JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA – Aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold (PT), juga threshold untuk pemilihan Gubernur dan Bupati, tidak hanya merusak demokrasi di Indonesia. Syarat itu juga melanggengkan bisnis jahat yang dilakukan para oligarki.
Menurut Direktur Eksekutif Indo Parameter, Tri Wibowo Santoso, aturan PT memberikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur calon pemimpin yang bisa dikendalikan, agar bisnis jahatnya bisa berlanjut.
“Aturan PT membuat bargaining power atau daya tawar partai politik semakin tinggi. Bila ada anak bangsa yang kredibel, berintegritas, dan hebat mau maju menjadi pemimpin bangsa tapi tak punya kapital, maka jangan harap bisa berkompetisi. Karena, biaya mahar politik guna mendapatkan tiket pilpres sangat mahal,” ujar pria yang karib disapa Bowo, Selasa (30/11/2021).
Dijelaskan, mahar politik yang tidak murah inilah yang dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju sebagai Presiden. Tentunya, biaya yang dikeluarkan oleh para oligarki bukan gratisan. Karena, bila sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki harus diakomodir dengan baik.
“Misal dalam konteks Omnibus Law terkait UU Cipta Kerja sudah sangat jelas merugikan buruh, karena ada kebijakan upah murah, hilangnya pembatasan jenis pekerjaan yang bisa di outsourcing, berkurangnya kompensasi pesangon, dan semakin mudah melakukan PHK, serta masuknya tenaga kerja asing dengan mudah,” tutur Bowo.
Masih soal Omnibus Law, lanjutnya, terkait UU Minerba, para pengusaha batu bara tak perlu lagi membayar royalti, sehingga negara kehilangan pemasukan triliunan rupiah. Lalu, masyarakat bisa dipolisikan bila menolak tambang.
“Masyarakat juga tidak bisa lagi mengadu ke Pemda, dan tambang bisa beroperasi meski merusak lingkungan,” sambung Bowo.
Untuk itu, Bowo berharap semua partai politik di Senayan bersepakat untuk menghapuskan PT agar Indonesia bebas dari belenggu Oligarki dan demokrasi dapat sehat kembali. Lagipula, lanjut Bowo, penghapusan PT memberikan peluang besar bagi partai politik untuk menjagokan fgurnya sendiri tanpa harus berkoalisi.
“Kalau PT dihapus, maka parpol kan bisa mengusung jagoannya tanpa harus berkoalisi,” tukas Bowo.
Sementara itu, akademisi Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad menilai, figur pemimpin yang mampu memperbaiki kondisi bangsa dari kerusakan yang dilakukan oligarki selama ini adalah Rizal Ramli. Karena, menurut Herdi, Rizal Ramli memiliki rekam jejak yang baik.
“Saat berada di Kabinet pemerintahan Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli mampu menaikkan ekonomi dari minus 3 menjadi positif 4,5 atau naik 7,5 persen hanya dalam waktu 21 bulan. Ekspor-pun naik dua kali lipat. Lalu, memompa daya beli menengah ke bawah selama krisis dengan cara menaikkan gaji PNS, ABRI, pensiunan hingga 125 persen, restrukturisasi kredit kecil dan sebagainya,” ungkap Herdi.
Sayangnya, sesal Herdi, keinginan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin seperti Rizal Ramli yang mampu membangkitkan Indonesia terganjal dengan aturan PT.
“Aturan PT inilah yang menghambat keinginan masyarakat untuk mendapatkan figur pemimpin yang mampu mengubah Indonesia dari keterpurukan,” imbuh Herdi.
Padahal, menurut Herdi, sudah sangat jelas bahwa aturan PT hanya menciptakan pemimpin yang korup.
“Sebab, mau jadi bupati, walikota atau gubernur sekarang kan para kandidat harus bayar ke parpol Rp100-300 miliar, kan merusak jiwa dan sistem kita dari Aceh sampai Papua,” sebut Herdi.
“Yang pokok bahwa PT Nol persen, dan para calon pemimpin di-‘endorse‘ sama partai, dan jika itu terjadi, kualitas kepemimpinan kita naik di semua level dari Aceh sampai Papua,” lanjut Nabil.
Hari ini 22 gubernur masuk penjara karena korupsi. Sementara bupati dan walikota masuk penjara hampir 125 orang. Artinya yang rusak adalah sistemnya, karena sudah jadi demokrasi kriminal.
“Kalau cuma 1-5 oke lah itu individu, kalau 22 dari 34 gubernur masuk karena korupsi itu berarti sistem bandar ini tidak beres,” pungkas Herdi.(aln)