sampai di Desa Banyukuning.
“Jika ingin mengunjungi masjid Gentong (Syahidin, red) setelah belok kiri dari Jalan Raya Gedongsongo pada gapura kedua masuk Desa Banyukuning belok kanan. Lokasinya berjarak sekitar 300 meter dari jalan desa,” ujar Kepala Desa Banyukuning, Setyo Utomo kepada Jateng Pos.

Terbentuknya Desa Banyukuning tidak lepas dari laku spiritual dan ketokohan Nyai Kuning. Seorang wanita Temenggung dari kerajaan Mataram itu, dalam pengembaraan mengemban tugas mensiarkan Islam. Ketika tiba di wilayah ini beliau mengalami beberapa kali kejadian mistis.
Pertama kali saat beristirahat bersama pengikutinya, Nyai Kuning bermaksud memasak nasi menggunakan peralatan sederhana yaitu tungku dari tanah liat, dandang dan kukusan. Di tengah kegiatan memasak tiba-tiba dari bawah tungku keluar air yang memancar semakin membesar hingga menghanyutkan peralatan memasak.
Ia beserta pengikutnya kemudian bertafakur untuk mengetahui kejadian apa yang barusan dialami. Bisikan batinnya menggerakkan dirinya agar menelusuri aliran mata air hingga masuk ke hutan dan menemukan dandangnya terdampar di pinggir aliran.
“Berdasarkan cerita turun-temurun setelah Mbah Nyai Kuning menemukan dandang kemudian tempat tersebut dinamakan gumuk atau bukit, dengan sebutan Bukit Sedandang lokasinya berada di sebelah timur desa,” ujar Kepala Desa Banyukuning ini.
Masih menelusuri aliran mata air, tidak jauh dari ditemukan dandang, Nyai Kuning bersama pengikutnya kembali menemukan peralatan masaknya yakni kukusan. Tempat tersebut kemudian dinamakan Gumuk Kukusan, sebuah bukit berbentuk kerucut mirip kukusan, lokasinya berada di timur desa.
Rasa penasarannya belum hilang, ia melanjutkan perjalanan mencari tungku yang belum ditemukan. Di tengah perjalanan firasatnya tidak enak sehingga kembali bertafakur. Mendadak aliran air yang disinggahi memancar mata air kekuning-kuningan. Sama seperti kejadian sebelumnya, ia pun menamai tempat itu berdasarkan asalnya dengan sebutan Banyukuning (Air Kuning, red)
“Sampai sekarang sumber mata air yang menjadi asal-usul penamaan Desa Banyukuning masih ada. Berada di pinggir persawahan, meski warna airnya kekuning-kuningan tapi menyuburkan padi, airnya tidak pernah berhenti mengalir,” ungkapnya.
Tidak jauh dari lokasi sumber tersebut Nyai Kuning menemukan tungku atau pawon yang terbawa aliran air. Maka lengkaplah seluruh peralatan masaknya berhasil ditemukan. Nyai Kuning lalu kembali menuju ke lokasi awal ia memasak. Di lokasi memancar sumber air itu olehnya dinamakan Kali Pawon, lokasinya berada di tenggara desa.
Berkhidmat dari berbagai kejadian mistis dialami tersebut, Nyai Kuning mengikrarkan diri untuk menetap di wilayah tersebut. Wilayah yang kemudian dikenal sebutan Banyukuning. Identik dengan panggilan dirinya yang oleh warga setempat dikenal dengan nama Nyai Kuning.
Di Banyukuning bersama sang suami ia mengembankan siar islam dengan mendirikan masjid dan perabadan baru berlandaskan syariat Islam. Adat istiadat yang lebih dulu telah dianut warga setempat seperti memberikan persembahan kepada alam sekitar tetap dijalankan dengan merubah maksud dan tujuan. Jadi ritual doa bersama memohon keselamatan dan keberkahan kepada Allah SWT.
“Adat istiadat nenek moyang warga Banyukuning tetap diuri-uri sejak zaman Nyai Kuning hingga sekarang berupa Merti Dusun. Tujuan kita bukan menyembah kepada alam tapi berdoa bersama ditujukan kepada Allah yang dikemas dalam tradisi syukuran,” jelasnya.

Makam Nyai Kuning dan keluarga dapat ditemukan di samping masjid. Peziarah dari luar daerah banyak yang datang khusunya pada malam Jumat Kliwon, sebagaiman kepercayaan masyarakat Jawa pada malam itu terdapat keistimewaan. Warga Banyukuning sendiri berziarah beramai-ramai saat memperingati haul Nyai Kuning. Sayangnya, karena tidak ada sejarah otentik yang menetapkan kapan haulnya, warga memperingatinya bertepatan dengan malam 1 Suro.
Peringatan diadakan bertujuan mengenang dan menghormati jasa Nyai Kuning. Warga sekitar dukuh Krajan dan warga luar daerah berbaur berziarah untuk tujuan mengirim doa sekaligus memohon keberkahan kepada Allah SWT.
“Puncak peringatan haul Mbah Nyai Kuning sejak mbah-mbah dulu ditetapkan setiap malam 1 Suro atau 1 Muharram. Diadakan pembacaan Yasin dan Tahlil ditutup dengan doa. Dilanjutkan menggelar pengajian akbar di masjid. Suasana makam semakin ramai selama peringatan Haul yakni mulai tanggal 1 sampai tanggal 10 Suro,” ungkapnya. (muz)