JATENGPOS.CO.ID, MAGELANG — Madrasah tidak hanya menjadi tempat anak-anak belajar ilmu agama dan pengetahuan umum, tetapi juga taman tempat cinta bertumbuh. Cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul, cinta kepada ilmu, cinta kepada sesama, cinta kepada Tanah Air, dan cinta kepada kehidupan. Semangat inilah yang menjadi ruh utama dalam Seminar Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta dan Deep Learning di Madrasah, yang digelar di Hotel Artos, Magelang, Jumat (15/10/2025).
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dan UIN Walisongo Semarang, diselenggarakan dalam masa reses DPR RI Masa Persidangan 2025–2026.
Salah satu narasumber utama, Wibowo Prasetyo, Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, membawakan materi berjudul “Integrasi Nilai-Nilai Cinta dalam Pembelajaran di Madrasah.” Ia menegaskan bahwa madrasah memiliki peran istimewa dalam membangun pendidikan berbasis cinta.
“Kalau sekolah mengajarkan how to think, maka madrasah juga mengajarkan how to feel. Jadi, bagaimana cinta bisa hidup bersama ilmu. Mengajar itu bukan sekadar menyampaikan, tapi menghidupkan,” kata Wibowo di hadapan ratusan guru madrasah se-Magelang Raya.
Dalam paparannya, Wibowo menjelaskan bahwa guru madrasah sejatinya bukan hanya mu’allim (pengajar), tetapi juga murabbi (penanam kasih). Setiap pelajaran, apa pun, bisa menjadi ladang menanam cinta.
Ia mencontohkan, saat guru fisika menjelaskan hukum gravitasi, misalnya, ia bisa mengaitkannya dengan tanda kekuasaan Allah yang menata alam dengan cinta dan keseimbangan. Guru Bahasa Arab dapat menyelipkan kisah sahabat Rasul yang lembut dalam bertutur.
“Belajar tanpa cinta membuat kelas seperti ruang mesin. Efisien tapi dingin. Belajar dengan cinta membuat kelas seperti taman, penuh kehidupan,” ujarnya.
Namun Wibowo juga mengingatkan bahwa cinta kini tengah diuji oleh derasnya arus teknologi. Anak-anak lebih banyak menatap layar daripada wajah guru. “Banyak yang pintar tapi cepat marah, cerdas tapi mudah putus asa. Ini tanda bahwa pendidikan kita mulai kehilangan sentuhan kasih,” jelasnya.
Berdasarkan data, tingkat penetrasi internet nasional telah mencapai 80,66% atau sekitar 229,4 juta jiwa. Jumlah ponsel aktif bahkan menembus 354 juta unit, melebihi populasi penduduk Indonesia yang sekitar 298 juta.
“Artinya, teknologi sudah menjadi bagian hidup, tapi jangan sampai menggantikan hati. Untuk itu, guru madrasah justru harus menjadikan teknologi sebagai alat menebar kebaikan, bukan menumbuhkan jarak,” pesan Wibowo.
Ia mencontohkan bagaimana guru bisa menggunakan media digital untuk memperkuat hubungan antarsiswa, misalnya melalui video refleksi singkat tentang kebaikan atau grup kelas yang berisi saling mendoakan, mengapresiasi, dan membantu dalam kebaikan.
Ia menjelaskan, bisa jadi guru yang dicintai bukan sekadar yang paling pintar, tapi yang paling tulus. Bukan yang paling banyak bicara, tapi yang paling mau mendengar. “Apa yang keluar dari hati akan masuk ke hati, apa yang keluar dari mulut hanya sampai di telinga,” ucap Wibowo mengutip pepatah Arab.
Ia menegaskan bahwa tugas guru madrasah bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga menyalakan hati. Dalam setiap pelajaran, setiap nasihat, bahkan dalam setiap senyum, ada ladang menumbuhkan cinta kepada siswa.
Di penghujung seminar, Wibowo mengajak para guru untuk menjadikan madrasah sebagai “rumah cinta”, tempat di mana siswa mencintai Allah, Rasul, sesama manusia, dan kehidupan.(biz/rif)