JATENGPOS.CO.ID, UNGARAN- Desa Banyukuning Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang memiliki benda peninggalan bersejarah yang tetap lestari. Dua buah gentong tua diperkirakan peninggalan abad ke-15 masa permulaan penyebaran agama islam di tanah Jawa, masih terjaga dan terawat di Masjid Syahidin desa setempat.
Kedua gentong terbuat dari batu padas (andesit). Diperkirakan dulunya dijadikan tempat untuk menampung air wudlu yang umumnya dinamakan padasan. Meski bentuk keduanya sama dengan lubang air di sisi bagian bawah, ukuran masing-masing gentong tidak sama.
Gentong berukuran lebih kecil berdiameter sekitar 50 Centimeter dengan tinggi sekitar 70 Centimeter. Satunya lagi, gentong berukuran lebih besar diperkirakan berdiameter 60 Centimeter dengan tinggi sekitar 80 Centimeter. Kedua gentong sudah terdaftar sebagai benda cagar budaya berdasarkan catatan Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga (Disdikbudpora) Kabupaten Semarang.
Dibuktikan adanya foto gentong tersebut dipajang di ruang koleksi benda cagar budaya Museum Pandanaran Kabupaten Semarang, disertai keterangan waktu pembuatan pada masa permulaan Islam. Disebutkan lokasi gentong berada di masjid Banyukuning, Bandungan. Meski tidak disimpan di museum namun pada keterangan foto disebutkan sebagai benda peninggalan bersejarah dan masuk Cagar Budaya.
Ketika menelisik ke lokasi di mana gentong tua itu berada, saat menemukan terlihat kondisinya masih terawat dengan rapi. Dipajang di teras samping kanan dan kiri masjid Syahidin dekat undak-undakan, berada di Dusun Krajan, Desa Banyukuning. Warga setempat mempercayai kedua gentong merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilindungi, sehingga di sekelilingnya diberi pagar besi berjeruji.
Gentong berukuran lebih kecil dinamai Kiai Kuning diletakkan di sisi kanan teras masjid. Ceritanya, dulu dimanfaatkan untuk menampung air di bilik wudlu jamaah laki-laki. Sedangkan gentong berukuran lebih besar diletakkan di sisi kiri teras masjid dinamai Nyai Kuning. Dulunya berfungsi sama untuk menampung air wudlu tapi khusus untuk jamaah perempuan.
Di samping kiri bangunan masjid terdapat lorong masuk ke pemakaman umum dusun, dengan gapura terbuat dari plat besi warna hijau bertuliskan “Makam Mbah Nyai Kuning” berukuran besar, di bawahnya bertuliskan “Dusun Krajan Desa Banyukuning”. Mbah Nyai Kuning diyakini leluhur yang pertama kali babat alas di wilayah Banyukuning, sekaligus merupakan pemilik kedua gentong tersebut.
Makam Nyai Kuning berada di dalam cungkup tertutup berbentuk seperti rumah, berdampingan dengan makam yang diyakini suaminya bernama Kiai Kuning. Masih dalam cungkup juga ada dua makam yang diyakini sebagai keluarganya. Sayangnya, nisan Nyai Kuning yang berbentuk mirip umpak tidak ada keterangan tulisan kapan beliau wafat. Sesepuh warga juga tidak ada yang tahu persis cerita kehidupan Nyai Kuning, juga tidak ada literasi otentik sebagai pendukung.
Di samping bangunan cungkup terdapat dua makam tua diyakini merupakan pengikut Nyai Kuning. Kedua makam tua ini menarik perhatian karena nisannya berbeda dengan nisan lainnya. Memiliki ukiran menyerupai antefiks yang biasa dipakai pada panel penghias bangunan candi. Berukiran flora (tumbuhan) dengan sulur-sulur membetuk rangkaian bunga.

Keterangan dari takmir masjid Syahidin, Kuswanto (75) menyebutkan, beberapa ahli sejarah pernah meneliti, nisan tersebut identik dengan nisan para raja dan pengikutnya masa Kerajaan Mataram. Disebutkan, Nyai Kuning merupakan penyebar agama Islam pertama di lereng gunung Ungaran tepatnya di kawasan Bandungan.
Beliau merupakan Tumenggung dari kerajaan Mataram Yogyakarta yang ditugaskan gurunya untuk menyebarkan agam Islam di lokasi yang berdekatan dengan Candi Gedongsongo. Yakni, candi megah yang terletak di Desa Candi, Kecamatan Bandungan peninggalan masa kejayaan kerajaan Hindu.
“Mbah Nyai Kuning utusan dari kerajaan Mataram untuk mengajarkan Islam. Beliau berhasil mengembangkan Islam di sini (Banyukuning, red) kemudian diberi tanah Perdikan (tanah merdeka, red) dan menetap di sini. Makam Mbah Nyai Kuning berada di samping masjid,” ungkap Kuswanto yang juga selaku Penasehat Takmir Masjid Syayidin.
Pertama dilakukan Nyai Kuning kala itu membangun masjid yang di sampingnya dijadikan tempat tinggal. Masjid dinamakan Syahidin itu merupakan masjid yang pertama kali dibangun di Bandungan. Nyai Kuning menjalankan siar tidak sendirian, ia ditemani suaminya yakni Kiai Kuning yang diyakini merupakan ulama asal Persia.
“Mbah Nyai Kuning pribumi asli dari kerajaan Mataram, sedangkan suaminya, Mbah Kiai Kuning berasal dari Arab (Persia, red). Tapi kita tidak tahu nama aslinya, sejak dulu dari penuturan mbah-mbah saya tahunya bernama Mbah Nyai Kuning dan Mbah Kiai Kuning,” tuturnya.
Cerita hingga dibuat dua gentong, kala itu untuk melengkapi fasilitas masjid yang jamaahnya sekaligus pengikut Nyai Kuning bertambah banyak. Dua gentong dibuat sekaligus untuk menampung air wudlu bagi jamaah laki-laki dan perempuan. Membedakan mana gentong untuk jamaah laki-laki dan mana untuk perempuan dapat dilihat dari ukurannya yang berbeda.
“Gentong berukuran lebih kecil untuk jamaah laki-laki, gentong yang ukuranya lebih besar untuk jamaah perempuan,” jelasnya.
Kedua gentong tersebut sampai sekarang masih terawat dengan rapi tidak lepas dari kegigihkan warga setempat yang memegang teguh pesan dari Nyai Kuning agar melestarikan apa saja yang diwariskan. Tidak hanya peninggalan berupa benda namun juga ajaran agama serta budi pekerti yang penuh kearifan.
Kepercayaan tersebut menguatkan warga untuk mempertahankan kedua gentong tetap berada di masjid. Meski sudah masuk Cagar Budaya mereka tidak menginginkan peninggalan Nyai Kuning itu dimuseumkan. Kondisi masjid meski sudah dua kali mengalami renovasi, namun benda-benda yang ada di dalamnya tetap dirawat dan dijaga.
Gentong-Mimbar Peninggalan Nyai Kuning

Renovasi pertama dilakukan pad tahun 1957 dan kedua pada tahun 2000. Bangunan masjid beberapa kali mengalami perubahan untuk diperluas karena jamaahnya semakin bertambah banyak.
Di antara peninggalan Nyai Kuning masih dilestarikan, selain gentong, yakni mimbar berukuran besar berukiran sulur-sulur, bergaya Mataraman yang keseluruhan bahannya dari kayu jati tua. Juga sebuah bedug di teras masjid orisinilitasnya masih terjaga.
Peninggalan-peningalan bersejarah Nyai Kuning sengaja dipertahankan berada di masjid sebagai tetenger (pengingat, red) adanya penyebaran Islam tertua di kawasan wisata Bandungan. Penguatkan ghirah jamaah setempat semakin tekun beribadah di masjid tersebut.
“Semua peninggalan Mbah Nyai Kuning dan Mbah Kia Kuning yang ada di masjid Syahidin masih terjaga dan terawat. Keberadaannya di masjid sekaligus bertujuan untuk melestarikan, kita harapkan tetap ada di tempat suci masjid ini, maka tidak ada tangan-tangan jahil yang berani mengusiknya,” tandasnya.

Tempat Berkumpul Jamaah dan Peziarah
Masjid Syahidin setelah dua kali mengalami renovasi bentuknya sudah tidak asli seperti pertama didirikan Nyai Kuning. Hanya lokasinya saja tetap sama, tidak bergeser tidak ubahnya seperti pepunden. Awal dibangun luasnya 10 Meterpersegi. Setelah direnovasi luasnya menjadi 22 Meterpersegi. Dilakukan perubahan bangunan agar dapat memuat jamaah lebih banyak.
Awal didirikan memiliki atap berbentuk limas kerucut bersusun tiga, sekarang berubah lebih bergaya masjid modern. Pada bagian atas serambi masjid dibangun lima menara, dua diantaranya berjajar di samping kiri dan kanan. Ruang utama masjid terdapat empat tiang berbentuk limas sebagai penyangga atap kubah.
Meski demikian tidak mengurangi anemo jamaah yang datang untuk beribadah sholat maupun berziarah. Dilengkapi lahan parkir cukup luas sanggup menampung belasan kendaraan roda empat para peziarah. Warga Banyukuning dan sekitarnya juga acapkali menggunakan masjid Syahidin sebagai tempat berkumpul ketika akan menghadiri kegiatan berjamaah, seperti acara pertemuan jamaah haji di Kecamatan Bandungan.
Mereka datang dari beberapa Desa berkumpul dan bertemu di masjid Syahidin. Selanjutnya berangkat bersama-sama menuju ke tempat acara. Pilihan menjadikan masjid Syahidin tempat berkumpul tidak hanya karena bangunannya luas dengan lahan parkir memadai, lebih itu diyakini ada karomah tertebar di masjid peninggalan penyebar Islam tersebut.
“Kita perkumpulan jamaah haji dari Kecamatan Bandungan menjadikan masjid Syahidin sebagai titik berkumpul karena lokasinya luas. Di samping itu masjid ini bersejarah, peninggalan sesepuh penyebar Islam di wilayah Bandungan. Tentu kita harapkan karomahnya untuk kelancaran dan keselamatan kita yang akan berkegiatan,” ujar H Hadi (63) salah satu jamaah haji asal Desa Candi.
Tokoh masyarakat Desa Banyukuning, Setyo Utomo (52) mengatakan masjid Syahidin merupakan satu-satunya masjid tertua di wilayah Bandungan dibuktikan adanya peninggalan cagar budaya Nyai Kuning berikut makamnya. Masjid ini dikenal memiliki karomah dibuktikan banyak masyarakat dari luar daerah datang berziarah sekaligus sholat berjamaah di masjid.
“Peziarah datang bersama keluarga ada juga datang bersama rombongan. Kedatangan mereka tidak terdata karena di makam tidak ada juru kuncinya. Siapa saja diperbolehkan berziarah asal mematuhi tata cara berziarah sama seperti di makam waliullah lainnya,” ujar Setyo yang juga Kepala Desa Banyukuning ini.

Tata cara dimaksud yakni mengawali dengan tawasulan, membaca surat Yasin dan tahlil diakhiri dengan doa bersama. Peziarah tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang melanggar syareat Islam, dan berkata-kata tidak baik di ruangan makam. Meski tidak ada juru kunci sesepuh takmir berkenan mendampingi jika ada yang membutuhkan.
Peziarah dari luar daerah banyak yang datang khusunya pada malam Jumat Kliwon, sebagaiman kepercayaan masyarakat Jawa pada malam itu terdapat keistimewaan. Warga Banyukuning sendiri berziarah beramai-ramai saat memperingati haul Nyai Kuning. Sayangnya, karena tidak ada sejarah otentik yang menetapkan kapan haulnya, warga memperingatinya bertepatan dengan malam 1 Suro.
Peringatan diadakan bertujuan mengenang dan menghormati jasa Nyai Kuning. Warga sekitar dukuh Krajan dan warga luar daerah berbaur berziarah untuk tujuan mengirim doa sekaligus memohon keberkahan kepada Allah SWT.
“Puncak peringatan haul Mbah Nyai Kuning sejak mbah-mbah dulu ditetapkan setiap malam 1 Suro atau 1 Muharram. Diadakan pembacaan Yasin dan Tahlil ditutup dengan doa. Dilanjutkan menggelar pengajian akbar di masjid. Suasana makam semakin ramai selama peringatan Haul yakni mulai tanggal 1 sampai tanggal 10 Suro,” ungkapnya. (muz)