31.1 C
Semarang
Senin, 4 Agustus 2025

Kotabaru Heritage Film Festival Kembali Digelar, Usung Tema Film Sebagai Ruang Kritik & Negosiasi Budaya

JATENGPOS. CO. ID, JOGJAKARTA- Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) akan kembali hadir pada tanggal 7-9 Agustus 2025 di Kompleks SMA Negeri 3 Yogyakarta. Di tahun ketiga penyelenggaraannya, KHFF akan hadir dengan tema “Film sebagai Ruang Kritik dan Negosiasi Budaya”, dengan tetap menempatkan Warisan Budaya sebagai obyek yang bukan hanya sebagai objek mutlak yang harus selalu dilestarikan. Tetapi juga sebagai medan tafsir yang bisa dan seharusnya selalu bisa dipertanyakan.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta Yetti Martanti mengatakan, KHFF ini menjadi ruang dalam memberikan informasi dari nilai-nilai budaya luhur tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di seluruh Republik Indonesia.

Tercatat, pada KHFF tahun ketiga ini ada pendaftar 158 film dan terpilih 22 film yang akan ditampilkan dan tersebar dari berbagai daerah di Indonesia. Seperti dari Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, hingga Papua.

“Film ini menjadi ruang ataupun medium yang sangat tepat untuk bisa memberikan informasi terkait dengan nilai-nilai budaya atau apapun yang kemudian menjadi keinginan dari pemerintah ataupun masyarakat, dalam mengkomunikasikan ataupun memberikan informasi kepada masyarakat. Karena kalau kita bicara film, kan film itu secara naratif dan visual lebih mudah diakses, dan melalui film bisa menjelaskan dengan lebih jelas,” kata Yetti.

Direktur Festival KHFF 2025 Siska Raharja mengatakan, tema besar dalam KHFF tahun ketiga ini merupakan rangkaian dari pelaksanaan KHFF sebelumnya. Di mana warisan budaya di balik keindahan-keindahannya, memiliki banyak sekali sisi-sisi kritis yang kompleks dengan perkembangan sejarah di Indonesia.

Baca juga:  Waaah... BTS Bertemu Coldplay di New York Jelang Peluncuran 'My Universe'

Warisan budaya lanjut Siska, bukan hanya sekadar cerita namun tentang bagaimana nantinya keindahan ini dapat dinikmati generasi yang akan datang.

“Warisan budaya bukan sesuatu yang kaku, bukan hanya untuk dikenang. Ia harus digugat, diuji ulang, bahkan diperbarui. Film dalam konteks ini bisa menjadi lensa kritis untuk membaca ulang masa lalu, dan sekaligus menegosiasikan masa depan,” kata Siska.

Kurator Film KHFF 2025 Suluh Pamuji menjelaskan, KHFF menerima 158 submisi film dari berbagai daerah di Indonesia dan sejumlah negara. Dari jumlah tersebut, 22 film hasil seleksi submisi terpilih untuk ditayangkan dalam program kompetisi, selain itu terdapat 8 film hasil kurasi untuk ditayangkan pada program non-kompetisi.

Dalam program kompetisi, festival menghadirkan empat penghargaan tematik; Mahaditya Award, untuk film independen yang menyoal warisan budaya secara kritis; Purwaseswa Award, untuk karya pelajar yang mengangkat isu kebudayaan lokal; Karyanagri Award, untuk film produksi pemerintah pusat bertema ekspresi budayanasional; dan Sahasrakarya Award, bagi film dukungan pemerintah daerah yang merepresentasikan sudut pandang lokalitas.

“Kami tidak hanya mencari film yang estetis, tapi juga yang berani membuka ruang tafsir baru terhadap warisan budaya, entah sebagai subjek kritik, atau sebagai cara berpikir dalam melihat dunia,” kata Suluh.

Sedangkan pada Program non-kompetisi menyajikan dua fokus utama. Yakni, Indonesian Film Heritage, dengan pemutaran dua karya penting: Turang (1957) karya Bachtiar Siagian yang baru ditemukan, dan Gowok (2025), film kontemporer karya Hanung Bramantyo tentang tubuh dan tradisi. Serta, International Film Heritage, yang tahun ini menghadirkan kolaborasi dengan Save Myanmar Film Archive dan salah satu kurator dari Asia Tenggara.

Baca juga:  Purwacaraka, Apresiasi Generasi Penyanyi Era Digital

Pada rumpun program non-pemutaran, tiga sesi Public Lecture menjadi sorotan yaitu, Merebut Hak Atas Ingatan: Film, Arsip, dan Solidaritas Asia Tenggara, bersama Thaiddhi (Myanmar); Membaca Turang, Mewariskan Ulang: Jejak Semangat Asia-Afrika dalam Sinema Indonesia, bersama Wildan Sena Utama & Dyna Herlina Suwarto; dan Suara Layar Indonesia: Mendengarkan Warisan Sinema dari Rupa dan Suara, sesi lintas arsip, musik, dan bunyi film bersama Erie Setiawan, Andika Wahyu, dan Ahmad Mahendra.

Bersama Rimbun Project, KHFF menghadirkan workshop animasi dan rotoscope bertajuk “Tracing the Heritage” yang terbuka untuk publik. Workshop tersebut mengajak publik mewarnai bingkai-bingkai gerak tari yang dicetak secara manual. Hasilnya akan dirangkai dan dialihmediakan menjadi karya animasi kolektif. Program ini merayakan kolaborasi lintas media seni dan membuka
ruang partisipasi kreatif dalam merespon warisan budaya visual secara hidup dan menyenangkan.

Tak hanya ruang akademik dan sinematik, KHFF juga menghadirkan program-program komunitas yang membumi seperti; Layar Kobar, layar tancap yang dilaksanakan pada malam hari di kawasan SMAN 3 Yogyakarta (Padmanaba); Pasar Kobar, kolaborasi jajanan tempo dulu dan suasana pasar malam; serta Catatan Sinema #2: Suara Layar Indonesia, hasil kerja sama dengan Lokananta yang menampilkan lanskap bunyi, dialog, dan ilustrasi musik dari sejarah sinema Indonesia. (has/jan)


TERKINI

Rekomendasi

Lainnya