JATENGPOS.CO.ID, KARANGANYAR – Puluhan siswa SLB Karanganyar mendapatkan pelatihan membuat kerajinan gerabah. Tak disangka dengan segala keterbatasanya sebanyak 22 siswa tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, dan tuna daksa itu sangat antusias belajar dan mampu menghasilkan karya.
Dibimbing langsung oleh Sumilih, sang empu kerajinan gerabah dari kampung gerabah Sayangan, Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Klaten ini setiap siswa yang sudah mendapat lempung, kemudian langsung diajarkan cara cetak gerabah, dan teknik putaran tegak hingga miring. Celengan, gelas, poci, mangkok, hingga asbak berhasil dibuat dengan baik.
“Sepintas terlihat normal, tapi kalau sudah komunikasi, itu baru kelihatan repotnya. Namun, saya terkesan dan bangga, ini kali pertama mengajar mereka. Semangat mereka ada yang melebihi anak normal,” jelasnya pada wartawan, kemarin (24/7).
Kegiatan yang sudah berlangsung selama tiga hari ini dan dijadwalkan rampung pada Jumat,(26/7) itu terselenggara berkat gagasan Dr. Marimin, MSi yang tengah melakukan penelitian guna membangun kemandirian anak difabel.
“Sebagai dosen profesional, untuk mengamalkan Tridharma Perguruan Tinggi. Melalui LPPM UNS saya mengajukan proposal penelitian ke Kemenristek Dikti. Alhamdulillah terpilih,” ungkapnya.
Dalam kegiatan yang bertema Peningkatan Kapasitas Kemandirian Siswa Defabel Melalui Media Pembuatan Gerabah dan Wisata Edukasi di SLB Negeri Karanganyar, Marimin ingin anak difabel bisa hidup mandiri dan setara. Itulah kenapa bekal keterampilan dirasa penting. Hal ini dilakukan juga untuk mendukung kebijakan pemerintah terhadap difabel.
Menurut dia, disebut wisata karena kegiatan dibuat menghibur, pelatihan senyaman mungkin, hasil maksimal, transfer knowledge, transfer skill atau vokasi, apalagi pelatihan ini bisa diraba, bisa dibuat, dan memiliki nilai keterampilan dan ekonomi.Hasil karya tak kalah dengan yang dibuat oleh anak normal.
“Kami sudah melakukan ini selama 15 tahun. Selain ketrampilan untuk mandiri. Yang kami canangkan mereka juga bisa masuk dunia kerja, di jasa pariwisata, seperti jasa hospitality di perhotelan, house keeper, dan lainya,” ujarnya.
Bidang itu disesuaikan dengan kapasitas anak. Tuna rungu bisa diajari masak kue. Tuna netra bisa jadi operator telephon.
“Ini harus melibatkan semua, sehingga setiap institusi dapat dimasuki minimal tiga difabel,” tandasnya.
Salah satu anak tuna wicara yang terlihat antusias belajar membuat gerabah adalah Agus setiawan, (17) asal dari Jatikuwung, Jatiyoso, setiap hari berangkat naik motor sendiri. Agus mengaku sudah memiliki keterampilan jahit, mencukur, mencuci motor, membuat baki lamaran bahkan sudah maju tingkat Karesidenan Surakarta.
“Ya sulit, belajar cetak dan putaran itu bisa, tapi sulit, belum lincah,” jelasnya didampingi gurunya. (yas/bis/rit)