JATENGPOS.CO.ID, – Perubahan demografi karyawan di tempat kerja telah membuat seorang karyawan dapat mempelajari pentingnya hubungan antara pekerjaan dan keluarga. Pembahasan mengenai konflik antara pekerjaan dan keluarga telah berkembang selama beberapa dekade terkahir dan telah mengarah pada pengembangan teoritis, studi empiris, dan praktik-praktik yang melibatkan organisasi untuk mengelola konflik antara pekerjaan dan keluarga. Ketika organisasi mampu membantu karyawan dalam mengelola keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga, maka secara logika konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga dapat ditekan seminimal mungkin. Konflik antara pekerjaan dan keluarga seringkali disebabkan oleh peningkatan secara pesat pada Wanita dan pria yang telah menikah dan memiliki pekerjaan untuk mempertahankan Sebagian besar tanggung jawab keluarga dan rumah tangga. Topik tentang konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga menjadi menarik karena didorong oleh pengakuan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga sangat berpengaruh terhadap kinerja seorang karyawan.
Sebagai contoh, terdapat pembahasan yang menyatakan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga adalah sebagai salah satu stressor utama di tempat kerja yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan di tempat kerja dan pada akhirnya mampu membuat seorang karyawan berhenti dari pekerjaan mereka. Penelitian ini terjadi di Amerika Serikat, sedangkan terdapat juga penelitian yang dilakukan di Kanada yang menemukan bahwa setiap orang dapat bekerja lebih lama dari umumnya, yang disebabkan oleh tuntutan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pekerjaan. Tuntutan yang dimaksud adalah kegiatan perilaku peran ekstra atau biasa kita sebut dengan OCB.
Dampak negatif OCB adalah ketika seseorang terlibat dalam perilaku OCB maka mereka akan membutuhkan waktu lebih banyak dan tenaga yang lebih besar untuk terlibat dalam perilaku tersebut, dengan demikian secara logika waktu dan tenaga untuk dialokasikan dengan keluarga akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan waktu dan tenaga yang mereka alokasikan untuk pekerjaan dan perilaku peran ekstra. Dalam konteks ini, laki-laki memikul lebih banyak tanggung jawab keluarga, dengan adanya tanggung jawab yang berat terkait dengan keluarga, maka laki-laki dituntut untuk mencari dan melakukan pekerjaan mereka sebaik mungkin dan selama mungkin.
Dengan demikian, secara tidak langsung waktu mereka akan lebih banyak dialokasikan kepada pekerjaan mereka selama mereka memikul tanggung jawab keluarga itu. Akibatnya, banyak laki-laki mulai mengalami peningkatan stress dan konflik saat mereka menangani tanggung jawab pekerjaan sekaligus menangani tanggung jawab sebagai anggota keluarga.
Bagaimana Menurut Pandangan Islam?
Peran ganda dapat berdampak secara positif maupun negatif, apabila peran tersebut mampu untuk menyumbang stabilitas keluarga atau masyarakat, maka hal ini dinilai fungsional dan disebut sebagai perubahan struktur fungsional dalam kehidupan berkeluarga, begitu pula sebaliknya. Bekerja selain dimaknai ibadah juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara jasmani maupun rohani. Islam mengajarkan adanya kewajiban untuk bekerja sekaligus hak untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat berlaku baik kepada laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firmanNya dalam QS An-Nisa:29
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela di antara kalian”.
Berdasarkan firman tersebut, maka setiap manusia dituntut untuk dapat memperjuangkan kebutuhan hidupnya, agar mampu hidup mandiri. Bahkan berdasarkan kitab Fiqih, Jamaluddin Muhammad Mahmud menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang, dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, perempuan juga mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan tertinggi dalam kariernya.
Koflik peran ganda merupakan konflik yang terjadi secara simultan akibat dari adanya tekanan dari dua atau lebih peran yang dilakukan, namun bisa saja terjadi dalam pemenuhan satu peran akan bertentangan dengan peran lain. Semua posisi-posisi tersebut bisa ditempati secara bergantian atau bersamaan. Dengan kata lain, peran-peran yang ada pada seorang bisa menuntut pelaksanaan peran secara simultan. Secara toeri menjelaskan bahwa tuntutan peran berkontribusi terhadap peningkatan konflik antara pekerjaan dan keluarga.
Konflik peran ganda, yaitu konflik karena tekanan antara pekerjaan-keluarga di masa lalu dianggap unidimensional. Namun saat ini, banyak peneliti setuju bahwa konflik yang mungkin timbul ketika pekerjaan “mengganggu” waktu untuk keluarga (Work Interference with Family/WIF) telah mendukung pandangan yang bersifat multidimensional. Dimensi tersebut meliputi: berbasis ketegangan, berbasis waktu, dan berbasis perilaku.
Secara rinci faktor-faktor penyebab konflik peran ganda sehingga berdampak pada kinerja karyawan yang berperan ganda adalah sebagai berikut: Pertama, Permintaan waktu akan satu peran yang tercampur dengan pengembalian bagian dalam peran yang lain. Kedua, Stres yang dimulai dalam satu peran yang terjatuh ke dalam peran lain, dikurangi dari kualitas hidup dalam peran tersebut. Ketiga, Kecemasan dan kelelahan yang disebabkan ketegangan dari satu peran dapat mempersulit untuk peran yang lainya.
Pada kesimpulannya, konflik antara pekerjaan dan keluarga dapat terjadi pada seseorang yang telah memiliki keluarga dan memiliki tanggung jawab pekerjaan. Konflik dapat terjadi karena kurangnya keseimbangan antara lingkungan pekerjaan dan keluarga, sehingga salah satu pihak dapat dirugikan. Individu dituntut untuk mengelola sumberdaya yang mereka miliki untuk menyeimbangkan kebutuhan pekerjaan dan keluarga.(*)
Ammy Apriany
Mahasiswa Magister Manajemen Unissula-Semarang