JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan titik-titik rawan korupsi yang dapat terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020.
“KPK perlu menyampaikan komitmen untuk turut menyukseskan penyelenggaraan pilkada agar bersih dan bebas dari praktik-praktik korupsi, karena hanya pilkada yang bebas dari praktik-praktik korupsi kita berharap terlahir pemimpin-pemimpin yang mampu memberikan harapan bagi rakyat Indonesia,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam webinar bertema An Election in the Time of Pandemic: “Protecting the Quality of Democracy and Potential Corruption” yang disiarkan melalui akun Youtube Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Kamis.
Ia mengatakan di tengah situasi pandemi COVID-19, perlu kiranya diperhatikan beberapa hal yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2020 agar praktik-praktik korupsi dapat dihindari.
“Seperti politik transaksional, karena sekali lagi pandemi COVID-19 mengakibatkan kita banyak di rumah “stay at home”, sehingga mengkibatkan semua masyarakat hanya mampu memiliki kekuatan untuk hidup saja tetapi tidak mampu memiliki kekuatan ekonomi yang lebih kuat lagi,” ujarnya pula.
Kondisi ekonomi yang lemah tersebut, kata dia lagi, berpotensi melahirkan praktik-praktik transaksional dalam pilkada.
“Kondisi kelemahan ekonomi ini merupakan potensi yang terbuka bagi praktik-praktik pragmatis transaksional dalam pilkada akibat dampak pandemi COVID-19 ini, untuk melakukan cara-cara transaksional dan ilegal guna mendapatkan suara pemilih yang kondisi ekonominya sedang di titik terendah,” kata Ghufron.
Selain itu, ia juga menyatakan akan muncul potensi “fraud” atau kecurangan dalam pengadaan logistik pilkada.
“Hal tersebut dapat terjadi karena akan sulit untuk melakukan pengawasan, karena terhadap alur pengadaan sarana dan prasarana pilkada di tengah pandemi ini memiliki banyak keterbatasan. Misalnya, masyarakat tidak banyak di luar rumah, sehingga pengawasan dari masyarakat akan semakin kurang,” kata Ghufron lagi.
Ia pun menegaskan jika proses pilkada jauh dari praktik-praktik korupsi, maka dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
“Proses yang bagus akan melahirkan pemimpin yang bagus, pemimpin yang bagus akan melahirkan pelayanan publik yang bagus, peningkatan pendapatan daerah yang bagus, pembelanjaan negara yang bagus,” kata dia.
Karena itu, ia menyatakan bahwa praktik korupsi itu sesungguhnya adalah hilir dari sebuah hulu yang bernama pilkada maupun pemilu.
“Kalau pemilunya bagus pilkadanya bagus, maka sesungguhnya kita berharap tentunya korupsi akan turun, tetapi sebaliknya kalau proses pemilihan pemimpinnya rusak atau gagal maka kita tidak akan berharap kemudian korupsi akan bersih,” ujar Ghufron.
KPK, kata dia, juga memandang saat ini biaya pilkada sangat tinggi, sehingga kepala daerah yang telah terpilih cenderung mengembalikan biaya tersebut saat sudah menjabat.
“KPK idealnya hanya membersihkan residu-residu yang idealnya tidak lebih dari 5 persen dari proses korupsi di suatu pemerintahan. Faktanya saat ini, pandangan KPK sistem pemilu, sistem pilkada kita “cost”-nya terlalu tinggi. Kemudian menimbulkan pemimpin-pemimpin yang cenderung berpikirnya tidak lagi untuk kepentingan publik, tetapi mengembalikan modalnya. Pada saat mengembalikan modal, maka praktik-praktik korupsi terjadi,” katanya pula. (fid/ant)