Oleh: Mercy Bientri Yunindanova, S.P., M.Si., Ph.D. (Dosen Fakultas Pertanian UNS Surakarta)
PASTRI saat ini sedang booming di Indonesia. Kata pastri berasal dari bahasa Prancis pâtisserie, yang berarti “berbagai macam kue.” Istilah ini dalam The Grolier International Dictionary (1981, hlm. 959), dapat diartikan sebagai berbagai jenis kue atau roti yang memiliki karakter renyah di luar tetapi lembut di bagian dalam. Pastri Prancis memang diketahui memiliki sensasi yang khas berupa berlapis dan renyah. Hal ini karena penggunaan mentega yang melimpah (Destira, 2014).
Pada 5-10 tahun lalu, pastri di Indonesia identik dengan hidangan mewah yang disajikan di hotel bintang lima atau restoran mewah. Namun, saat ini pastri telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan mudah ditemukan di banyak tempat. Pastri saat ini di berbagai kota dapat ditemukan mulai dari kafe, kedai kopi, hingga toko roti di lingkungan sekitar. Fenomena ini menunjukkan bahwa tren pastri terus berkembang dan secara bertahap mengubah praktik budaya serta selera masyarakat.
Perubahan ini paling terlihat pada Generasi Z. Generasi Z (Gen Z) lahir pada rentang tahun 1997 dan 2012. Saat ini (tahun 2025) umumnya berusia antara 13 hingga 28 tahun. Mereka saat ini adalah segmen demografis terbesar di Indonesia. Menurut data BPS, Gen Z memiliki proporsi 27,94 persen dari total penduduk Indonesia (A’yun, 2015). Ciri dari kelompok usia ini adalah dengan adanya rasa ingin tahu yang besar, kemampuan beradaptasi dengan tren global secara cepat, dan diikuti keinginan kuat untuk mencoba hal baru. Munculnya introduksi pangan dari berbagai negara, termasuk pastri menjadikan Gen Z menjadi aktor utama dalam trend perubahan budaya konsumsi pangan di Indonesia. Mereka memiliki proporsi besar sebagai konsumen utama pastri di Indonesia. Konskuensinya, sebagai generasi digital dan penentu tren konsumsi, pilihan makanan mereka, termasuk kue-kue, akan secara signifikan mempengaruhi arah masa depan pasar makanan Indonesia.
Di sisi lain, di balik popularitas pastri, terdapat masalah ketahanan pangan yang mendasar. Bahan utama pastri adalah tepung terigu, yang dihasilkan dari biji gandum. Indonesia tidak memproduksi gandum secara domestik. Menurut Khan et al. (2021), suhu optimum untuk pertumbuhan gandum pada fase heading (tahap keluarnya malai gandum dari pelepah daun bendera) adalah sekitar 16 ± 2,3 °C, pada fase anthesis (fase pembungaan) sekitar 23 ± 1,75 °C, dan pada fase grain filling (pengisian biji) sekitar 26 ± 1,53 °C. Kondisi suhu tersebut mencerminkan bahwa gandum secara alami memang lebih cocok dibudidayakan di daerah beriklim temperate atau subtropis. Pembudiayaan di daerah tropis seperti Indonesia memerlukan upaya adaptasi varietas dan teknologi budidaya agar tanaman gandum dapat tumbuh optimal.
Semua kebutuhan gandum dipenuhi melalui impor, dan volumenya terus meningkat setiap tahun (Rizqi et al., 2024). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pemasok utama adalah Australia, Kanada, Ukraina, dan beberapa negara lain. Meskipun industri penggilingan dalam negeri mendapat manfaat dengan mengolah biji gandum impor menjadi tepung secara lokal, ketergantungan ini menciptakan kerentanan struktural. Proyeksi menunjukkan bahwa impor gandum akan terus meningkat rata-rata 6,38 persen per tahun, berpotensi mencapai 21,6 juta ton pada tahun 2030 (Rizqi et al., 2024).
Beberapa konsekuensi patut diperhatikan. Pertama, konsekuensi terhadap pangan lokal. Preferensi yang semakin meningkat terhadap pastri di kalangan konsumen muda dapat mengikis keterikatan dengan makanan tradisional lokal. Makanan berbasis beras, umbi-umbian, sagu, atau jagung mulai tergeser oleh croissant, puff, dan pastri lain. Dari perspektif sensorik dan gaya hidup, generasi muda cenderung memandang makanan berbasis gandum sebagai lebih modern dan prestisius. Hal ini menyebabkan secara bertahap nilai budaya dan penerimaan terhadap makanan lokal menurun.
Kedua, tantangan sustainabilitas bisnis pastri. Tren pastri yang booming, bersamaan dengan industri kopi, berisiko memperdalam defisit ketahanan pangan. Impor gandum tidak hanya membebani cadangan devisa negara tetapi berpotensi juga membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketika harga gandum global naik, biaya produksi pastri juga meningkat. Gen Z, sebagai konsumen utama, akan menghadapi penurunan daya beli, sementara bisnis harus menghadapi tantangan keberlanjutan.
Ketiga, bahan baku lokal semakin terpinggirkan. Padahal Indonesia memiliki kekayaan komoditas yang dapat diolah menjadi tepung pengganti atau pelengkap (komplemen). Tepung dari Indonesia diantaranya tepung mocaf (singkong modifikasi), tepung sagu, tepung beras, tepung sorgum dan tepung talas. Alternatif ini memiliki potensi namun masih kurang berkembang akibat nilai pasar yang rendah, inovasi terbatas, dan dukungan industri yang tidak memadai.
Menangani hal ini diperlukan penelitian yang lebih kuat dan kolaborasi lintas disiplin. Penggunaan tepung lokal sebagai komplemen atau pendekatan “fusion food” dapat menjadi strategi yang dilakukan. Tentunya kajian, uji coba, dan riset pengembangan diperlukan baik oleh peneliti maupun oleh pebisnis pastri. Tidak hanya generasi muda, generasi di atas Gen Z atau masyarakat secara luas perlu mengetahui hal ini. Kolaborasi banyak pihak melalui program bersifat edukatif dan berkelanjutan akan berperan menjaga ketahanan pangan.
Ketahanan pangan tidak hanya tentang pasokan, tetapi juga tentang rasa dan pilihan generasi. Tanpa intervensi dini, booming pastri dapat menjadi “bom waktu” yang mengancam kedaulatan pangan Indonesia. Sebaliknya, dengan inovasi yang berakar pada sumber daya lokal, Indonesia dapat mengubah momentum ini menjadi peluang untuk menghidupkan kembali dan merayakan warisan kuliner bangsa. Ketahanan pangan, bukan hanya tentang bahan pokok, tetapi juga tentang kebanggaan nasional. Jika generasi muda lebih familiar dengan croissant daripada cucur, atau lebih nyaman dengan puff pastry daripada klepon, maka identitas kuliner kita akan perlahan memudar. Apakah kita akan membiarkan diri kita menjadi tamu di dapur sendiri? (*)