Sri Mulyani Punya Jurus Menopang Rupiah

JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA — Gejolak ekonomi global membuat beberapa negara mengalami krisis keuangan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini turut berdampak terhadap pelemahan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.

Walau demikian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memastikan fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat untuk menghadapi gelombang krisis yang menimpa Turki, Venezuela, dan Argentina.

“Kita memiliki daya tahan dibandingkan negara-negara terdampak tersebut,” kata Ani, sapaan Menkeu, pada program Prime Talk di Metro TV, Kamis, 5 September 2018.

Menurut Ani, pemerintah sedang melancarkan berbagai jurus dan strategi untuk menopang mata uang Garuda yang tengah terpuruk dan hampir menyentuh level Rp15.000 per USD.

iklan

Langkah pertama, melihat kondisi fiskal atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih dalam kondisi relatif sehat di tengah gempuran ekonomi global. Tampak dari berbagai indikator makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi kuartal II yang tumbuh signifikan sebesar 5,27 persen secara tahunan (Year on Year/YoY) dalam tiga tahun terakhir. Inflasi juga terkendali dalam setahun terakhir karena ditopang oleh stabilnya harga bahan pokok.

Baca juga:  Lyfe With Less Kampanyekan #PakaiSampaiHabis

Namun, pemerintah dihadapkan pada tingginya angka impor akibat tingginya pergerakan ekonomi pada kuartal dua. Ketika impor naik, pemerintah melakukan bauran kebijakan fiskal guna menggenjot sektor riil yang sesak akibat naiknya harga bahan baku impor. “Dan itu adalah growth inflasi,” ucap Ani.

Kedua, aktivitas impor yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor ini mengakibatkan defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) Indonesia semakin lebar. Oleh sebab itu, kata Ani, pemerintah berupaya menekan impor dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Di antaranya mewajibkan penggunaan biodiesel 20 persen (B20), serta menaikkan PPH impor bagi 900 produk.

“Nah, itu cara kita mengerem impor secara tidak langsung,” kata Ani.

Baca juga:  Bunga KPR Rendah Bakal Memacu Pasar Properti

Ketiga, dari sisi moneter Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai bauran kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Mulai dari mengikuti arah kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed), intervensi pasar, hingga menggunakan cadangan devisa yang kini tinggal Rp118 triliun.

“Bank Indonesia sudah menggunakan mix policy juga untuk menarik rupiah agar lebih stabil,” katanya.

Ani menambahkan, pemerintah tidak hanya melakukan pertahanan lewat berbagai bauran kebijakan, tapi juga menggempur sektor ekspor. Caranya, dengan menggunakan instrumen fiskal seperti tax allowance, tax holiday, hingga menambah akses ke pasar modal.

Upaya ini dipercaya dapat meningkatkan jumlah komoditas ekspor serta mendorong industri yang potensial untuk merambah pasar global. Namun, strategi ini tetap memperhatikan berbagai risiko dari peningkatan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Baca juga:  Pertamina Inisiasi Satuan Pendidikan Aman Bencana di Semarang

“Ada yang bilang kita jangan bertahan saja. Menyerangnya adalah ekspor, makanya kita lihat komoditas ekspor,” ucapnya.

Seperti diketahui, sejumlah negara mulai terombang-ambing akibat panasnya ekonomi global. Ketidakpastian ini dipicu oleh berbagai kebijakan moneter negara adidaya Amerika Serikat (AS). Berawal dari kebijakan proteksionis dan suku bunga tinggi  karena membaiknya ekonomi negara Paman Sam tersebut.

Kebijakan itu kemudian berlanjut dengan pemberlakuan tarif bea masuk bagi produk Tiongkok oleh Presiden AS Donald Trump. Sebagai aksi balasan, Tiongkok juga menerapkan tarif serupa sehingga genderang perang dagang antara kedua negara dengan ekonomi terkuat di dunia itu mulai ditabuh.

Rentetan gejolak ini membuat sejumlah mata uang negara-negara di dunia menjadi tak berdaya. Bahkan, Turki, Venezuela, dan sejumlah negara di Amerika Latin mengalami krisis ekonomi yang membuat mata uang mereka menjadi tak ada harganya.(fid/ant)

iklan