JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengatakan, pihaknya menemukan beberapa permasalahan terkait pelaksanaan Program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020.
Agung mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 terkait dengan pertanggungjawaban Pemerintah atas pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah yang diambil Pemerintah dalam menangani Covid-19.
“Dari hasil pemeriksaan atas LKPP tahun 2020 terdapat sejumlah permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan kelemahan Sistem Pengendalian Intern,” kata Agung dalam rapat paripurna DPR RI ke-21 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021, Selasa (22/6).
Ia melanjutkan, ada enam permasalahan yang ditemukan BPK, yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Pertama, mekanisme pelaporan kebijakan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 pada LKPP belum disusun.
“Kedua, realisasi insentif dan fasilitas perpajakan dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional Tahun 2020 minimal sebesar Rp 1,69 triliun tidak sesuai ketentuan,” ungkapnya.
Ketiga, pengendalian dalam pelaksanaan belanja Program Penanganan Pandemi dan Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar Rp 9 triliun pada 10 Kementerian/Lembaga tidak memadai.
Berikutnya, lanjut Agung, penyaluran belanja subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Non KUR serta Belanja Lain-lain Kartu Prakerja dalam rangka penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional belum memperhatikan kesiapan pelaksanaan program.
“Sehingga terdapat sisa dana kegiatan/program yang masih belum disalurkan sebesar Rp 6,77 triliun,” ucapnya.
Kelima, realisasi pengeluaran pembiayaan Tahun 2020 sebesar Rp 28,75 triliun dalam rangka penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional tidak dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan dan jadwal kebutuhan penerima akhir investasi.
“Keenam, pemerintah belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja atau pembiayaan PC-PEN pada 2020 di 2021 sebagai sisa dana SBN PC-PEN Tahun 2020, dan kegiatan PC-PEN 2020 yang dilanjutkan ditahun 2021,” kata Agung.
Disampaikan pula, pemerintah daerah (Pemda) belum masuk dalam kategori mandiri untuk membangun daerahnya.
Hal itu dilihat dari hasil tinjauan BPK atas kemandirian fiskal pemda dengan meliputi perhitungan indeks kemandirian fiskal dan evaluasi kualitas desentralisasi fiskal pada 503 pemda.
“Sebagian besar Pemda (443 dari 503 Pemda atau 88,07 persen) masuk ke dalam kategori Belum Mandiri,” katanya.
Ia melanjutkan, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pemda masih sangat tergantung pada dana transfer daerah untuk membiayai belanja di masing-masing daerah.
Berikutnya, hasil laporan BPK juga menunjukkan bahwa mayoritas Pemda yaitu 468 dari 503 Pemda atau 93,04 persen tidak mengalami perubahan status/kategori kemandirian fiskalnya sejak 2013, bahkan sampai adanya pandemi di tahun 2020.
“Kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri masih belum merata,” ucapnya.
Selain itu, Agung menuturkan bahwa daerah bukan penerima dana keistimewaan/dana otonomi khusus memiliki proporsi status indeks kemandirian fiskal (IKF) lebih baik dibandingkan daerah penerima.
“Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan daerah pada dana transfer dari pusat masih tinggi karena dana keistimewaan/dana otonomi khusus merupakan bagian dari dana transfer,” terangnya.(kmp/udi)