Puluhan Warga Sokoduwet Tolak Harga Apraisal Proyek Tol

Proyek jalan akses dari pantura ke interchange jalan tol (exit tol).

JATENGPOS.CO.ID, PEKALONGAN – Sebanyak 38 warga Kelurahan Sokoduwet, Kecamatan Pekalongan Selatan menolak penawaran harga tanah  taksiran tim apraisal. Ke 38 warga RW XI Kelurahan Sokoduwet itu tanahnya terkena proyek jalan akses dari pantura ke interchange jalan tol (exit tol). “Dari 128 bidang yang akan dibebaskan, 38 warga pemilik tanah keberatan dengan harga dari apraisal,” terang Kabid Penataan Ruang dan Pertanahan DPUPR Kota Pekalongan, yang juga anggota tim pengadaan tanah, Khaerudin.

Keberatan  warga itu dinyatakan dalam surat pernyataan bersama. Makanya, tim akan  mengadakan rapat lanjutan untuk membahasnya dengan tim apraisal.  “Terus terang komplain harga ini sebenarnya ranahnya di apraisal. Tapi ini sebagai masukan bagi kami untuk mengakomodirnya dalam revisi daftar nominatif,” tutur Khaerudin. Dijelaskan, penolakan warga akan di diakomodir.  Bahkan, tim meminta agar segala aspirasi yang masih menjadi ganjalan warga disampaikan. Bisa melalui kelurahan  atau langsung ke tim. Sedangkan warga pemilik tanah persawahan kebanyakan  sudah setuju dengan harga yang ditawarkan. Mereka mulai melengkapi berkas dan dokumen, termasuk pembukaan rekening Bank Jateng. Sebab  pembayarannya akan ditransfer langsung ke rekening warga. Total kebutuhan lahan untuk exit tol ini mencapai 10,7 hektare, terdiri dari 128 bidang tanah. Sementara ini yang sudah dibebaskan baru 4,6 hektar.

Baca juga:  Tim SAR Jogja Alami Kecelakaan di Batang Saat Pulang dari Bantu Korban Banjir Bekasi

Sebelumnya, dalam pertemuan antara warga dengan tim apraisal dan tim pengadaan tanah di Kantor Kelurahan Sokoduwet, sejumlah warga  langsung menyatakan keberatan dengan harga dari apraisal. Mereka menilai penetapan harganya aneh.  Sebab, penetapan harga yang berbeda pada tanah yang lokasinya bersebelahan. Tanah milik H Suhari, H Chamid Yasin dan Thoyibah, berada di satu lokasi di belakang Kantor Kelurahan Sokoduwet. Namun terhadap ketiga bidang tanah itu, ditetapkan harga yang berbeda. Harga tanah milik Thoyibah dan H Suhari, hanya diberi harga Rp 400 ribu per meter persegi. Sementara bidang tanah milik H Chamid Yasin, diberi harga Rp 790 ribu per meter persegi.

“Ini aneh, padahal tanah kami bersebelahan. Tanah ini merupakan tanah waris yang kemudian dibagi menjadi 4, seluruhnya terkena proyek ini. Namun saat penetapan harga, kenapa harga empat lahan tanah ini berbeda-beda. Padahal  lokasi dan bentuk tanah sama sama berupa kebun,” ujar H Suhari.


Baca juga:  Pemkab Batang Bakal Benahi Penyaluran Bansos Terdampak COVID-19

Tanah milik H Suhari yang terkena proyek jalur interchange seluas 400 meter persegi. Dengan harga sebesar Rp400 ribu per meter persegi,  mendapat ganti rugi sebesar Rp 156 juta. Begitu juga tanah milik Thoyibah yang dihargai sama. Tanah seluas 351 meter persegi diberi ganti rugi sebesar Rp150 juta. Tanah milik H Chamid Yasin tentu saja mendapatkan ganti rugi tertinggi karena harga per meternya dipatok lebih tinggi. Dari tanah seluas 418 meter yang terdampak proyek, ia mendapatkan ganti rugi sebesar Rp340 juta. H Suhari menegaskan tak terima dengan penetapan harga itu. Apalagi, tanah miliknya yang berada di lokasi yang sama, sempat diberikan ganti rugi sebesar Rp 830 ribu per meter persegi untuk pengganti lahan sekolah usai terkena proyek tol.(way/dik)

Baca juga:  Pj Gubernur Nana: NU Buktikan Komitmen Kawal Nilai Toleransi