JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG– Tragedi mahasiswi Kedokteran meninggal bunuh diri kembali terjadi. Kali ini, mahasiswi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang diduga bunuh diri karena mengalami perundungan (bullying) dari seniornya. Korban meninggal disebabkan suntikan obat penenang melebihi dosis.
Korban diketahui merupakan seorang dokter yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Undip. Korban bernama dr. Aulia Risma Lestari (30). Polisi yang melakukan penyelidikan, menemukan sejumlah petunjuk, korban mengakhiri hidup dengan menyuntikkan obat penenang, diduga karena mengalami perundungan.
Kapolsek Gajahmungkur jajaran Polrestabes Semarang, Kompol Agus Hartono menyebutkan berdasarkan catatan diare korban yang ditemukan di kamar kos korban, salah satunya berisi keluh kesah korban, beratnya menjadi mahasiswi kedokteran dan menyinggung urusan dengan seniornya.
Disebutkan, korban kemungkinan sudah berkomunikasi dengan ibunya karena melihat buku hariannya merasa berat, pelajarannya berat, dengan senior-seniornya juga berat.
“Ibunya memang menyadari anak itu minta resign, sudah nggak kuat. Sudah curhat sama ibunya, satu mungkin sekolah, kedua mungkin menghadapi seniornya, seniornya itu kan perintahnya sewaktu-waktu minta ini itu, ini itu, keras,” sambungnya.
Pasca-ditemukan meninggal dunia, kedua orangtua korban dari Tegal datang ke Semarang dan mengambil jenazahnya. Jenazah tidak dilakukan autopsi. Korban diketahui merupakan dokter ASN di Tegal yang tengah menempuh PPDS Program Studi (Prodi) Anestesi Undip.
Korban diketahui merupakan dokter ASN di Tegal yang tengah menempuh PPDS Program Studi (Prodi) Anestesi Undip. Polisi menyebut yang bersangkutan sudah menempati kos di Lempongsari sekitar 1 tahun.
Menindaklanjuti adanya dugaan perundungan di Prodi Anestesi Undip, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril mengatakan, meski pembinaan dan pengawasan PPDS menjadi tanggung jawab Undip, Kemenkes tidak bisa lepas tangan.
Hal itu karena korban melakukan pendidikan di lingkungan RS Dr Kariadi sebagai unit dari Kemenkes RI.
“Sebagai unit dari Kemenkes, RS Dr Kariadi mengambil tindak tegas dan cepat dengan menghentikan prodi Anestesi PPDS FK Undip,” kata Syahril, saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (15/8).
Saat ini, Kemenkes juga sudah berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim sebagai pembina Undip dan Dekan FK Undip untuk melakukan investigasi.
Lebih lanjut, Syahril mengungkapkan alasan Kemenkes RI menyetop prodi Anestesi PPDS FK Undip untuk sementara waktu.
“Penghentian sementara kegiatan PPDS Anestesi Undip di RS Dr Kariadi untuk memberikan kesempatan investigasi dapat dilakukan dengan baik termasuk potensi adanya intervensi dari senior atau dosen kepada juniornya serta memperbaiki sistem yang ada,” terang Syahril, dilansir dari kompas.
Ia juga mengatakan bahwa tim Itjen Kemenkes sudah mendatangi RSUP Dr Kariadi untuk melakukan investigasi terkait dugaan tindak korban mengakhiri hidupnya.
Pasalnya, ada dugaan bahwa korban menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya karena mengalami perundungan.
“Investigasi memastikan apakah ini ada unsur bullying atau tidak. Mudah-mudahan dalam seminggu sudah ada hasilnya,” jelasnya.
Investigasi dilakukan mencakup kegiatan korban selama di RS Dr Kariadi. Apabila dalam investigasi ditemukan bukti adanya tindak bullying kepada korban, Kemenkes akan bersikap tegas dengan mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) pelaku.
“Kemenkes tidak sungkan melakukan tindakan tegas seperti mencabut SIP dan STR bila ada dokter senior yang melakukan praktek bullying yang berakibat kematian,” tegas Syahril.
Diberitakan sebelumnya, seorang mahasiswi Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bernadette Caroline Angelica (21), ditemukan tewas di dalam mobil dengan kondisi kepala terbungkus plastik di halaman parkir Apartemen Royal Bisnis, Tambak Oso, Sidoarjo, Minggu (5/11/2023) lalu.
Plastik itu dilakban pada bagian leher. Ditemukan juga tabung berisi helium di dalam mobil. Tabung itu mempunyai slang yang ujung satunya dimasukkan ke plastik yang menutupi kepala korban. Diduga korban meninggal karena menghirup gas helium tersebut.
Polisi juga menemukan dua surat wasiat yang diduga ditulis korban. Dua surat yang ditulis dalam bahasa Inggris itu berisi curahan hati korban kepada keluarga hingga sahabat tentang keputusasaan menghaapi kenyataan hidup.
Suntikkan Obat Penenang
Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono dalam keterangan kepada wartawan menjelaskan korban ditemukan dalam kamar kos di Kelurahan Lempongsari, Semarang, Senin (12/8/2024) pukul 23.00 WIB. Penemuan jenazah korban terjadi setelah sang pacar curiga tak bisa menghubunginya.
Kompol Agus menyebut berdasarkan keterangan yang dihimpun, kecurigaan kondisi korban berawal dari kekasihnya yang berulangkali menelpon tapi tidak direspons. Kamar kos terkunci dari dalam.
“Teleponnya dari pagi (pacarnya) tapi nggak diangkat-angkat, padahal berdering (notifikasi di WhatsApp),” lanjut Kapolsek.
Kekasih korban kemudian meminta tolong temannya yang di Semarang untuk mengecek kos lainnya yang berlokasi di wilayah Tembalang. Namun, kondisinya kosong.
Akhirnya di kos Lempongsari itu, bersama ibu kos setempat, coba dibuka dengan kunci cadangan namun gagal. Baru setelah memanggil ahli kunci, pintu bisa terbuka dan kondisi korban sudah meninggal dunia. Setelah dilakukan olah TKP, melibatkan dokter, Kompol Agus mengatakan penyebab kematiannya adalah obat penenang yang disuntikkan sendiri.
“Saat ditemukan, wajah korban kebiruan dengan posisinya miring seperti orang tertidur. Mukanya biru-biru sedikit sama pahanya, seperti orang tidur,” ujarnya.
Didapat dari keterangan dokter, obat yang disuntikkan korban merupakan pelemas otot tapi seharusnya lewat infus.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Moh Adib Khumaidi, mengatakan pihaknya menghormati proses hukum terkait kasus tewasnya mahasiswi PPDS Undip itu. Namun dia menekankan pentingnya pendampingan mental.
“PB IDI menghormati proses penyelidikan yang masih berlangsung oleh aparat yang berwenang. Sementara itu, kami ingin menekankan pentingnya dukungan kesehatan mental selama pendidikan,” kata Adib dalam keterangan, dilansir dari detikcom, Kamis (15/8).
“Kami mendorong pembentukan Pusat Trauma dan evaluasi kesehatan mental secara berkala untuk memastikan bahwa mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan kedokteran dan spesialis menerima perawatan dan dukungan yang diperlukan,” lanjutnya.
Selain itu, PB IDI meminta masyarakat tidak membuat spekulasi tentang penyebab insiden tersebut hingga penyelidikan selesai.
“Kami percaya bahwa dengan bekerja sama, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan lebih mendukung bagi mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan kedokteran dan spesialis. Mari kita bergandengan tangan untuk mencegah insiden seperti itu di masa mendatang,” tutur Adib.
Punya Problem Kesehatan
Fakultas Kedokteran (FK) Undip Semarang telah memberikan klarifikasi ke Kemenkes perihal surat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan tentang Penghentian Sementara Program Studi Anastesi di perguruan tinggi tersebut.
“Berkaitan dengan surat Dirjen Yankes Nomor TK.02.02/D/44137/2024, tim dari FK Undip dan RSUP Kariadi Semarang telah menyampaikan klarifikasi tentang hal-hal yang dimaksud,” kata Manajer Layanan Terpadu dan Humas Undip Semarang Utami Setyowati di Semarang, Kamis (15/8).
Menurut dia, Undip siap berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk penanganan lebih lanjut. Ditjen Yankes Kementerian Kesehatan menerbitkan surat Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anastesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang.
Menanggapi adanya dugaan perundungan menimpa korban, Rektor Undip Prof Suharnomo memberikan keterangan kepada pers. Pihak kampus justru menyebut almarhumah mempunyai problem kesehatan yang dapat mempengaruhi proses belajar yang sedang ditempuh.
“Namun dengan menjunjung tinggi nilai-nilai konfidensialitas medis dan privasi almarhumah, kami tidak dapat menyampaikan detail masalah kesehatan yang dialami selama proses pendidikan,” sebut Prof Suharnomo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8).
Selain itu, Rektor menepis dugaan meninggalnya korban berkaitan dengan dugaan perundungan yang terjadi.
“Dari investigasi internal kami, hal tersebut tidak benar. Almarhumah merupakan mahasiswi yang berdedikasi dalam pekerjaannya,” sambungnya.
Pengelola Pendidikan Program Studi Anestesi menyikapi problem kesehatan yang dialami almarhumah dengan memantau secara aktif perkembangan kondisi yang bersangkutan selama proses pendidikan.
Berdasarkan kondisi kesehatannya, almarhumah sempat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Namun karena korban adalah penerima beasiswa sehingga secara administratif terikat dengan ketentuan penerima beasiswa, sehingga almarhumah mengurungkan niat tersebut.
“Kami sangat terbuka dengan fakta-fakta valid lain di luar hasil investigasi yang telah kami lakukan, kami siap berkoordinasi dengan pihak manapun untuk menindaklanjuti tujuan pendidikan dengan menerapkan zero bullying di Fakultas Kedokteran Undip,” ujarnya.
Sementara itu, beredar pesan berantai tentang beratnya PPDS Anestesi Undip di media sosial dan menimbulkan keprihatinan. Dalam pesan yang beredar disebutkan, bahwa beban kerja PPDS Anestesi di RS Kariadi terlalu berat.
“Jam kerja normal tanpa giliran jaga adalah: sekitar 18 jam/hari. Masuk jam 6 pagi, pulang jam 12 malam. Kalau bisa pulang jam 11 malam artinya pulang cepat. Tidak jarang harus pulang jam 2 atau 3 pagi. Hari berikutnya sudah harus standby lagi jam 6 pagi di RS. Ini berlangsung terus menerus selama masa studi sekitar 5 tahun,” tulis pesan yang diterima, dikutip dari harianmassa, Kamis (15/8).
Selanjutnya, jika mendapat giliran jaga, maka jaga minimal 24 jam dan dapat prolonged hingga 5-6 hari tidak bisa pulang dari RS.
“Dikarenakan sering kali PPDS harus melanjutkan operasi yang terus sambung-menyambung melebihi giliran jaganya. Jumlah operasi di RS Kariadi sangat tinggi, bisa 120 pasien/hari,” sambungnya.
Dilanjutkan, semua beban kerja bius pasien, dilakukan oleh PPDS.
“Lamanya jam kerja yang terus menerus ini tidak pernah dianggap tidak wajar. Selama ini bahkan dianggap sebagai keunggulan UNDIP dibandingkan universitas lainnya, di mana residen dianggap bisa dapat kesempatan praktik lebih luas,” terangnya.
Lebih lanjut, pesan ini juga diteruskan kepada Kemenkes agar dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan atas kasus yang sedang viral menimpa dr Aulia Risma Lestari.
“Mohon izin memberi masukan & memohon arahan Bapak agar bisa dilakukan: Audit menyeluruh untuk mencegah terjadinya korban PPDS lainnya. Menambah jumlah dokter anestesi,” tukasnya.
Diduga, pesan yang berasal dari peserta PPDS Anestesi Undip inilah yang menjadi dasar bagi pihak Kemenkes mengambil putusan. (dbs/dtc/muz)