JATENGPOS.CO.ID, – Pandemi covid-19 merupakan masalah global yang dirasakan hampir seluruh negara di dunia. Di Indonesia sendiri, sudah satu tahun lebih covid-19 menghantui kehidupan masyarakat. Tercatat, 2 Maret 2020 Presiden Republik Indonesia mengumumkan temuan kasus pertama covid-19. Sampai saat ini, setidaknya lebih dari 2 (dua) juta masyarakat Indonesia terinfeksi covid-19 dengan lebih dari 60.000 (enampuluh ribu) diantaranya meninggal dunia (data statistik covid19.go.id). Pandemi covid19 telah berdampak ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Selain dampak kesehatan yang sudah pasti, sektor ekonomi pun juga terkena imbasnya. Kita lihat berapa banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaannya, disebabkan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan.
Pemerintah telah berusaha dengan sekuat tenaga menyusun kebijakan dan mengambil langkah pencegahan covid-19 agar tidak menyebar lebih luas lagi. Sejumlah kebijakan strategis pemerintah dirumuskan baik dengan mengadopsi aturan WHO maupun rumusan kebijakan menyesuaikan situasi dalam negeri. Kebijakan yang telah diambil pemerintah sampai saat ini diantaranya social distancing, physical distancing, penerapan protokol kesehatan (prokes), larangan mudik hari raya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro hingga yang terbaru adalah PPKM Darurat berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021.
Perumusan aturan – aturan tersebut dirumuskan dan wajib ditaati seluruh lapisan masyarakat. Pemerinth melalui aparat penegak hukumnya juga telah menyiapkan sederet sanksi bagi perseorangan maupun kelompok masyarakat yang tidak mentaati aturan PPKM dan protokol kesehatan dalam rangka memutus mata rantai covid-19 di Indonesia. Sanksi tersebut mulai dari sanksi administrasi hingga hukuman pidana penjara. Meskipun demikian, masih ada saja masyarakat yang tidak mentaati aturan – aturan tersebut. Kita masih menemukan adanya kerumunan masyarakat dipinggir jalan, warung kopi dan tempat – tempat potensial yang dapat digunakan untuk berkumpul. Bahkan, fenomena hari raya Idul Fitri beberapa waktu lalu, kita lihat banyak sekali yang nekat untuk mudik ke kampung halaman hingga rela bersitegang dengan aparat kepolisian diperjalanan.
Rangkaian peristiwa tersebut dikarenakan beragamnya kultur masyarakat Indonesia. Ada yang dengan mudah menerima aturan dengan taat, namun ada pula yang tidak mentaati. Kultur masyarakat Indonesia cenderung hidup berkelompok dan bersosialisasi secara luas. Tingkat pengetahuan antara masyararakat yang tinggal di daerah metropolitan dengan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan juga berbeda. Boleh jadi masyarakat metropolitan dapat dengan mudah mengakses informasi pandemi covid-19, sementara masyarakat di daerah pedesaan kurang mendapatkan informasi dan edukasi terkait bahaya covid-19. Diperlukan pendekatan dan edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, baik melalui media sosial maupun mengajak tokoh masyarakat, guna mensosialisasikan anjuran mentaati protokol kesehatan guna memutus mata rantai covid-19.
Dari sisi hukum, diperlukan pendekatan dan penegakan hukum yang humanis dari aparat penegak hukum. Selain edukasi dan ancaman sanksi hukum, masyarakat perlu mendapatkan contoh dari para pemangku kebijakan untuk mentaati aturan – aturan yang telah ditetapkan. Kita lihat selama ini, banyak sekali pemberitaan di media massa tentang dugaan pelanggaran hukum terkait protokol kesehatan yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh para pejabat mulai dari level Kepala Desa hingga Kepala Daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi.
Hal tersebut sedikit banyak menghambat tegaknya aturan hukum yang diterapkan oleh para pemangku kebijakan. Masyarakat ditekan untuk mentaati aturan – aturan PPKM dan protokol kesehatan melalui operasi besar – besaran disepanjang jalan raya oleh aparat penegak hukum, bahkan kita lihat belum lama ini ada beberapa orang dari unsur masyarakat yang mendapatkan vonis pidana karena melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Sementara, dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan kurang mendapat perhatian dan proses hukum maksimal.
Kita semua sebagai unsur masyarakat maupun para pemangku kebijakan menghadapi ketakutan dan kejenuhan yang sama menghadapi pandemic covid-19 yang berlarut – larut ini. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pendekatan hukum yang humanis dari para pemngku kebijakan melalui aparat penegak hukumnya kepada seluruh lapisan masyarakat. Jangan menggunakan pendekatan hukum represif kepada masyarakat dalam memutus mata rantai covid-19. Pemeritah sebagai pemangku kebijakan sebaiknya hadir membawa kesejukan ditengah – tengah masyarakat dengan memberikan edukasi dan ajakan untuk melakukan kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat serta mengedepankan penegakan hukum yang humanis.
Kita sadari atau tidak, saat ini sedang terjadi degradasi keharmonisan hubungan sosial masyarakat. Ditengah – tengah kita terbangun opini bahwa, mereka yang bertugas sebagai tenaga kesehatan maupun relawan medis tengah berjuang keras hingga ada yang gugur guna menangani pasien covid-19. Peristiwa tersebut disebabkan karena ketidaktaatan kita dalam mentaati protokol kesehatan, padahal tentunya tidak semua lapisan masyarakat adalah orang – orang yang tidak taat terhadap protokol kesehatan. Selain itu, phisycal distancing tentu berdampak pada berkurangnya interaksi sosial antar personal masyarakat, sehingga menjadi renggangnya rasa persaudaraan. Lesunya perekonomian masyarakat karena meningkatnya angka PHK juga menyebabkameningkatnya angka kejahatan, utamanya kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, marilah kita bersama – sama untuk mentaati protokol kesehatan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah guna memutus mata rantai covid-19. Penegakan hukum dilakukan secara humanis dan menjauhkan kesan represif dengan menegakkan sanksi bagi siapapun yang melakukan pelanggaran hukum terkait dengan protokol kesehatan.(*)