26 C
Semarang
Jumat, 28 November 2025

Sarung Batik dan Semangat Tri Sakti Bung Karno



Oleh:

Wahid Abdulrahman*

Kritik keras atas kebijakan pemakaian “sarung batik“ setiap hari jumat untuk ASN di lingkungan Pemprov Jawa Tengah patut disyukuri. Sebagai jamu yang “pahit” namun menyehatkan. Juga sebagai cermin bahwa demokrasi masih tumbuh, dimana setiap warga bebas memberikan penilaian atas kebijakan pemerintah. Tinggal kemudian bagaimana pemerintah meresponnya.

Dalam sudut pandang hukum, berangkat dari Surat Edaran No : B/800.1.12.5/843/2025, kebijakan tersebut nampaknya tidak ada yang keliru. Terlebih ada “cantolan” regulasi dari Kementerian Dalam Negeri yakni Permendagri No 10 Tahun 2024 tentang Pakaian Dinas ASN di lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah. Kalaupun ada yang menilai tidak tepat, sangat mungkin regulasi tersebut ditinjau ulang.

Kritik kemudian muncul ketika coba dibangun dalam sudut pandang budaya, religi, bahkan sebagian menghubungkannya dengan “politik identitas” dan ketidakpekaan terhadap situasi sosial masyarakat Jawa Tengah dewasa ini. Sekali lagi tafsir tersebut wajar.

Tidakkah kita ingat satu dari “Tri Sakti” yang disampaikan Bung Karno menyangkut “berkepribadian dalam budaya”. “Sarung Batik” adalah bagian dari budaya yang memiliki akar kuat dalam tradisi masyarakat di Jawa. Maka dengan memakai sarung batik setidaknya sekali dalam seminggu, sebuah harapan untuk membangun kepribadian dalam budaya bisa diletakkan.

Baca juga:  Pelatihan Cara Menjadi Khotib Sholat Jumat

Harus diakui memang ada nuansa religi dalam sarung yang selama ini erat dengan santri. Namun demikin perlu kita melihat bahwa tradisi sarung tidak saja tumbuh di kalangan santri di Jawa, di Malaysia, bahkan di India pun sudah lama tumbuh. Tentu dengan berbagai corak dan motivnya. Apalagi dalam perspektif nasionalisme keindonesiaan, sarung adalah salah satu simbol perlawanan atas kolonialisme.

Tidak jauh berbeda dengan “peci” sebagai identitas kebangsaan yang telah melampaui sekat-sekat suku dan agama. Pada tataran itulah kemudian “batik” menjadi penanda sekaligus pembeda, tidak sekedar sarung tetapi “sarung batik”.

Sekedar informasi, bahwa batik Indonesia sudah tetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh UNESCO sejak 2009.

Selanjutnya Tri Sakti Bung Karno menyebut “berdikari bidang ekonomi” yang kemudian banyak ditafsirkan sebagai ekonomi kerakyatan. Membangun kemandirian ekonomi dengan pondasi kekuatan rakyat “wong cilik”. Tugas pemerintah sudah tentu menciptakan kebijakan yang berpihak atau setidaknya merangsang tumbuhnya ekonomi kerakyatan. Sederhananya pro terhadap UMKM.

Baca juga:  Buku Biografi Gus Yasin Diluncurkan, Ini Isinya

Data ASN Pemprov Jawa Tengah baik PNS maupun PPPK per 10 September 2025 mencapai 49.877, dimana laki-laki sebanyak 26.270 orang. Kalau saja 90 persen dari ASN laki-laki tersebut membeli sarung batik masing-masing dua buah dengan harga setiap sarung batik Rp.300.000, maka nilainya mencapai Rp 14,1 milliar. Angka tersebut tentu akan semakin berlipat apabila jumlah sarung batik yang dibeli semakin banyak, dan diikuti oleh ASN di tingkat kabupaten/kota di seluruh Jawa Tengah.

Mayoritas pelaku industri sarung batik di Jawa Tengah adalah pengusaha UMKM. Dengan demikian jika skenario ini lancar bukan mustahil dari Jawa Tengah kebangkitan industri sarung batik akan dimulai. Dengan catatan belilah produk UMKM, bukan sarung batik impor!. (*)

*Wahid Abdulrahman
(Alumni Program Doktoral Kajian Asia Tenggara Goethe University Jerman)



TERKINI


Rekomendasi

...