spot_img
32.4 C
Semarang
Jumat, 27 Juni 2025
spot_img

Angkat Bicara Terkait Politik Digital, Prof Merlyan Tegaskan : Demokrasi dalam Bayang-Bayang Algoritma

JATENGPOS.CO.ID,  SEMARANG — Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro kembali menunjukkan komitmennya dalam menjembatani wacana akademik global dan lokal.

Kali ini, melalui kuliah umum internasional bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia”, Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (DPIP), FISIP UNDIP menghadirkan pakar terkemuka di bidang politik digital dan media sosial, Prof. Merlyna Lim, Ph.D.

Kuliah umum yang digelar di Ruang Teater FISIP UNDIP pada Kamis (07/5/2025),  forum ini juga dirangkai dengan diskusi publik bertema “Memahami Politik Algoritma Sosial Media”, yang mempertemukan pandangan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil.

Acara ini dibuka dengan paparan Keynote Speaker, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D., Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi P ublik UNDIP yang juga pakar Demokrasi Digital dari DPIP.

Baca juga:  Kena Pukul Saat Latihan Pesilat  Sragen Meninggal 

Lewat paparannya, ia menggambarkan bagaimana harapan besar pada demokrasi digital kini berubah menjadi kekecewaan.

“Ironisnya, apa yang dulu dianggap sebagai ruang bebas kini menjadi arena represi digital,” kata Dr. Wijayanto.

Namun, ia juga optimistis dengan kekuatan masyarakat sipil yang tetap menjadi pilar penting dalam menjaga ruang publik yang sehat.

“Dalam menghadapi tsunami disinformasi dan manipulasi opini publik, masa depan demokrasi digital sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan teknologi, serta sejauh mana masyarakat mampu membangun institusi dan norma yang menjunjung deliberasi terbuka dan inklusif,” terangnya.

Pada sesi utama diisi oleh Prof. Merlyna Lim yang menjelaskan bahwa algoritma media sosial tak hanya membentuk ruang gema (echo chambers).

Baca juga:  Sosialisasikan Prokkes di Bulan Puasa, Senkom Kota Solo Bagi 400 Takjil dan Masker

“Kita tak lagi bicara untuk memahami, merujuk pada teori Habermas. Kita bicara untuk menang,” katanya.

Selain itu, ia juga menyoroti bahaya enklave algoritmik dan polarisasi afektif yang mengancam kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara.

“Bahwa netralitas teknologi adalah ilusi, dan kita perlu terus mengkritisinya serta mendorong penguatan literasi digital yang lebih transformatif,” pungkasnya.

Dalam kegiatan tersebut, dihadiri ratusan peserta dari kalangan mahasiswa dan dosen. Mereka tak sekadar hadir, tetapi aktif memberikan respons kritis menunjukkan bahwa ruang akademik masih menjadi tempat strategis untuk membicarakan masa depan demokrasi dan teknologi. (ucl)

spot_img

TERKINI