Insiden Muzdalifah, Ini Kesaksian Wartawan Jateng Pos di Lokasi

Ribuan jamaah Haji mencari batu kerikil di padang Muzdalifah, malam hari sebelum insiden siang harinya. Foto: bejansyahidan

JATENGPOS.CO.ID, MAKKAH – Insiden ribuan jamaah haji Indonesia terlantar di Muzdalifah tanggal 10 Zulhijan (29 Juni), dari malam hingga siang hari, memprihatinkan banyak pihak. Sebenarnya seperti apa kejadianya?

Bejan Syahidan, wartawan Jateng Pos, yang menunaikan ibadah haji dan sempat berada di lokasi, melaporkan, insiden itu terjadi pagi hari hingga siang setelah jamaah mengambil batu kerikil malam harinya. Tetapi sejak malam, sebenarnya keterlambatan pengangkutan jamaah haji ke Mina sudah terjadi. Desak-desakan menuju pintu keluar Mina untuk masuk Bus juga terjadi empat jam lamanya. Bus juga datang terlambat hingga 30 menit lamanya. Bedanya, kemacetan malam tidak membuat jamaah tumbang karena udara tidak sepanas siang.

Seperti diketahui, salah satu rangkaian inti ibadah haji adalah mabit(bermalam) di Muzdalifah. Setelah wukuf di Arofah siang hingga sore tanggal 28 Juni, jamaah sejak magrib digeser ke Muzdalifah. Tujuanya hanya satu: mencari batu kerikil di padang Muzdalifah untuk melempar jumroh di Mina. Penulis sendiri digeser naik bus dari Arofah pukul 7 malam. Setelah perjalanan sekitar 5 Km sampai di Muzdalifah pukul 10 malam. Jarak dekat tetapi lambat karena jalanan macet. Penuh sesak ratusan ribu bus pengangkut 2,5 juta jamaah haji. Semuanya harus memindah jamaah ke Arofah malam hari itu juga.

Saya sampai jam 10 malam itu termasuk yang awal. Ketika turun di Muzdalifah masih agak sepi. Mungkin masih 30 persen jamaah yang tiba lokasi. Saya langsung mencari batu kerikil di tanah-tanah padang Muzdalifah. Sebenarnya kerikil sudah disiapkan oleh panitia (Masyariq). Tetapi terlalu kecil. Sehingga saya inisiatif mencari sendiri yang lebih besar di hamparan tanah yang ada. Karena saya merencanakan nafar sani (akhir), saya mencari 70 batu untuk melempar jumroh selama 4 hari. Yang ambil nafar awal, mengambil 49 batu kerikil untuk melempar 3 hari.

iklan
Baca juga:  Kisah Doktor jadi Pemulung di Blora ( Part 3/3 )

Setelah dapat kerikil, tidak lama kemudian jamaah bergerak sedikit demi sediki. Tempat awal datang, akan ditempati jamaah lain yang baru tiba dari bus. Begitu seterusnya sampai 2,5 juta orang datang ke Muzdalifah semua. Yang datang lebih awal terus bergeser menuju pintu keluar Muazdalifah untuk naik bus lagi menuju ke Mina.

Cuma memang, waktu pergeseran ke Mina dari Muzdaoifah ini waktunya harus dimulai tengah malam hingga pagi. Waktunya mepet. Massa terus berdatangan. Sehingga makin pagi padang Muzdalifah penuh sesak. Dua setengah juta jamaah sedunia tumplek blek di alam terbuka itu. Lama menunggu giliran untuk menuju pintu keluar, massa berdesakan. Karena kecapean, akhirnya pada duduk. Bahkan sebagian tertidur di tumpukan teman-temanya. Rata-rata menunggu dapat bus angkutan sampai 4 jam. Saya tiba jam 10 malam bisa keluar Muzdalifah jam 2 pagi. Antri 4 jam itu sudah pada lelah. Lelah pikiran takut berdesakan. Lelah fisik. Lelah karena ngantuk malam hari. Lapar dan haus. Karena di Muzdalifah tidak ada persediaan air. Jamaah hanya membawa minum seadanya dari Arofah.

Yang membuat makin shock, pintu keluar masuk bus dari Muzdalifah itu sangat kecil. Hanya selebar pintu rumah. Kira-kira 100 meter sebelum pintu, jamaah harus masuk jalan selebar 1 meter yang dipagari kanan dan kiri. Mirip kambing yang digiring ke kandangnya.

Ini membuat makin tegang. Pintu sekecil itu dimasukin 350 orang per kloter secara bergantian. Berjalan pelan. Berdiri lama. Menuju pintu bus. Sudah begitu, busnya tidak datang silih berganti. Tapi 30 menit berikutnya baru datang. Yang sudah berdiri lama makin kelelahan. Ada yang lemas. Haus. Capek. Banyak yang harus dikeluarkan dari antrian supaya tidak semaput. Apa lagi masing-masing jamaah harus membawa perbekalan. Ada tas tenteng, tas baju, dan bekal lainya.

Baca juga:  Merasa akan Dikeroyok di Pilgub Jateng, PDIP Kumpulkan Semua Ketua DPC

Satu kloter antri dekat pintu keluar, kloter-kloter berikutnya sudah bergerak menuju pintu. Makin menumpuk. Meski pintunya banyak, tetap saja setiap pintu antrinya panjang. Sebuah keberuntungan jika jamaah haji lolos masuk bus lalu menuju ke Mina.

Itu kisah antri di malam hari di Muzdalifah. Yang belum ada matahari. Yang masih adem udaranya. Bagaimana jika antri yang selama itu kondisinya siang hari? Matahari terik di Makkah yang suhunya 45 sampai 50 derajat siang hari? Begitupun di Muzdalifah. Jam 9 pagi suhunya sudah 40 derajat. Tentu lebih panas dari kota Semarang.

Saya membayangkan betapa panas dan lelahnya jamaah yang belum terangkut sampai siang itu. Tidak ada air minum. Mungkin air sebotol atau snack yang dibawa dari Arofah juga sudah habis. Wajar kalau banyak yang dehidrasi dan pingsan. Banyak bertumbangan di pintu antrian. Banyak yang dilarikan ke RS terdekat.

Menurut jamaah yang lolos ke Mina, pada pagi hingga siang itu, masih ribuan jamaah yang belum terangkut ke Muzdalifah. Anehnya, setiap bus yang lewat tidak mau berhenti. Sampai polisi setempat memaksa menghadang bus di tengah jalan. Tetapi bus-bus tersebut tetap tidak mau karena merasa bukan maktabnya. Sebenarnya setiap kloter 350 orang itu ada no maktabnya masing-masing. Bus pengangkutnya juga sudah sesuai nomer maktabnya. Jika lancar akan berjalan sesuai rencana. Semua jamaah akan terangkut sebelum subuh. Nyatanya, setiap bus itu datangnya super lambat. Sampai 30 menit baru lewat. Sehingga sampai siang masih ada ribuan jamaah antri hus di padang terbuka itu.

Karena kepanasan dan kehausan, beberapa jamaah pria mencoba keluar antrian mencari air. Menuju tempat entah dimana ada air. Sampai lama ditunggu, ternyata tidak ada air juga. Makin lama makin panik dihantui dehidrasi. Kondisi itu berlangsung sampai pukul 12 siang. Infonya, bus-bus yang lewat dipaksa berhenti sama polisi dengan ancaman. Meksi bukan maktabnya disuruh mengangkut jamaah yang terlantar itu. Akhirnya sampai siang semua jamaah terangkut. Meski banyak yang dilarikan ke RS karena lemas.

Baca juga:  Merapi Status Waspada, Radius 3 Km Dikosongkan

Alhamdulilah, meski tertatih juga, saya dan rombongan satu kloter 350 (dari Semarang dan Demak), sampai juga di Mina. Meski ada satu dua yang lemas waktu antri. Kita sampai Mina bakda subuh. Pukul 10 siang, barulah dapat kabar masih ada ribuan jamaah Indonesia belum terangkut di Muzdalifah. Kabarnya banyak yang pingsan karena haus dan kepanasan. Saya langsung tersadar, saya yang terlantar malam hari saja hampir semaput, apa lagi yang siang hari panasnya 50 derajat.

Atas insiden ini, pihak Kemenag RI mengatakan penyebabnya karena bus pengangkut jamaah di Muzdalifah macet di jalan. Sehingga tidak bisa tepat waktu mengambil para jamaah. Seharusnya sebelum subuh semua jamaah sudah terangkut ke Mina supaya tidak sampai panas. Tetapi bus Maktab Indonesia banyak yang macet di jalan akibat banyaknya para jamaah asing yang jalan kaki memenuhi badan jalan. Bus pengangkut jamaah ini, bergerak dari Arofah mengankut jamaah ke Muzdalifah. Setelah penumpang turun, bis bergerak lagi ke Arofah mengambil kloter berikutnya. Dibawa lagi ke Muzdalifah. Turunkan lagi dan seterusnya sampai jamaah habis di Arofah. Diperkirakan ada ratusan ribu bus pengangkut jamaah. Sehingga jalanan Arofah-Muzdalifah sepanjang 7 Kilo meter itu penuh bus. Jalan tersendat. Ditambah banyak pejalan kaki. Sehingga bus terlambat datang sejak malam hingga siang harinya. Semoga insiden ini menjadi perhatian pihak berwenang RI untuk perbaikan pelayanan haji. Supaya tidak ada korban berikutnya. (*)

iklan