25.7 C
Semarang
Selasa, 26 Agustus 2025

Balita Meninggal karena Cacing, Antara Negara Abai dan Omong Kosong Menkes

Oleh: Prof. Dr. dr Zaenal Muttaqin

JATENGPOS. CO. ID, SEMARANG–Bukan cuma sekali ini, negara gelagapan dan seolah tidak siap menyelesaikan masalah kesehatan yang menyebabkan korban meninggal. Berita terkait Raya, balita 4 tahun di Sukabumi yang meninggal dengan tubuh penuh cacing gelang lagi heboh (https://www.detik.com/jateng/berita/d-8068737/raya-meninggal-usai-tubuh-penuh-cacing-sang-ibu-ada-yang-ukuran-sekilo).

Berita ini tidak cuma menjadi potret kemiskinan dan layanan kesehatan yang belum bisa memenuhi tujuan dari kemerdekaan, tapi sekaligus memastikan bahwa di HUT yang ke- 80 kemerdekaan, negara masih saja abai dalam membangun infrastruktur sanitasi dan ketersediaan air bersih bagi seluruh rakyat, dan Raya hanyalah salah satu contoh korban sia-sia dari jutaan rakyat yang belum terpenuhi hak-hak nya sebagai anak bangsa di negeri yang usianya sudah 80 tahun ini.

Penyakit cacing gelang (Ascaris Lumbricoides) adalah penyakit infeksi (lebih tepatnya infestasi) parasite pada tubuh manusia. Infeksi cacing Askaris terjadi akibat masuknya telur cacing lewat mulut ke saluran cerna. Artinya tidak semua anak yang bermain di tanah akan selalu menjadi cacingan.

Untuk bisa terinfeksi berarti harus ada kontaminasi tinja manusia di tanah tempat anak itu bermain. Penularan bisa terjadi bila kontaminasi tinja ini ada telur cacingnya (tinja dari orang yang sakit cacingan), atau akibat sanitasi yang buruk sehingga ada rembesan air yang berasal dari tempat pembuangan tinja (septik tank) yang bocor, atau karena tidak ada WC atau Jamban yang memenuhi syarat sehingga orang membuang tinja di sembarang tempat di sekitar lokasi tempat anak bermain.

Setelah ada penularan, telur cacing dalam perut si anak akan menetas menjadi larva cacing yang akan bermigrasi ke paru-paru melalui saluran darah dan saluran getah bening. Dalam waktu 10-14 hari, larva cacing ini beramai-ramai akan bergerak menuju tenggorokan si anak mengakibatkan batuk-batuk dan larva keluar atau ditelan kembali masuk ke dalam usus. Karena itulah batuk-batuk lama yang tidak kunjung sembuh pada anak-anak bisa jadi gejala utama yang paling sering dari penyakit cacingan (batuk kronis selama 3 bulan pada Raya bukan gejala dari infeksi TBC, karena hanya TBC luas pada orang tua yang akan bergejala batuk darah).

Didalam usus inilah larva cacing akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang bisa mencapai panjang 40cm, dan bisa menghasilkan lebih dari 200.000 telur cacing setiap harinya. Selanjutnya ribuan sampai jutaan telur cacing ini akan dikeluarkan lewat kotoran (dan jadi sumber penularan ke manusia lain), atau menetas jadi larva dan lalu akan mengulangi siklus hidup cacing (dari perut ke paru-paru, lalu kembali ke usus untuk jadi cacing dewasa).

Siklus ini berulang setiap 2-3 bulan, dan cacing dewasa bisa bertahan hidup dalam usus sekitar 1-2 tahun, sedangkan telur cacing yang ada di tanah bisa bertahan hidup dan berpotensi menulari orang lain bahkan sampai 17 bulan kemudian.

Penyakit cacingan (Askariasis) ini bisa dan mudah diobati, serta jarang menyebabkan kematian. Akan tetapi dengan jumlah cacing yang banyak di dalam usus, kematian bisa terjadi akibat malnutrisi berat atau sumbatan pada usus, sampai kerusakan/ robekan pada dinding usus.

Selain itu cacing dewasa bisa menyumbat dan merusak kelenjar empedu dan kelenjar ludah perut, dan larva cacing yang banyak di dalam gelembung paru (alveoli) bisa menyebabkan gejala mirip asma atau infeksi paru (demam dan sesak nafas).

Informasi tentang penyakit cacing gelang yang difahami oleh semua dokter dan nakes sebagaimana tersebut di atas bisa diperoleh dengan mudah dari berbagai sumber. Berdasarkan pemahaman yang sederhana tapi rasional inilah masyarakat diharapkan mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Raya dan mengapa sampai meninggal.

Proses Raya sampai bisa tertular sakit cacingan tidak akan terjadi hanya karena lantai rumah tempat Raya bermain dari tanah. Telur cacing Ascaris bisa ada di tanah karena ada kontaminasi tinja dari berbagai sumber.

Meski ada kontaminasi, telur cacing tidak akan mudah berbiak dalam tubuh bila anak punya daya tahan tubuh yang baik dan selalu mencuci tangan dengan air bersih saat sebelum makan/ minum.

Batuk lama yang tidak sembuh lebih dari 3 bulan adalah salah satu gejala penyakit cacingan pada anak (saat larva cacing di paru naik ke tenggorokan untuk menuju ke usus halus, tempat larva tumbuh jadi cacing dewasa), bukan gejala dari infeksi kuman TBC.

Fakta adanya lebih dari 1 kilogram cacing dalam perut Raya dan bahkan ada cacing dewasa 15 cm yang keluar dari hidung, mulut, anus, dan kemaluan Raya menggambarkan infestasi cacing yang sudah parah dan berlangsung lama (lebih dari 3-6 bulan), yang selain bisa bikin malnutrisi (Kurang Kalori Protein atau KKP) berat, juga bisa mengakibatkan penyumbatan usus dan kerusakan dinding usus serta reaksi peradangan pada kelenjar empedu, kelenjar ludah perut (pancreas), dan gelembung paru (alveoli) hingga terjadi kematian.

Baca juga:  Denny Caknan, Sang “Smart Flanker”

Pernyataan menkes yang Seolah Faham Ilmu Kedokteran padahal isinya Omong Kosong alias Zonk

Terkait dengan peristiwa ini, menkes langsung tancap gas (sebagaimana kebiasaan-wajibnya untuk memanfaatkan event apapun, termasuk kematian seorang Raya, untuk pencitraan alias pansos) dengan memberikan pernyataan medis terkait penyakit raya dan penyebab kematiannya (https://www.instagram.com/reel/DNNY1mOhbT_/?igsh=MTc4MmM1Yml2Ng==). Karena dia bukan dokter dan seharusnya tidak berhak untuk pura-pura jadi dokter, tentu saja yang disampaikan tergantung dari kualitas informasi dari para pembisiknya yang ternyata juga Zonk.

Anak ini malnutrisi (KKP) berat, dibawa ke RS dalam keadaan dehidrasi (kurang cairan) berat sehingga tak sadar. Kondisi dehidrasi ini teratasi dengan penanganan di IGD RSUD Syamsudin, Sukabumi. Dalam situasi kritis, Cacing Ascaris dalam perut Raya akan otomatis berusaha mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri. Maka keluarlah ratusan cacing (dengan berat total lebih dari 1 kilogram) lewat hidung, mulut, anus, dan saluran kemih Raya. Ini membuktikan bahwa Raya sudah lama (setidaknya 3-6 bulan) menderita Cacingan Berat yang otomatis menyebabkan keadaan Malnutrisi (KKP) Berat.

Dalam pernyataannya, menkes mengatakan bahwa Raya tidak meninggal karena penyakit cacing, melainkan karena infeksi, bisa TBC, karena sudah 3 bulan batuk tak kunjung sembuh. Bahkan menkes menduga kematian Raya akibat Meningitis (radang selaput otak). Mari kita telaah secara rinci pernyataan seorang pejabat tertinggi bidang kesehatan di negeri ini, berdasarkan ilmu kedokteran yang sederhana dan mudah difahami.

Batuk lama yang tidak kunjung sembuh adalah gejala tersering pada penyakit Cacing Ascaris pada anak, dikarenakan larva cacing yang ada di Paru pasien berusaha migrasi ke usus melewati tengorokan lalu masuk ke saluran cerna untuk bisa tumbuh jadi cacing dewasa dalam usus pasien.

Bisa saja Raya juga menderita TBC Paru tertular dari ayahnya yang sakit TBC, tapi yang pasti Batuk Lama pada anak Balita bukan gejala dari TBC, dan TBC Paru pada anak tidak bisa tiba-tiba menyebabkan anak tak sadar, apalagi tiba-tiba mati. Hanya orang tua dengan TBC Paru yang parah akan bisa terjadi batuk yang ada darahnya (Batuk Darah atau Hemoptoe).

Raya menjalani perawatan selama 9 hari sebelum memenuhi panggilan Allah, sang Maha Pencipta. Saat datang di UGD dia tidak sadar karena Dehidrasi Berat, yang kemudian sempat sadar membuka mata lagi setelah dehidrasinya teratasi.

Selama perawatan, Raya tidak pernah mengalami demam tinggi yang lebih dari 40 derajat, dan/ atau kejang-kejang. Dua gejala utama tanda-tanda dugaan Meningitis, yang kemudian bisa dibuktikan dengan pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang. Kedua tanda-tanda tersebut tidak pernah ditemukan pada Raya sebelum meninggal, artinya meningitis jelas bukan dugaan penyebab kematian Raya.

Menkes ini bukan seorang dokter dan tidak mungkin faham ilmu kedokteran. Selain sistem pertahanan tubuh yang ada di titik nadir akibat malnutrisi/ KKP berat, ratusan cacing dalam usus Raya bisa sekali merusak dan merobek ususnya (terbukti ada cacing keluar dari kemaluan, hal ini tidak bisa terjadi tanpa ada robekan atau perforasi dinding usus). Cacing juga bisa menyumbat saluran empedu dan kelenjar ludah perut (Pankreas) yang memiliki muara di Usus 12 jari. Robekan pada dinding usus inilah yang kemudian bisa menyebabkan berbagai kuman dan bakteri (yang normalnya hidup di dalam saluran usus) untuk kemudian menyebar melalui aliran/ peredaran darah ke seluruh tubuh, sebuah kondisi yang disebut Sepsis.

Keluarga Raya cuma salah satu dari jutaan atau mungkin puluhan juta rakyat yang tinggal di rumah atau gubug berlantai tanah. Tapi bukan itu yang menyebabkan Raya tertular cacing Askaris dalam tubuhnya. Adanya telur cacing Askaris di tanah tempat Raya bermain itulah yang jadi sumber penularan.

Ini menggambarkan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, ada kontaminasi tinja manusia yang berasal dari rembesan air dari septic tank di sekitar itu, atau karena tidak ada WC yang memenuhi syarat maka orang bisa membuang tinja di sembarang tempat. Belum lagi bicara tentang terbatasnya ketersediaan air bersih untuk membilas kotoran maupun untuk cuci tangan bagi rakyat miskin seperti keluarga Raya.

Menkes adalah kepanjangan tangan negara dalam memenuhi hak-hak dasar seluruh rakyat untuk hidup sehat. Hak kesehatan bukan cuma soal fasilitas layanan kesehatan yang layak, tapi juga lingkungan hidup yang memungkinkan rakyat bisa hidup sehat, antara lain Sanitasi yang baik dan Ketersediaan Air Bersih di lingkungan tempat tinggal.

Tidak ada gunanya kehadiran menkes yang cuma bisa membangun puluhan RS Kemenkes dengan segala peralatan canggihnya, ratusan Cathlab di pelbagai RSUD (banyak yang mangkrak), maupun 10 ribu USG di Puskesmas (banyak yang bakal jadi fossil), tapi infrastruktur kesehatan lingkungan bagi rakyat miskin masih dibiarkan seperti zaman sebelum kita merdeka.

Baca juga:  Budidaya Jahe Merah dalam Karung Sebagai Solusi Keterbatasan Lahan

 

Birokrasi Layanan Kesehatan yang memuakkan dan Pejabat Pemerintah yang Lari dari Tanggung-Jawab

Ada sebuah video yang diunggah oleh relawan Rumah Teduh tentang proses perjalanan mulai evakuasi Raya dari rumah gubugnya sampai ke IGD RSUD Syamsudin di Sukabumi, sampai kematiannya pada hari ke 9 perawatan. Terlihat dalam video betapa infrastruktur jalan desa yang tidak mudah dilalui oleh kendaraan roda 4.

Komentar dari teman saya yang dokter: “akses jalannya masih sama dengan situasi sekitar puskesmas tempat dia bertugas 30 tahun yang lalu”. Raya dilahirkan dan diasuh oleh ibunya (dari informasi yang layak dipercaya adalah orang dengan gangguan jiwa/ ODGJ) yang tidak layak untuk mengasuh sendiri anaknya. Tidak adanya biaya menyebabkan Raya tidak pernah dibawa ke Fasyankes, demikian menurut ibunya.

Saat Raya yang malnutrisi (Kurang Gizi) berat dibawa ke RSUD Kota Sukabumi (RSUD Syamsudin) oleh Relawan Rumah Teduh dalam kondisi tidak sadar akibat Dehidrasi Berat (kurang cairan, mungkin terlalu lemah untuk minta minum atau minum sendiri selama beberapa hari), barulah diketahui bahwa Raya (mungkin sekali juga keluarganya) tidak punya kartu identitas dan otomatis juga tidak punya kartu BPJS, baik yang KIS atau PBI, apalagi BPJS Mandiri.

RSUD Kota memberikan waktu (baca: memaksa) Relawan Rumah Teduh untuk dalam tempo 3 hari menghadirkan Kartu Identitas dan Kartu BPJS Raya. Kalau batas waktu itu terlampaui, Raya otomatis jadi pasien Umum, dan Rumah Teduh yang harus bertanggung-jawab menyelesaikan semua biaya pengobatan Raya secara tunai (padahal mereka telah secara sukarela menjalankan Kewajiban Konstitusi bagi Raya, karena Negara telah abai dan gagal memenuhi tugasnya).

Seharusnya Pemda dan Aparat Pemerintah setempat-lah yang paling bertanggungjawab atas tidak adanya kartu Identitas dan kartu BPJS Raya, tapi mengapa tugas ini dibebankan kepada Relawan Rumah Teduh?

Dalam usaha mendapatkan kejelasan Kartu Identitas dan Jaminan Pengobatan untuk Raya, relawan telah di-‘pingpong’ atau diminta kesana-kemari dari satu instansi ke instansi lain yang kesemuanya merasa tidak bertanggung-jawab. Dari Dinsos Kota relawan diminta ke Dinsos Kab., dari Dinsos Kab. diminta ke Dinkes Kab., dari Dinkes Kab diminta menghadap Kabid LimJamSos., dari sini diminta kembali ke Dinkes Kab.

Terlihat disini gambaran sebuah Birokrasi pelayanan umum yang memuakkan dengan para pimpinan yang saling berusaha lepas dari tanggung-jawabnya melayani rakyat. Dalam kasus Raya ini, puncak dari kejahatan dan ketidak- pedulian aparat negara terbaca dari pernyataan Dinkes : ”Dinkes Kabupaten tidak punya anggaran dan tidak ada MoU (perjanjian Kerjasama) dengan RSUD Kota”, dan disarankan agar Raya (yang dalam kondisi Koma) dipindahkan perawatannya ke RSUD Jampang (milik Pemkab).

Tentu saja itu permintaan yang konyol karena RSUD Kota-pun merasa sulit dalam mengobati penyakit Raya, apalagi fasilitas medis di RSUD Jampang tidak sebaik seperti di RSUD Kota.

“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh (menjadi tanggung-jawab) Negara”, demikian bunyi Ps 34 ayat 1 UUD 1945. Allah Yang Maha Kuasa tahu betul bagaimana para pejabat yang diberikan kekuasaan dan amanah untuk mengelola uang rakyat telah abai dan berkhianat kepada Raya dan keluarganya, juga kepada banyak sekali Raya-Raya lainnya, sebagai pemilik sah dari negeri ini. Oleh karena itu, Allah SWT mengakhiri penderitaan Raya dan mengangkatnya ke haribaan-Nya setelah 9 hari dirawat di RSUD Syamsudin.

Setelah meninggalnya Raya, RSUD Kota masih tega menyodorkan kwitansi tagihan sebesar Rp.23.259.130 yang harus dibayar oleh Relawan Rumah Teduh yang secara sukarela mengambil alih tugas dan kewajiban para pejabat daerah yang lari dari tanggung-jawab.

Di saat banyak pejabat dan tokoh masyarakat berpesta-pora membakar uang untuk merayakan 80 th. HUT Kemerdekaan, saat para anggota DPR pada berjoget ria mengambil ‘hak’ nya 3 juta setiap hari atau 100 juta setiap bulan, ada Raya dan keluarganya, dan tentu banyak sekali Raya-Raya lain (yang juga pemilik sah negeri ini dan juga punya hak untuk hidup sehat dan sejahtera) yang ternyata Tidak Terdaftar dan Tidak Diakui keberadaannya sebagai warga-negara di negeri ini.

Kelak di alam setelah kematian, setiap Pemimpin akan diminta pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Sebagai Pimpinan tertinggi (Amirul Mukminin) saat itu, Umar Ibnu Khattab rela mengangkat sendiri sekarung gandum dengan bahunya, karena takutnya pada siksa sang Khalik ketika dia tidak tahu ada seorang ibu dan anak-anaknya yang tidak punya apapun untuk dimakan. Oleh karena itu wahai para pejabat publik, ingatlah bahwa hidup kalian tidak akan berakhir di dunia ini saja, kesejahteraan dan kesehatan seluruh rakyat, termasuk penderitaan dan kematian Raya-Raya lain dan keluarganya, di seantero negeri ini harus kalian pertanggung- jawabkan di depan sang Khalik nanti. (*)

#Zainal Muttaqin, Praktisi medis Bedah Saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip


TERKINI

Rekomendasi

Lainnya