JATENGPOS.CO.ID, – Alhamdulillah, menjalani bulan Ramadhan selama emat tahun di Jerman (2021-2024) telah memberikan perspektif baru sekaligus pengalaman batin.
Perspektif baru karena menjadi paham bahwa ada hikmah dari hal-hal yang selama ini bagi mayoritas Muslim di Indonesia bisa jadi dianggap sepele. Satu contoh, adalah penggunaan kalender qomariyah sebagai penentu kapan Ramadhan dimulai dan kapan Ramadhan di akhiri. Dengan menggunakan kalender qomariyah maka Ramadhan bisa datang di bulan Desember saat musim dingin, di bulan April saat musim semi, di bulan Agustus saat musim panas, atau di bulan Oktober saat musim gugur.
Ketika Ramadhan datang di bulan Desember, puasa seakan menjadi tidak terasa karena waktu subuh hingga maghrib hanya berlangsung 10 jam. Sebaliknya ketika Ramadhan jatuh di musim panas Agustus,waktu puasa hampir 20 jam.
Kita tidak bisa bayangkan seandainya penentuan Ramadhan menggunakan kalender syamsiah dan Ramadhan selalu jatuh di bulan Agustus. Bisa jadi akan semakin jarang orang berpuasa.
Berpuasa dalam kurun waktu yang lebih lama daripada di Indonesia jelas, menjadi tantangan fisik tersendiri. Puasa di Jerman mendorong kita untuk lebih bersabar menerima kenyataan sekaligus syukur terhadap berbagai kenikmatan. Satu hal yang tidak kita jumpai di Indonesia karena letak geografis Indonesia di Khatulistiwa menjadikan waktu puasa lebih stabil di bulan apapun. Apalagi kondisi lingkungan di sebagian besar wilayah di Indonesia benar-benar mundukung orang untuk puasa dengan khusuk.
Ujian sesungguhnya barangkali adalah bagi anak-anak yang sedang belajar berpuasa dengan baik. Di Indonesia, sudah lazim menyaksikan anak SD, bahkan TK bisa berpuasa secara penuh. Disamping keluarga yang mendukung, sekolah turut mengkondisikan bahkan mensupport secara total.
Bagi anak-anak Muslim di Jerman, selain faktor durasi waktu puasa, lingkungan menjadi tantangan yang luar biasa berat. Aktivitas sekolah yang padat dan sebagian besar teman-temannya tidak berpuasa seringkali menjadi alasan bagi anak membatalkan puasanya.
Tentu tidak semua anak Muslim demikian karenya banyak juga anak-anak Muslim yang sanggup berpuasa penuh.Jalan tengahnya paling tidak anak harus berpuasa di akhir pekan atau ketika libur sekolah.
Hikmah berikutnya adalah toleransi beragama. Sebagai negara multietnis dan multireligi menemukan saudara sesama muslim, masjid, makanan halal, tidaklah sulit.
Di Jerman Islam menjadi agama yang mengalami perkembangan cukup pesat, lebih dari 5 juta penduduk (6 persen) Jerman adalah Muslim. Sebagian besar berasal dari Turki, Maroko, Syiria, Afghanistan, dan tentu Indonesia yang mencapai 30.000 orang.
Ramadhan kemudian tidak saja menjadi wahana untuk meningkatkan kesalehan pribadi, namun juga sarana dakwah, memperkuat persaudaraan sesama Muslim, dan toleransi diantara warga.
Perayaan Ramadhan sudah mulai jamak dilakukan diberbagai kota besar di Jerman. Bahkan pemerintah kota secara khusus memberikan perhatian dan jaminan. Sebagai contoh di Frankfurt, Walikota hadir langsung untuk membuka seremoni Ramadhan dan memberikan izin penggunaan sejumlah ruas jalan utama untuk berbuka puasa secara masal.
Bagi diaspora Indonesia, Ramadhan menjadi sarana memperkuat persaudaraan, sekaligus obat rindu terhadap tanah air. Mulai dari berbuka puasa bersama dengan berbagai menu khas nusantara hingga pengumpulan zakat yang sebagian besar disalurkan ke tanah air. Semua dilakukan dengan gotong royong,semangat komunalitas yang jarang terjadi di luar Ramadhan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh komunitas-komunitas Muslim lainnya dengan Masjid sebagai pusat aktivitas. Komunitas muslim Maroko misalnya, menjadikan Masjid yang mereka bangun sebagai sentral aktivitas Ramadhan sekaligus aktivitas sosial kekeluargaan.
Eksistensi organisasi keagamaan sebagaimana PCI Nahdlatul Ulama Jerman, PCI Muhammadyah Jerman Raya, maupun kelompok pengajian kota seakan menjadi oase. Mereka menjadi fasilitator bagi diaspora Muslim untuk mengupgrade wawasan keislamannya sesuai dengan konteks kehidupan di Jerman selama Ramadhan. Bahkan merekalah yang berperan menjaga tradisi keislaman nusantara untuk tetap bisa bertahan di Jerman. Sebagai contoh, ngaji kitab kuning yang senantiasa di gelar oleh PCI NU Jerman selama Ramadhan. Bahkan beberapa tahun lalu dimulai ngaji kitab Adabul Alim Wal Muta’allim karya Hadratus Syekh KH Hasyim A sy’ari dengan pengantar bahasa Jerman oleh Syaikah Abdulhaq Maskan dari Maroko.
Bagi masyarakat di Indonesia bisa jadi semua itu dianggap lumrah dan sederhana. Karena dengan mudah didapatkan dan tanpa perlu perjuangan ekstra. Namun bagi Muslim di Jerman itu semua adalah kemewahan yang bernilai tinggi sebagai bagian dari Berkah Ramadhan. (*)
Wahid Abdulrahman
(Ketua LTN PCI Nahdlatul Ulama Jerman 2021-2023
Pelajar di Frankfurt 2020-2024)