31.1 C
Semarang
Selasa, 26 Agustus 2025

Jateng Industrial Belt: Jalan Baru Keluar dari Zona Kemiskinan – Oleh Wahidin Hasan 

Oleh : Wahidin Hasan*

JATENG POS. CO. ID, SEMARANG- ADA kabar baik yang tak seharusnya lewat begitu saja: per Maret 2025, tingkat kemiskinan Jawa Tengah turun ke 9,48% atau turun 0,10 poin dari September 2024. Jumlah orang miskin pun menyusut jadi 3,37 juta jiwa (turun 29,65 ribu orang).

Di pasar kerja, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 berada pada 4,33%, lebih rendah setahun sebelumnya. Bahasa sederhananya, semakin banyak orang bekerja maka kelompok rentan sedikit berkurang. Ini bukan angka sakti, tapi penanda arah yang tepat.

Korelasi langsungnya muncul di investasi. Pada semester I/2025, realisasi investasi Jateng mencapai Rp 45,58 triliun. Ini yang penting yakni mampu menyerap 222.373 pekerja, tertinggi di antara provinsi di Pulau Jawa.

Di kuartal I saja, penyerapan mencapai 97.550 orang, dengan alas kaki dan kulit menjadi penyerap terbesar. Ini berarti, mesin industri di pantai utara, dari Kendal hingga Batang, tidak sekadar papan nama. Mereka mulai bergerak, mengisi dompet keluarga.

Peta Kawasan Industri: Kendal, Batang, dan Brebes
Pada peringatan Hari Jadi Ke-80 Provinsi Jawa Tengah digelar di Kawasan Industri Terpadu Batang(KITB), Selasa (19/8/2025). Gubernur Ahmad Luthfi mengajak pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat pembangunan.

Kendal sudah lama jadi “anak sulung” kawasan industri Jateng. Di kawasan ekonomi khusus ini, perusahaan yang beroperasi terus bertambah dan kebutuhan tenaga kerja masih puluhan ribu. Angka yang sering disebut pejabat daerah adalah kurang lebih 37 ribu pekerja tambahan. Ini menggambarkan mismatch klasik: lowongan ada, tapi keterampilan harus ngepas.

Batang mengambil peran baru setelah Kawasan Industri Terpadu (KITB) diresmikan sebagai KEK Industropolis Batang pada 20 Maret 2025.

Status KEK memberi karpet merah: fiskal, bea, lahan, dan pasti izin. KEK ini dirancang menjadi magnet hilirisasi dan manufaktur padat karya, sehingga efek berantainya masuk sampai warung, kos-kosan, dan logistik lokal.

Sementara, Brebes adalah “adik bungsu” yang ambisius: rencana Kawasan Industri Brebes (KIB) seluas ribuan hektare menunggu harmonisasi RTRW dan detail tata ruang.

Ini bukan sekadar teknis, tetapi fondasi kepastian hukum bagi investor (dan nasib ribuan calon pekerja). Begitu RDTR terkunci, kanal investasi bisa dibuka lebih lebar.

Kalau tiga kutub ini, Kendal, Batang, Brebes, tersambung dengan logistik memadai, pendidikan vokasi yang “klik” dengan pabrik, dan izin yang tidak “seret”, maka target Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen untuk punya “Jateng Industrial Belt” akan nyata, bukan jargon.

Kawasan Industri Mengeliminasi Kemiskinan
Ekonomi pembangunan punya penjelasan lama tapi sahih. Michael Porter menyebut, keunggulan kompetitif lahir dari klaster, interaksi antarfirma, pemasok, talenta, dan lembaga pendidikan, di satu wilayah.

Di klaster, produktivitas dan inovasi naik karena kedekatan. Jateng utara sedang menuju itu, yakni pemasok komponen, training center, SMK, kampus, dan pabrik, menjadi satu ekosistem.

Paul Krugman mengajarkan “new economic geography”, industri cenderung menggerombol karena skala ekonomi dan pasar tenaga kerja yang tebal, yang akhirnya menciptakan “inti” manufaktur.

Kendal-Batang berpotensi menjadi “inti” baru di Jawa, terutama untuk subsektor garmen-alas kaki-elektronik ringan.

Baca juga:  Nana Sudjana Dampingi AHY Luncurkan Layanan Elektronik di 29 Kantor Pertanahan

Dani Rodrik mengingatkan: kebijakan industri modern bukan memilih pemenang, tetapi membongkar rintangan, dari izin, logistik, sampai informasi melalui “koordinasi negara–swasta” yang adaptif.

Pemerintah tidak harus menebak industri apa, tetapi memudahkan industri yang muncul dan cepat memperbaiki ketika industri tersebut hadir tidak sesuai dengan kondisi geoekonomi daerah.

Justin Yifu Lin menambahkan dari perspektif New Structural Economics: negara perlu menyelaraskan kebijakan dengan keunggulan komparatif dinamis. Misal, buruh melimpah akan mendorong padat karya dulu, lalu bertahap naik kelas ke padat teknologi.

Itu cocok untuk Jateng, mulai dari alas kaki, garmen, komponen otomotif, lalu naik ke elektronik dan medical devices.

Syarat “Ramah Pabrik”
Di level praksis, Chatib Basri berulang kali menekankan iklim investasi sebagai kunci: bukan cuma tarif pajak, tapi kepastian, kemudahan, dan konsistensi aturan. Tanpa itu, pabrik enggan menancap jangkar, insentif tak akan cukup. Pesan ini penting untuk birokrasi daerah yang memegang “baut-baut kecil” perizinan.

Fakta di lapangan: perizinan daerah sering masih dianggap sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), sehingga alih-alih meluncurkan, malah menebalkan biaya transaksi. Jika ini tak dibereskan, investor bisa belok ke provinsi tetangga yang lebih “tidak rewel”.

Di sisi lain, perdebatan hilirisasi vs industrialisasi yang diulas Faisal Basri patut jadi rem tangan agar Jateng tidak puas di hulu (ekstraktif) atau sekadar “assembling”. Hilirisasi harus nyata mencetak pabrik bernilai tambah dan tenaga kerja terampil, bukan hanya memindahkan gudang.

Serapan kerja melonjak seiring derasnya investasi semester I/2025. Jateng memimpin Pulau Jawa untuk jumlah tenaga kerja yang terserap dari proyek investasi baru. Dampak ke TPT dan kemiskinan sudah terlihat, meski tipis tapi trend line-nya turun.

Node kawasan makin jelas, KEK Kendal matang, KEK Industropolis Batang diresmikan, Brebes on-track menuntaskan tata ruang. Pemerintah provinsi juga terang-terangan mendorong vokasi–BLK–SMK link and match dengan pabrik.

Bottleneck perizinan dan kepastian lahan di kabupaten/kota. Tanpa RDTR yang tuntas dan SOP cepat, biaya transaksi tetap tinggi. Ini bertentangan dengan resep Rodrik soal kebijakan yang mengurangi friksi, bukan menambah.

Mismatch keterampilan yakni kebutuhan Kendal lebih dari 37 ribu pekerja tambahan menunjukkan suplai belum klop. Solusinya bukan sekadar pelatihan massal, tapi kurikulum yang dirancang bareng industri, on-the-job training, sertifikasi modular, dan jalur cepat re-skilling ibu-ibu rumah tangga dan lulusan SMA/SMK.

Jalan Keluar dari “Provinsi Miskin”
Satu, Kunci aturan, potong friksi; Targetkan RDTR tuntas untuk koridor Kendal–Batang–Brebes (dan kota satelitnya). Bentuk desk percepatan lintas pemda untuk menyamakan tafsir aturan, memangkas disparitas biaya izin antarkabupaten.

Ini sejalan dengan tesis iklim investasi yakni tarif. Jika tiga kawasan menjadi “one stop certainty zone”, investor tidak akan “shop around” ke provinsi sebelah.

Kedua, vokasi presisi, bukan seremonial. Tetapkan “industrial core curriculum” per subsektor (alas kaki, garmen, elektronik ringan) bersama asosiasi industri.

Skemakan dual sistem, 3 hari di pabrik, 2 hari di kelas, sertifikasi per modul yang diakui HR pabrik. Targetkan pengisian kebutuhan 37 ribu tenaga Kendal dalam 12-18 bulan lewat jalur cepat re-skilling (prioritas keluarga miskin produktif).

Baca juga:  Kisah Waria Semarang Jadi Guru Ngaji

Ketiga, Orkestrasi logistik mikro, dana kecil dampak besar: angkutan karyawan antarzona, mess pekerja standar layak, daycare dekat pabrik, dan klinik kerja.

Ini meningkatkan female labor force participation dan menekan turn over, dua indikator yang sering luput di headline, tapi krusial menghajar kemiskinan rumah tangga dengan satu-dua pencari nafkah. (Instrumen ini inline dengan literatur klaster dan aglomerasi: biaya harian pekerja dan friksi mobilitas menentukan daya saing wilayah).

Keluar dari Zona Miskin dan Pengangguran
Apakah Jateng bisa keluar dari zona miskin dan pengangguran? Jawabannya bisa, jika tren hari ini dijaga tiga tahun berturut-turut. Basis data mendukung optimisme, kemiskinan menurun (9,48%), TPT turun (4,33%), dan pace penyerapan tenaga kerja investasi sangat tinggi (222 ribu di semester I/2025).

Jika pace ini konsisten, kita bicara penurunan kemiskinan 0,2–0,4 poin per tahun tanpa guncangan besar, ditambah program non-industrial (perlindungan sosial, UMKM naik kelas), angka 8-persenan dalam 2–3 tahun bukan mimpi.

Katalis kelembagaan: status KEK Batang sudah diresmikan; tinggal memastikan tidak jadi “pulau insentif” yang kesepian. Integrasikan pasokan komponen dari UMKM se-Jateng; berikan skema purchase guarantee skala kecil agar UMKM berani investasi alat.

Risiko yang harus diakui adalah penundaan tata ruang (Brebes), fluktuasi global (pesanan garmen alas kaki), dan friksi izin. Di sinilah pentingnya koordinasi negara–swasta (Rodrik) yang gesit, daily management kawasan, bukan rapat triwulanan yang terlalu formal.

Pada 12 bulan ke depan (checklist yang bisa diaudit publik) tuntas RDTR prioritas di Brebes–Tegal–Pemalang (koridor pendukung), dengan SLA evaluasi izin kurang lebih 14 hari kerja untuk investasi manufaktur padat karya.

Kontrak “kurikulum bersama”: 50 pabrik, 50 SMK, 5 politeknik/BLK; target 10.000 lulusan terserap per angkatan, mulai dari alas kaki dan garmen.

Paket logistik pekerja yakni bus karyawan lintas kabupaten, insentif daycare di sekitar kawasan, standar mess pekerja (PDAM, kesehatan, keamanan). Ini elemen kecil yang mengerek partisipasi kerja perempuan dan menahan turn over, yakni syarat klaster yang tahan banting.

One Data Invest: dashboard publik real-time untuk lowongan, kebutuhan skill, gaji rata-rata, progres izin, supaya supply demand tenaga kerja bertemu cepat, dan publik bisa mengawasi janji serapan tenaga kerja.

Dari Jargon ke Keseharian
Kawasan industri bukan mantra. Ia bekerja jika tiga hal dijaga, kepastian (aturan dan lahan), keterampilan (vokasi yang presisi), dan kenyamanan (logistik hidup pekerja).

Statistik 2025 menunjukkan Jateng sedang di jalur yang benar, kemiskinan dan pengangguran turun, investasi menyerap ratusan ribu.

Tugas Ahmad Luthfi-Taj Yasin berikutnya adalah membakukan kebiasaan baik, cepat bereskan tata ruang, rapikan izin, dan fokus pada manusia bukan hanya pabriknya.

Dengan resep Porter–Krugman–Rodrik–Lin, dipraktikkan tanpa berdebat. Istilah “Jateng Industrial Belt” bisa betul-betul memindahkan ribuan keluarga dari garis kemiskinan ke kelas pekerja modern, bukan lewat slogan tapi lewat gaji bulanan yang tepat waktu. (*)

*Wahidin Hasan, pemerhati kebijakan publik pada Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah


TERKINI

Empat Bulan Terima 3.940 Panggilan Darurat

Sejumlah Alumni UMK Tidak Terdaftar di PDDikti

Polres Kudus Kawal Korban Sound Horeg

Hasil Angket DPRD Temukan Kesalahan Wali Kota

Rekomendasi

Lainnya