26.9 C
Semarang
Rabu, 27 Agustus 2025

Tetap Melenggang, Meski Dikekang!

Bedah Buku Kolonisasi China Terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur

JATENGPOS.CO.ID,  JAKARTA – Meski sempat menghadapi tekanan dari berbagai pihak, Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI), Sabtu (16/3) akhinya berhasil menggelar Bedah Buku Kolonisasi China Terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur karya Abdulhakim Idris, Direktur Eksekutif Pusat Studi Uyghur.

Sedianya acara bedah buku kesaksian diaspora Uyghur yang mengulas praktik genosida oleh Pemerintah Tiongkok terhadap etnis Uyghur di Provinsi Xinjiang ini akan digelar di Kampus 1 Universitas Islam As-Syafiiyah (UIA) Jatiwaringin-Pondok Gede, namun satu hari jelang pelaksanaan, pihak kampus secara sepihak meminta penyelenggara untuk membatalkan acara.

Ketua PJMI, Ismail Lutan menegaskan sejak awal dirinya sudah memahami ada upaya- upaya dari pihak lain agar buku cetakan Pustaka Al-Kautsar ini tidak beredar di Indonesia. Dalih terganggunya hubungan Indonesia-China setali tiga uang dengan upaya pengungkapan fakta praktik genosida oleh Pemerintah China kepada etnis Muslim Uyghur di Xinjiang yang dipaparkan dengan lugas oleh penulis dalam buku setebal 172 halaman tersebut.

Tidak ingin kehilangan momentum, dalam waktu singkat PJMI akhirnya memutuskan untuk tetap menggelar acara bedah buku yang dilangsungkan di sebuah Kafe di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Hadir sebagai narasumber dalam acara ini, Imam Sopyan penerjemah buku Kolonisasi China Terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur, Amin Idris, wartawan senior yang juga pernah melakukan kunjungan ke Xjiang dan memiliki kedalaman informasi kasus genosida Uyghur di Xinjiang.

Dalam paparannya, Imam Sopyan mengungkapkan bahwa buku ini adalah kesaksian Abdulhakim Idris tentang genosida yang dilakukan oleh Pemerintah China terhadap Uyghur. Abduhakim Idris pada usia 18 tahun, tepatnya pada tahun 1986 sudah meninggalkan tanah airnya, Xinjiang melalui Beijing dan menuju Moskow melalui Siberia.

Bersama sejumlah teman, dari Moskow mereka menuju Istanbul lalu menuju Arab Saudi dan akhirnya sampai di Mesir untuk menjalani studi di Universitas Al-Azhar. Tentu dia pergi adalah untuk melarikan diri dari kejaran Pemerintah China yang saat itu telah menguasai Xinjiang atau Turkestan Timur.

Setelah menyelesaikan studi di Universitas Al-Azhar, Abdulhakim Idris tidak kembali ke Xinjiang atau Turkestan Timur, karena pasti akan ditangkap. Abdulhakim Idris kemudian melanjutkan perjalanan ke Jerman.

Selanjutnya tahun 2009, Abdulhakim Idris tinggal di Amerika Serikat dan saat ini menjadi Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies. Sebuah lembaga untuk mempromosikan isu-isu hak asasi manusia dan kemerdekaan bangsa Uyghur ke seluruh dunia.

Imam Sopyan mengatakan, kenapa dia merasa merasa terpanggil untuk menerjemahkan tulisan Abdul Hakim Idris ini, tujuannya adalah agar masyarakat di Indonesia khususunya, mendapatkan informasi yang akurat terkait sejarah dan kondisi masyarakat Uyghur, termasuk apa yang dialaminya hingga hari ini.

Menurutnya , masyarakat perlu tahu bahwa hingga hari ini Uyghur masih belum mendapatkan haknya, terutama terkait agama yang mereka yakini.

Selain itu , ada juga masyarakat Uyghur yang mendukung Israel dalam konflik yang terjadi bersama Palestiana, walaupun hanya sekelompok orang saja. Ini juga penting untuk dipahami oleh masyarakat di tanah air kita.

Menurut Imam Sopyan, buku ini memberikan gambaran utuh tentang bagaimana China melakukan kolonisasi di dunia Islam dan pada saat yang sama melakukan genosida terhadap Muslim Uyghur di Turkestan Timur.

Abdulhakim Idris mengawali buku ini dengan manuver politik dan ekonomi China Turkestan Timur yang secara tak terhindarkan menjadikan Muslim Uyghur dan komunitas Muslim lainnya sebagai target korban.

Dalam hal ini, kita akan menemukan berbagai fakta mengerikan mengenai kamp konsentrasi, sistem kerja paksa di pabrik-pabrik China, sterilisasi perempuan Uyghur agar tidak bisa hamil, jual-beli organ para pekerja paksa, dan praktek migrasi etnis Han di Turkestan Timur, untuk menekan populasi Muslim Uyghur di tanah airnya sendiri.

Dengan bersumber pada liputan-liputan invesitigasi berbagai media internasional, kesaksian-kesaksian para penyintas, dan riset-riset akademik dari berbagai peneliti, buku ini menyuguhkan sebuah kisah kelam dan nyata yang dialami negara-negara Muslim, dan tentu saja kisah pilu Muslim Uyghur di Turkestan Timur yang harus memilih dua pilihan sulit; hidup di tanah air dengan nasib ditangkap dan dihabisi atau berdiaspora untuk mempertahankan diri dan memperjuangkan nasib tanah air.

Baca juga:  40 Tahun Lamanya Menanti, Dua Desa Terhubung Berkat Program TMMD Ke 110 Kodim 1206/PSB

Imam Sopyan mengatakan, sebenarnya Abdulhakim Idris tidak bertujuan memberontak kepada Pemerintah China, dia hanya menuntut agar hak-hak hidup masyarakat Uyghur diberikan, seperti hak dalam menjalankan kehidupan beragama.

Imam Sopyan menyampaikan alasannya kenapa dia terlibat untuk menterjemahkan buku Kolonisasi China ini adalah untuk kepentingan bersama sebagai sesama warga negara bangsa untuk memberikan informasi alternatif bagi masyarakat atas apa yang terjadi di Turkestan Timur atau Xinjiang.

Penulis adalah warga yang lahir di Turkestan Timur memberikan kesaksian apa yang terjadi dan dialami khususnya yang terjadi di Turkestan Timur dan masyarakat Indonesia harus tahu kondisi yang ada di sana,tegasnya.

Disimpulkan juga buku ini yang pertama adalah membahas sejarah mulai dari mereka menempati Turkestan Timur sampai tempat tersebut dikuasai Pemerintah China.

Kedua, adalah manuver ekonomi Pemerintah China khususnya kepada negara-negara Muslim, penulis mengartikan ini sebagai cara China untuk menjadi negara super power dan menguasai negara-negara Muslim.

Uyghur Bukan Permasalahan Tunggal

Sementara itu, Amin Idris mengungkapkan permasalahan Uyghur di Xinjiang bukanlah permasalahan tunggal, Pemerintah China juga berkonflik secara internal dengan Tibet, Hongkong dan Taiwan. Khusus untuk materi kali ini kita akan membahas terkait Uyghur di Xinjiang.

Kita sedikit berbicara sejarah,etnis mayoritas di Xinjiang awalnya adalah Turkestan yang telah menghuni kawasan tersebut sejak 2000 tahun lebih. Populasi Uyghur mencapai 15 juta orang. Republik Turkestan Timur terletak di daerah perbatasan Tiongkok. Secara Historis mereka adalah orang Turki di Asia Tengah. Pada saat dikuasai oleh Dinasti Qing, Kerajaan Islam Uyghur Turkestan Timur mendapat tempat terhormat bahkan mampu memberikan kontribusi besar bagi Tiongkok serta mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Dinasti Qing, paparnya.

Kekuasaan Dinasti Qing di Xinjiang terpaksa harus dilepaskan karena Nasionalis Tiongkok berhasil menggulingkan Dinasti Qing pada tahun 1911. Semenjak peristiwa itu, Xinjiang berada di bawah pemerintahan Nasionalis Tiongkok. Meskipun sudah dibawah pemerintahan Tiongkok suku Uyghur tetap berusaha untuk memisahkan diri.

Upaya untuk mendeklarasikan Republik Turkestan Timur berhasil dilakukan sebanyak dua kali yaitu tahun 1933 dan 1944. Namun wilayah ini mampu diambil kembali oleh Tiongkok pada tahun 1949. Sejak tahun 1949, Xinjiang secara resmi ditunjuk sebagai wilayah otonomi Tiongkok. Xinjiang adalah wilayah administrasi tingkat provinsi yang wilayahnya terdiri dari seperenam total luas Tiongkok.

Konflik di Xinjiang awalnya adalah konflik etnis dan kemudian menjadi konflik sparatis hingga akhirnya Uyghur ini mendapatkan label sebagai teroris. Dari sinilah permasalahan kemanusiaan itu mulai muncul hingga saat ini,terang Amin.

Karena ini adalah permasalahan kemanusiaan, maka kita harus menunjukkan keberpihakan, menunjukkan dukungan dan simpati tanpa pamrih, tanpa kepentingan kepada saudara-saudara kita Uyghur di Xinjiang.

Amin Idris memuji pelaksanaan acara ini, ada keberanian dari Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) untuk mengangkat isu yang sangat sensitif. Jujur tidak semua organisasi di Indonesia berani mengangkat dan mengembangkan isu ini.

Bedah buku ini sebenarnya hanya permukaan, kita hanya berbicara di wilayah permukaan dan belum pada substansinya. Kita melihat acara ini terpaksa pindah tempat karena adanya tekanan dari pihak luar kepada Universitas Islam As-Syafiiyah

(UIA). Saya memberikan pesan kepada penyelenggara agar tidak mundur, bicaralah terus tentang kebenaran demi teman-teman kita di Xinjiang yang memang membutuhkan perhatian kita,tegas Amin.

Amin menambahkan, acara ini adalah suara publik dan suara rakyat, memang tidak langsung dapat mengubah apa yang terjadi di Xinjiang, tapi ini dapat didengar oleh penguasa khususnya Pemerintah Indonesia. Setelah mereka mendengar ini kami berharap mereka dapat membuat kebijakan yang adil. Terus bersuara tidak hanya kepada Pemerintah Indonesia, tapi juga kepada Duta Besar China di Indonesia, agar mereka mengetahui bahwa masyarakat Muslim Indonesia menolak segala bentuk genosida dan ketidakadilan kepada Uyghur.

Baca juga:  Menaker Pastikan Implementasi Program JKP

Kita tidak sedang bicara teroris, kita tidak berbicara tentang sparatis, tetapi kita ingin masyarakat Muslim di Xinjiang mendapatkan perlakukan yang layak dan fair dari Pemerintah China,tegas wartawan senior ini.

Pemerintah Indonesia juga jangan khawatir kalau hubungan diplomasinya terganggu, karena konstitusi kita mengatur agar kita membela ketidakadilan yang terjadi di belahan dunia manapun, termasuk masyarakat Uyghur di Xinjiang. Pemerintah Indonesia boleh mencampuri terhadap hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan.

Amin menjelaskan bawah dirinya telah berkunjung ke Xinjiang dan melihat langsung masyarakat Uyghur di sana, kondisinya memang ada pelanggaran, tapi tidak separah yang digambarkan oleh media-media barat. Uyghur ini juga dijadikan alat atau kepentingan oleh Amerika Serikat sebagai alat bargaining, Rusia juga memiliki kepentingan di sana, Turkey juga memiliki kepentingan di sana dan negara di sekitar Xinjiang juga memiliki kepentingan.

Namun China tentu yang paling kencang, karena mereka sudah mengklaim Xinjiang sebagai bagian dari negaranya. Namun China mestinya jangan berlebihan terhadap masalah Uyghur, lakukanlah diplomasi yang cerdas, agar orang-orang Xinjiang juga tidak tertindas atau ada solusi yang fair antar kedua belah pihak.

Untuk masyarakat di Indonesia, kasus Xinjiang ini bukan seperti kasus Palestina yang dimana kita harus mengumpulkan donasi untuk membantu mereka. Kita sebagai warga negara Muslim di Indonesia tunjukkan rasa simpati kepada Uyghur, sampaikan pesan-pesan moral kepada dunia internasional.

Dilarang Edar

Ketua PJMI, Ismail Lutan mengungkapan prihal ada pihak yang sengaja menggagalkan kegiatan bedah buku tulisan Abdulhakim Idris. Bahkan tempat pelaksanaan bedah bukupun terpaksa dipindahkan, lantaran pihak kampus Universitas Islam As-Syafiiyah (UIA) yang semula jadi lokasi bedah buku akan dilaksanajan, tiba tiba melarang pelaksanaan bedah buku dilakukan di kampus tersebut.

“Waktu itu diselenggarakan di kampus UIA namun tiba tiba pihak kampus memberi kabar bedah buku jangan disini , demi kebaikan kampus , mungkin hal-hal tertentu akan terjadi jika buku dibedah di sana intinya agar buku ini jangan dibedah disana, ” ujar Ismail Lutan.

Diketahui , kegiatan yang bersinggungan dengan Uyghur dan Abdulhakim Idris di Indonesia kerap kali mendapatkan sorotan berlebihan, seperti yang terjadi di Bandung, Desember tahun lalu.

Ketika itu, pada saat acara akan dilaksanakan, ada orang mengatasnamakan ormas tertentu menyatakan keberatan. Kemudian mereka menulis surat kepada pihak berwajib agar pihak berwajib memberlakukan larangan. Kalau acara tetap dilakukan mereka akan melakukan aksi demo. Pihak kepolisian kemudian meminta panitia untuk membatalkan acara tersebut. Tetapi setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya polisi memberi izin, bahkan mereka ikut menjaga kelancaran acara.

Begitu juga acara serupa di tempat lain, seperti di Yogyakarta, Medan dan Makassar. Hampir semuanya mendapat gangguan. Sementara acara yang berlangsung di UIN Bandung benar-benar dibatalkan karena pihak kampus tidak bersedia menanggung resiko. Sementara yang di Jakarta (Benhil) sekelompok massa tak diundang masuk ke lokasi kegiatan membikin gaduh.

Upaya larangan edar tidak hanya dalam acara bedah buku, namun penerbit Al-Kautsar juga mengaku sering didatangi orang yang menanyakan buku tersebut. Karena tidak ingin bisnisnya terganggu, pihak penerbit akhirnya menyerahkan hak distribusi dikembalikan kepada penulis,ungkap Ismail Lutan.

Ismail Lutan menyayangkan adanya intervensi pihak lain dalam bentuk pencekalan dan pembatasan acara, menurutnya bedah buku adalah cara yang terhormat dalam upaya membela sesama Muslim yang mengalami penindasan seperti etnis Uyghur.

Kami menggunakan cara-cara persuasif dalam menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat, bahwa saudara-saudara kita Uyghur masih tertindas, kita mestinya menunjukkan simpati sebagai wujud kontribusi, pungkasnya.(biz/Diq)


TERKINI

Rekomendasi

Lainnya