JATENGPOS.CO.ID, – Meriahnya Ramadhan di Indonesia sungguh berbeda dengan suasana ramadhan di Jerman. Setiap berdiskusi dengan teman dari luar Indonesia, saya sampaikan bahwa ramadhan di Indonesia terasa “festive”.
Karena bagi saya terasa seperti festival, ramai dan hampir semua orang merayakan. Non muslim di Indonesia pun tak jarang ikut memeriahkan saat momen berburu takjil dan mudik.
Setiap 8 Maret diperingati sebagai momen perayaan hari perempuan internasional. Tahun ini peringatan tersebut bersamaan dengan bulan Ramadhan.
Melihat kesibukan perempuan dalam momen Ramadhan di Indonesia dan di banyak negara muslim di dunia, seringkali ibulah penanggung jawab kerepotan pada momen sahur dan berbuka.
Saya pernah bertanya pada Kyai Ma’ruf Khozin, ketua ASWAJA Center Jawa Timur, yang rutin mengisi kajian online NU Jerman. Bagaimana nasib para ibu yang saat bulan Ramadhan sibuk menyiapkan sahur dan buka untuk keluarganya. Padahal dia juga ingin melakukan ibadah sunnah seperti suaminya dengan banyak tadarus, sholat-sholat sunnah.
Beliau menjawab, bahwa pahala ibu itu lebih banyak berlipat-lipat dibanding pahala suami yang beribadah sunnah untuk dirinya sendiri.
Pada momen yang lain, ketua Muslimat Jerman, Bu Nyai Chusnul menyampaikan berkali-kali dalam pengajian bahwa perempuan dalam keadaan haid yang ikhlas maka pahalanya sangat besar dan doanya lebih mudah dikabulkan.
Hingga seringkali mereka yang dalam keadaan haid diminta beliau memimpin doa bersama.
Kemudian saya juga belajar dari Dr. KH. Faqihudin Abdul Qodir (Kang Faqih) tentang Mubadalah dalam konsep relasi suami- istri. Dalam banyak kesempatan, Kang Faqih menjelaskan bahwa hubungan antara suami dan istri dalam Islam itu idealnya dalam perspektif kesalingan/mubadalah. Yaitu saling melindungi, saling mendukung, saling mencintai, saling memberi rasa aman, saling berusaha patuh dan taat pada Allah.
Lalu saya teringat pula tentang sebutan “garwo” dalam bahasa Jawa untuk menyebut pasangan dan sering dijabarkan sebagai sigaring nyowo, atau belahan jiwa.
Belahan jiwa berarti ada kesetaraan dan kemuliaan baik pada pihak suami atau istri. Sementara dulunya Islam dan budaya ketimuran kita sering jadi sasaran kritik feminisme dari perspektif barat, yang tak jarang memandang Islam dan budaya ketimuran membelenggu perempuan dengan hukum dan posisi perempuan. Khususnya dalam hubungannya dengan pasangan.
Dalam situasi sekarang, saya mengkritik feminisme barat secara lebih keras. Aktivis feminis kulit putih di barat sangat fasih mengecam kewajiban jilbab di Iran tapi hanya diam melihat penderitaan para perempuan dan anak-anak di Gaza dan Palestina.
Februari lalu, tentara Israel menyerang pengungsian Nur Shams di Tepi Barat dan membunuh banyak orang, salah satunya Sondos Jamal, seorang perempuan yang tengah hamil delapan bulan.
Pada 29 Januari 2024, Hind Rajab, seorang anak perempuan berusia lima tahun meninggal dalam mobil yang ditembak dengan 355 tembakan peluru oleh tentara Israel.
Mayoritas media besar barat dan aktivis feminisnya diam.
Saat ini dunia semakin berubah, kita perlu menyadari bahwa kolonialisme di era sekarang juga muncul dalam bentuk dikte atas definisi demokrasi, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender.
Nyatanya, kita sendiri punya konsep luhur garwo dalam budaya Jawa dan Islam sudah lebih dahulu memuliakan perempuan jauh sebelum peradaban barat menyadarinya. (*)
Nuriyatul Lailiyah:
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP, Mahasiswa Doktoral Goethe Universitat Frankfurt am Main
Aktivis Fatayat Jerman.