27.1 C
Semarang
Minggu, 22 Juni 2025

Bahaya Kolegium di Bawah Ketiak Kekuasaan

Oleh:

Prof. dr. Zainal Muttaqin

(Pengampu Sekolah Spesialis, Guru Besar FK Undip)

JATENGPOS. CO. ID, SEMARANG- Kolegium adalah sebuah badan pengampu Ilmu dari setiap bidang ilmu kedokteran. Ada Kolegium Ilmu Bedah, Kolegium Ilmu Mata, Kolegium Ilmu Kebidanan-Kandungan, dsb.

Tugas Kolegium adalah menentukan dan menjaga Standar Pendidikan dan Standar Kompetensi. Standar Pendidikan maknanya siapa yang boleh jadi guru, kurikulum atau apa saja yang mesti diajarkan, tahapan penguasaan ilmu dan cara belajarnya, sekolahnya/RS Pendidikannya harus punya fasilitas dan pasien apa saja, lamanya masa studi, dan bersama pemilik sekolah (FK dan Universitas) menyelenggarakan ujian kompetensi sebelum dinyatakan lulus sebagai spesialis.

Sebagai Badan Ilmiah Profesi Spesialis, anggota Kolegium adalah mereka yang paling mumpuni dalam urusan Ilmu dan Pendidikan ilmu tersebut. Yakni para Guru Besar Ilmu tersebut bersama para Pengelola Sekolah Spesialis.

Ketua Kolegium bukan dipilih oleh para anggota perhimpunan atau oleh pengurus organisasi profesi (OP) spesialis. Melainkan dipilih dari dan oleh para kepala sekolah/pengelola program studi spesialis.

Jelas bahwa Kolegium adalah sebuah Academic Body yang tugasnya ā€˜menjaga ilmu’ dan menentukan standar bagaimana ilmu itu diaplikasikan dalam praktek kedokteran. Kolegium harus benar-benar mandiri, hanya mengikuti kebenaran Kaidah Sains, dan tidak boleh ada conflict of interest.

Jadi narasi menkes dan para buzzer-nya bahwa kolegium itu dibentuk dan dikooptasi oeh IDI,Ā  Ā ketuanya ditunjuk oleh ketua IDI, semuanya adalah hoaks atau disinformasi publik.

Sebuah fakta sejarah yang tidak mungkin dihapus, bahwa berdirinya kolegium ini diinisiasi oleh Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai sebuah ā€˜best practices’ yang terjadi di banyak negara maju, demi upaya meningkatkan kualitas pendidikan spesialis.

Kolegium sudah ada jauh sebelum ada UU yang secara khusus (lex spesialis) mengatur Pendidikan Dokter Spesialis. Diawali dengan Kolegium Ilmu Bedah sekitar 1978, sampai Kolegium Ilmu Saraf sekitar tahun 1996.

Jadi Kolegium Profesi Spesialis ini tidak dibentuk oleh UU 29/2004 atau UU 20/2013, meskipun kedua UU tersebut mengakui keberadaan dan peran Kolegium dalam Pendidikan Dokter Spesialis.

Kedua UU tersebut secara eksplisit menyebut peran Kolegium bersama dengan Universitas/FK sebagai pemilik dan penjamin mutu Program Studi dan RS Kemenkes sebagai pemilik lahan/ RS Pendidikan.

Saat ini ada setidaknya 38 Kolegium Bidang Ilmu Spesialis yang tergabung dalam Majlis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Selama lebih dari 50 tahun, model Pendidikan dokter spesialis yang dikelola secara tripartite ini telah menghasilkan lebih dari 50 ribu dokter spesialis, dan setiap tahunĀ  meluluskan sekitar 2.700 spesialis baru.

Kompetensi: Standar Minimal Mutu Layanan Kesehatan bagi Orang Sakit

Salah satu kewenangan penting Kolegium adalah menyusun Standar Kompetensi. Kompetensi adalah batas minimal pengetahuan dan ketrampilan saat ilmu tersebut dipraktekkan pada pasien. Saat dokter meresepkan obat, dokter mesti tahu itu obat untuk apa, tidak boleh diberikan dalam situasi seperti apa, efek samping obat yang bisa terjadi, dan bagaimana mencegah dan mengatasi bila terjadi efek samping/ komplikasi.

Setiap tindakan medik, mulai dari merawat luka di UGD, Tindakan Cuci Darah (Hemodialisis) pada Gagal Ginjal, Operasi Sesar (SC), sampai tindakan Bedah Mikro pada Aneurisma Otak, harus dilandasi Kompetensi, demi menjaga keselamatan pasien.

Kompetensi bukan sekedar pernah atau bisa melakukan atau bahkan berpengalaman melakukan. Andai tukang parkir RS diajak ikut operasi perdarahan otak atau operasi Sesar (SC), tiga kali seminggu selama 3-6 bulan, pasti mereka akan trampil melakukan operasi tersebut.

Apakah ketrampilan itu bisa disebut kompetensi? Jawabnya jelas, Tidak Bisa. Karena baik si tukang parkir tidak bisa mengambil keputusan siapa yang mesti dioperasi dan siapa yang tidak perlu operasi. Dan juga tidak tahu bagaimana mengatasi kalau terjadi komplikasi. Misalnya perdarahan yang tidak mau berhenti, ususnya lengket/ robek, atau kandung kemihnya ikut teriris secara tidak sengaja.

Untuk trampil mengiris dinding perut dan dinding rahim lalu mengeluarkan janin, bisa/ cukup dipelajari dalam waktu 3 bulan. Tapi untuk bisa mengambil keputusan siapa yang memerlukan operasi Sesar, dan siapa yang tidak perlu Sesar, perlu waktu setidaknya 2 (dua) tahun dalam sebuah proses pendidikan yang dilaksanakan dalam bingkai Etika Profesi. Kedokteran itu menolong, bukan transaksi bisnis dengan orang sakit sebagai obyek-nya. Ada kode etik yang mesti diikuti. Dan selalu mengutamakan keselamatan pasien atau Patient Safety.

Kalau operasi Sesar dianggap sekedar ketrampilan mengiris perut dan mengeluarkan bayi, atau Cuci Darah dengan Mesin Hemodialisis dianggap cuma menusukkan jarum masuk ke pembuluh darah, bak bongkar pasang mesin atau Ganti Olie mobil, maka tiga bulan pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) lebih dari cukup.

Menjadikan kompetensi medis sekedar sebuah ketrampilan teknis, dan mencabut pendidikan spesialis dari Bingkai Etik dan Kehidupan Akademik yang melingkupinya bukan cuma sebuah kebodohan yang menjerumuskan. Tapi ini adalah sebuah kejahatan moral yang akan mengorbankan keselamatan pasien sekedar sebagai obyek belaka.

Kalau dulu boleh dilakukan, mengapa sekarang tidak boleh?

Ilmu dan Teknologi Kedokteran adalah salah satu cabang ilmu yang perkembangannya amat pesat, dari waktu ke waktu. Setiap hari ada lebih dari 1000 tulisan di Jurnal Ilmiah, tentang hasil riset terbaru terkait berbagai penyakit dan pengobatannya.

Apakah setiap ada temuan baru langsung bisa diaplikasikan dalam praktek kedokteran? Ada yang disebut Evidence Based Medicine (EBM), dengan beberapa level bukti kebermanfaatan (Level of Evidence). Pendapat Ahli (Expert Opinion) menempati posisi yang paling rendah, jadi testimoni pasien, sekalipun dia pejabat atau presiden-pun, samasekali tidak bisa dijadikan dasar tentang kebermanfaatan ini.

Sekitar 40-50 tahun yang lalu, dalam sebuah buku teks Teknik dan Strategi Operasi Tumor Otak, untuk tumor yang letaknya dekat permukaan otak, dokter boleh menggunakan jari telunjuknya untuk mempersingkat waktu operasinya (saat itu resiko kematian pada operasi tumor otak masih 40-50%).

Dengan berkembangnya ā€˜Loupe’ atau lensa cembung untuk memperbesar obyek yang dilihat, maka standar operasi Tumor Otak meningkat, harus dengan alat ini (dengan angka kematian turun jadi 20-30%). Dalam 20 tahun terakhir, standar kompetensi operasi tumor otak adalah penggunaan ā€˜Operating Microscope’, dengan waktu operasi yang lebih lama, tapi resiko komplikasi dan kematian bisa turun sampai kurang dari 5%.

Jadi pernyataan menkes dalam (https://youtu.be/J4whti56CLs?si=kRyn5WZRFvjn1RU)Ā  dalam acara Rosi-KompasTV, perihal dokter umum dilatih operasi Sesar (SC): ā€œkalau dulu boleh, mengapa sekarang tidak bolehā€, tidak perlu dijawab. Karena jelas menkes minta agar standar layanan kesehatan kita mundur ke belakang 30-40 tahun.

Pernyataan itu menggambarkan seorang pejabat publik, penguasa bidang kesehatan, yang bila dibiarkan bisa menghancurkan masa depan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau sebagai kewajiban konstitusi negara kepada rakyatnya.

Pernyataan berikutnya, ā€œkalau dari 514 RS kabupaten/ Kota, hanya 200 Spesialis-nya, lalu yang 300 kabupaten siapa yang melayani?ā€, adalah sebuah kebohongan publik yang terus diulang-ulang. Dari POGI minta menkes untuk menyebutkan daerah mana saja yang belum punya SpOG, dan POGI siap untuk mengirim SpOG ke daerah tersebut.

Saat ini jumlah SpOG hampir 6000 (enam ribu) orang. Kalau 1 dokter boleh bekerja di 3 RS, maka jumlah SpOG yang ada bisa memenuhi kebutuhan untuk 15-18 ribu RS. Padahal menurut data di Google, jumlah RS di Indonesia saat ini ada 3.150 RS. Sebagai pejabat tinggi negara, bernarasi tanpa dukungan data yang valid, adalah kebohongan publik yang bahkan bisa dibawa ke ranah Pidana.

Kolegium di bawah kekuasaan Politik dan/ atau Korporasi, Sejarah Kelam Ilmu Kedokteran

Saat awal pandemi, ada kasus Kalung Anti Covid yang dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan ada uji coba Obat Covid Kerjasama antara BIN, TNI-AD, dan Unair yang dihentikan oleh BPOM. Karena proses riset yang tidak sesuai standar.

Puncak pelanggaran etika terkait riset obat adalah uji klinik fase 2 Vaksin Nusantara, yang data uji klinik fase 1-nya di RS Kariadi ternyata dipalsukan. Saat itu peneliti utama (menkes Terawan) dan para pendukungnya mengandalkan testimoni para petinggi Senayan. Sedangkan suara jernih para akademisi dan Guru Besar yang menentang pelbagai riset palsu tersebut, selalu dipojokkan oleh narasi para buzzer sebagai tidak nasionalis dan tidak mendukung karya anak bangsa.

Tanpa ada kolegium yang independen, negeri ini bakal jadi belantara riset dan uji coba obat pada manusia yang membahayakan rakyat banyak.

Perjalanan Perkembangan Ilmu Kedokteran pernah diwarnai oleh tragedi kemanusiaan sebagai akibat hilangnya independensi Kolegium Kedokteran. Antara tahun 1925-1940, para dokter di Jerman (di bawah kekuasaan politik Adolf Hitler), melakukan berbagai Genetik dan Biomedik yang melanggar martabat kemanusiaan. Memanfaatkan para tahanan di Kamp Konsentrasi sebagai manusia coba. Paska perang, para dokter ini diadili dalam pengadilan Nurenberg. Yang akhirnya menghasilkan Kode Nurenberg (cikal bakal Deklarasi Helsinki tentang Etika Riset Obat/ Vaksin yang melibatkan subjek manusia).

USA-pun tidak luput dari skandal pelanggaran HAM berat pada kasus Tuskegee Siphylis Study (1932-1972). Kucuran dana besar Korporasi melandasi dilakukannya sebuah riset oleh para dokter, yang menjadikan sebuah komunitas Afro-Amerika miskin di desa Tuskegee, sebagai ā€˜hewan coba’ dengan imbalan uang dan sembako.

Sebanyak 399 pria sengaja ditulari infeksi Sifilis, dan tidak diberikan pengobatan, demi mempelajari efek kerusakan organ tubuh akibat infeksi dari tahun ke tahun. Peserta uji-coba samasekali tidak diberitahu tujuan penelitian. Dan bagi yang bersedia diotopsi saat meninggal akan dapat tambahan bonus uang.

Riset ini berakhir dengan 128 kematian dan sisanya menderita cacad. Riset yang melanggar etika kedokteran ini akhirnya terbongkar oleh tulisan Jean Heller, jurnalis dari Associated Press, yang menimbulkan kemarahan besar seluruh dunia beradab, di The Washington Star (25 Juli 1972) dan The New York Times (26 Juli 1972). Peristiwa serupa dalam skala yang lebih kecil pernah juga terjadi di Jepang dan banyak negara lain.

Semua peristiwa di atas menggambarkan betapa pengaruh kekuasaan dan dana korporasi/kepentingan bisnis mudah sekali menjerumuskan para akademisi dan professional medis, untuk menggunakan keahlian dan pengetahuannya dengan cara yang tidak sesuai dengan etika dan moral kemanusiaan.

Bahkan saat inipun terjadi praktek pengobatan yang belum didukung oleh EBM, atau masih uji coba, dan berbiaya amat mahal. Praktek yang melanggar etika profesi ini terus berlangsung, dengan memanfaatkan ketidak-tahuan konsumen.

Oleh karena itu, demi menjaga etika dan moral para dokter dalam berpraktek profesi, Kolegium sebagai ā€˜Academic Body’ setiap bidang Ilmu Spesialis harus dijaga tetap mandiri/ independen, hanya mengikuti Kebenaran Sains yang Universal, dan samasekali tidak boleh ada Coflict of Interest.

Kolegium benar-benar dipilih dari dan oleh Pengampu Ilmu yaitu para Guru Besar dan para Kepala Sekolah/Kaprodi Sekolah Spesialis. Dan tidak pernah dikooptasi, apalagi diperintah atau dipilih oleh pengurus Organisasi Profesi (IDI dan Perhimpunan Dokter Spesialis). Semua narasi menkes dan para buzzernya tentang Kolegium tidak independen dan dikuasai OP adalah bak pita kaset rusak yang terus diputar ulang. (*)

 

 



Popular

LAINNYA

Terkini