Tak habis pikir dengan hadirnya PP nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan. Salah satu yang sedang ramai dibicarakan publik yaitu penyediaan alat kontrasepi KB di sekolah. Hal tersebut sesuai pasal 104 ayat 4 yang secara tersurat demikian.
Alih-alih mencegah pergaulan bebas, dan seks pra nikah, justru dampaknya bisa membahayakan stabilitas siswa dan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Lantas bagaimana kita menyikapinya?
Regulasi tersebut seakan menjadi bola liar di masyarakat. Tak aya lagi, semua sudah dibaca oleh public. Sekarang tinggal bagaimana publik bersikap terhadap kebijakan tersebut. Akankah diam atau pura-pura tak Tahu?Jika kita melihat beban kerja guru di sekolah sebenarnya sudah sangat berat. Guru yang diwajibkan mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam, mesti berjibaku lagi dengan konten” titipan” yang jumlahnya tidak sedikit. Kita pernah mendengar ada muatan karakter atau PPK, kemudian muatan anti korupsi, muatan imtak, muatan 4C, sekarang ada lagi melalui muatan profil pelajar pancasila.
Ada lagi muatan tentang anti bullying, sekolah ramah anak, sekolah adiwiyata, dan sebagainya. Jika dihitung-hitung, jumlah muatan tersebut yang harus terintegrasi dengan materi pokok di dalam kurikulum jumlahnya hampir sama.
Kembali pada Upaya pemerintah mencegah seks bebas di kalangan siswa dan remaja. Padahal selama ini sekolah melalui guru sudah berikhtiar melakukan tindakan preventif dari berbagai aksi negatif siswa. Misalnya kasus-kasus perkelahian, narkoba, pencurian, bahkan pacaran sudah dilakukan. Baik oleh pihak sekolah sendiri maupun menggandeng lembaga lain yang berkompeten di bidang tersebut.
Kerja keras sekolah dalam mengendalikan perilaku menyimpang siswa seyogyanya diapresiasi. Apalagi dalam menyikapi PP 28 tahun 2024 tersebut, sekolah harus cermat dan lebih berhati-hati. Jangan sampai keberadaan alat kontrasepsi di sekolah justru makin membuka pintu lebar-lebar perilaku seks remaja pra nikah. Rasa ingin tahu remaja kita sangat tinggi.
Butuh Sinergitas
Guna mengendalikan maraknya seks bebas di kalangan tidak perlu dilakukan secara serampangan. Apabila tidak dipikirkan dengan baik, takutnya justru akan menjadi bumerang. Apalagi lingkungan sekolah sebagai lingkungan yang memiliki kebebasan akademik dan penanaman nilai serta kultural. Perlu ada edukasi secara masif kepada siswa.
Jadi, konteksnya harus mengedukasi atau mendidik. Perlu diingat, sekolah itu lembaga pendidikan bukan lembaga terapan seperti perusahaan. Untuk itu apapun kebijakan yang diterapkan di sekolah tentu dalam rangka trial and error. Jika gagal maka tentu akan banyak errornya dari pada keberhasilannya.
Selama ini bicara seks di kelas, meski dalam konteks pembelajaran masih dianggap tabu. Siswa dan guru masih sama-sama gagap dalam mencari strategi atau metode terbaik. Siswa di rumah tentu juga sudah diberi pemahaman nilai dan kultural. Mana yang tabu dan mana yang boleh dikonsumsi secara vulgar. Ironisnya persoalan maraknya pacaran hingga kasus pelecehan seksual dan seks pra nikah bagai gunung es yang siap meleleh kapanpun.
Mungkin pemerintah memang mau mengambil langkah edukasi melalui jalur pendidikan. Tapi sedikit lupa bahwa siswa pada dasarnya adalah anak-anak yang belum siap menerima informasi tentang seksualitas apalagi tentang alat kontrasepsi. Ideal memang dan cukup berani jika sampai pemerintah benar-benar menyediakan alat kontrasepsi di sekolah.
Akan tetapi juga miris sebenarnya jika langkah itu justru menunjukkan kegamangan dan kegagalan pemerintah dalam mengedukasi remaja kita. Secara teknis memang di PP tersebut tidak mengatur secara detail, namun tentu ini menjadi gagap ketika guru harus serta merta melaksanakan kebijakan.
Jika di sekolah nanti benar-benar akan menyediakan alat tersebut, bukan tidak mungkin siswa justru akan semakin penasaran. Bahkan bisa lebih fatal, mereka akan menjadikan alat itu sebagai sarana untuk melakukan yang lebih jauh. Bukan hanya itu saja, guru akan pecah konsentrasi antara mengedukasi dengan menjaga perilaku dampak dari tersedianya alat tersebut di sekolah.
Akhirnya, perlu ada sosialisasi masif dan terstruktur ke sekolah, selain itu jika masih dimungkinkan melakukan revisi, tentu belum terlambat. Instrumen penyediaan alat kontrasepsi di sekolah, akan lebih banyak peluang melenceng dari pada nilai edukasinya. Toh selama ini guru sudah mati-matian mengendalikan perilaku menyimpang siswa?Atau mau remaja kita makin terpuruk dengan lebih membuka diri terhadap perilaku seks bebas?Semua kembali kepada kita para orangtua, guru, dan lingkungan. (*)
Ditulis oleh:Tukijo
(Guru SMP 17 Semarang/Mahasiswa Pascasarjana Univ. PGRI Semarang)