JATENGPOS.CO.ID, SRAGEN – Rencana penegakan Peraturan Daerah (Perda) yang mewajibkan retribusi Rp 30 ribu per hari bagi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Sragen menuai sorotan tajam. Banyak pihak menilai kebijakan ini tidak pro-rakyat kecil dan justru mencekik ekonomi PKL di tengah menurunnya daya beli masyarakat.
Tokoh Masyarakat sekaligus Ketua PSI Sragen, Tatag Prabawanto, mengungkapkan keresahan para PKL yang kini bahkan tak berani berjualan. “Ada setidaknya tiga PKL yang hanya jualan cilok atau pentol itu tak berani jualan,” ujarnya.
Dia menyayangkan pendekatan kekuasaan yang digunakan pemerintah. Tatag khawatir akan menjadi masalah besar bagi para pelaku usaha kecil.
Tatag juga menyoroti paradoks kebijakan ini dengan visi misi Bupati Sragen, khususnya poin ke-14 yang menyangkut UMKM. “Saya sampaikan saat meresmikan night market, ketika pemerintah kurang perhatian, perut merasa lapar dan dompet kosong akan menjadi masalah sosial,” tegasnya.
Mantan Sekretaris Daerah ini mendesak pemerintah untuk memberikan ruang hidup bagi PKL di taman Harmoni. Bukan malah menakut-nakuti dengan aturan dan Perda yang memberatkan.
“Masyarakat selama ini hanya ingin hidup, jangan ditakut-takuti dengan aturan dan Perda,” imbuhnya.
Tatag juga menekankan bahwa PKL tidak pernah mendapatkan insentif fiskal, sehingga kewajiban retribusi tanpa adanya kontra prestasi yang jelas dirasa tidak adil. “Pendekatan yang humanis-lah,” pintanya.
Dia menambahkan bahwa banyak PKL mengeluhkan ketakutan dimintai retribusi Rp 30 ribu. Padahal pendapatan harian mereka mungkin hanya Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Ia mencontohkan adanya PKL yang terpaksa pergi karena takut dipaksa menyerahkan retribusi harian tersebut. Tatag merasa prihatin karena PKL lebih memilih mengadu kepadanya ketimbang anggota dewan, menunjukkan kurangnya kepekaan penyelenggara pemerintahan.
Sementara itu Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sragen, Rina Wijaya, menjelaskan bahwa aturan retribusi tersebut sudah sesuai Perda dan telah mengantongi izin pimpinan. Dia mengklarifikasi bahwa retribusi Rp 30 ribu per hari tidak berlaku bagi PKL yang sudah menyewa lapak tahunan atau yang bekerja sama dengan DLH.
“Itu hanya berlaku pas event besar, saat kemah atau pengajian. Tidak setiap saat,” terang Rina.
Rina menambahkan bahwa kebijakan ini justru untuk menghindari pungutan liar tanpa karcis. “Daripada dipungut tidak pakai karcis, malah liar. Makanya kami kasih informasi lewat MMT itu,” benernya.
Rina menegaskan bahwa retribusi DLH sudah transparan dengan adanya karcis resmi dan telah disosialisasikan dalam pertemuan dengan paguyuban PKL dan anggota DPRD. “Itu sudah sesuai Perda, pertemuan dengan paguyuban ada anggota DPRD sudah kami sampaikan, memperlakukan Perda ini,” pungkasnya. (ars)