JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Penentuan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi tetap menjadi kewenangan institusi terkait, seperti Pertamina, lantaran tidak berhubungan langsung dengan keuangan negara. Meski begitu, pemerintah tetap memiliki peran dalam hal pengawasan harga, sebagai upaya untuk memastikan jika harga BBM non subsidi yang dijual masih dalam keterjangkauan masyarakat.
Hal tersebut dikatakan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto, menanggapi wacana penyesuaian harga BBM non subsidi secara mingguan.
Menurut Sujarwanto, BBM non subsidi merupakan komoditas strategis yang menyangkut kebutuhan nasional masyarakat. Dengan begitu, pemerintah tetap harus turut melakukan pengawasan harga agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Meski tak menyangkut keuangan negara, tapi BBM non subsidi ini kan juga menyangkut kebutuhan nasional. Jadi, pemerintah tetap wajib mengawasi, setidaknya nanti ada batas tertinggi dari harga yang tidak boleh dilampaui,” ungkap Sujarwanto.
Sujarwanto mengakui, saat ini harga BBM non subsidi memang sangat berpatokan pada harga minyak dunia. Apalagi, pemenuhan BBM di dalam negeri didominasi dari impor.
“Sedangkan kemampuan produksi minyak di dalam negeri baru 7.000 barrel per hari, dengan kebutuhan minyak rata-rata sudah di atas 2.000 barrel per hari,” ujarnya.
Meski begitu, lanjut Sujarwanto, saat ini harga BBM non subsidi di Indonesia masih cukup kompetitif dibandingkan dengan negara lain, termasuk Arab Saudi sebagai negara penghasil minyak. Untuk itulah, pihaknya mendukung rencana pengumuman harga BBM non subsidi yang rencananya dilakukan setiap minggu.
“Pengumuman harga BBM non subsidi secara mingguan ini justru membuat masyarakat bisa melakukan pengendalian konsumsi secara mandiri. Ini juga menjadi keadilan bagi pasar,” tukasnya.
Sujarwanto mencontohkan, jika masyarakat mengetahui minggu ini harga minyak dunia tengah turun, maka mereka pun jadi bisa memperkirakan kalau harga BBM minggu depan akan turun. Nah, kalau tahu harga minyak dunia naik, masyarakat pun lantas bisa melakukan pengendalian konsumsinya.
Bagi pengelola SPBU, kata Sujarwanto, dinilai tidak perlu khawatir dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, sudah ada sistem dari Pertamina untuk memastikan jika mereka tidak akan merugi.
“SPBU ini kan kepanjangan tangan dari Pertamina, sudah ada bantalan bantalan bagi mereka untuk menghadapi naik turun harga BBM,” tandasnya.
Minim Lonjakan Inflasi
Terkait wacana penyesuaian harga BBM non subsidi secara mingguan, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah, Rahmat Dwisaputra menyatakan, turut mendukung. Menurutnya, hal tersebut menjadi terbuka dan akan meminimalisir terjadinya penimbunan BBM di masyarakat.
“Kalau diumumkan secara rutin mingguan malah bagus, karena informasi harganya malah terbuka. Tidak akan terjadi penimbunan, karena masyarakat luas menjadi tahu harga yang ada,” katanya.
Menurut Rahmat, keterbukaan mengenai harga BBM akan mengurangi terjadinya asimetris informasi yang dapat menyebabkan perbedaan harga satu daerah dengan daerah lainnya.
“Asimetri informasi menyebabkan orang berupaya meningkatkan harga. Tapi kalau sudah ada pengumuman resmi akan lebih bagus. Seperti jaman dulu ada Pak Harmoko yang menjelaskan tentang harga – harga bahan pokok setiap seminggu sekali. Itu malah bagus,” ungkap Rahmat.
Rahmat menambahkan, kebijakan ini tidak akan terlalu berpengaruh pada inflasi di daerah. Pasalnya, BBM non subsidi lebih banyak digunakan untuk konsumsi pribadi.
“Ini berbeda dengan BBM subsidi yang selama ini banyak digunakan untuk sektor transportasi seperti angkutan barang. Kalau BBM non subsidi kebanyakan digunakan kendaraan pribadi. Jadi, meski ada efek psikologisnya terhadap kenaikan inflasi, tapi itu tidak akan banyak,” tandasnya.
Terpisah, Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Wahyu Widodo mengungkapkan, koordinasi antara pemerintah dengan Pertamina diperlukan untuk menentukan harga BBM non subsidi di tengah fluktuasi harga minyak dunia saat ini. Pemerintah dan Pertamina bisa meningkatkan koordinasi dengan menetapkan sistem yang disepakati, termasuk komponen yang mempengaruhi dalam penentuan harga BBM non subsidi.
“Dengan begitu, rasionalnya untuk naik turun harga bisa mudah dipahami, karena komponennya sudah pasti. Jadi, kalau konteks mengawasi menjadi konsultatif yang berkepanjangan, ini bukan problem teknis, tapi problem kelembagaan,” ungkapnya.
Wahyu menambahkan, pengawasan pemerintah dalam penentuan harga BBM non subsidi tetap perlu dilakukan, karena berkaitan dengan komoditas vital yakni sektor energi. Namun demikian, pengawasan dilakukan untuk memastikan market price atau harga pasar ditetapkan sesuai dengan formula yang telah ditentukan.
“Kalau konteksnya mengawasi, itu berarti tidak ikut menentukan formulanya. Jadi kalau Pertamina kemudian menaikkan harga, itu menjadi hal wajar,” tukasnya.
Dijelaskan, pengumuman harga BBM non subsidi secara mingguan juga tidak akan berpengaruh besar pada inflasi. Hal ini mengingat sektor transportasi masih mendapatkan subsidi BBM dari pemerintah, dan tidak banyak sektor produksi yang menggunakan BBM non subsidi sebagai bahan baku.
“Itu kan sektor transportasi masih difasilitasi oleh pemerintah. Tapi memang akan ada efek psikologis yang harus diwaspadai, karena mereka sering melakukan adjustment,” ujarnya.
Ke depan, Wahyu Widodo mendorong pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi non fosil, mengingat semakin terbatasnya produksi minyak didalam negeri. Selama ini, belum ada upaya transformasi secara penuh untuk penggunaan energi baru terbarukan, sehingga potensi gejolak karena fluktuasi harga minyak masih tinggi.
“Yang harus diedukasi ke masyarakat yakni bahwa kita itu bukan lagi negara penghasil minyak, tapi kita mengimpor minyak mentah. Jadi, kalau harga minyak dunia naik, kita juga akan terkena imbasnya,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan, harga BBM non subsidi bersifat fluktuatif, sehingga perlu evaluasi secara berkala, mengikuti tren dan mekanisme pasar. Pertamina bisa melakukan penyesuaian harga mengikuti tren harga minyak dunia dan harga rata-rata publikasi minyak.(aln)