JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA– Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat mengingatkan warga AS untuk tidak bepergian ke Lebanon karena meningkatnya ketegangan antara Hizbullah dan Israel.
“Jika Anda berada di Lebanon, bersiaplah untuk berlindung di tempat jika situasinya memburuk. Kedutaan Besar AS sangat menganjurkan warga AS yang sudah berada di Lebanon Selatan, dekat perbatasan dengan Suriah, dan/atau di permukiman pengungsi untuk meninggalkan negara itu,” demikian pernyataan Deplu AS, dilansir Al Arabiya, Kamis (1/8/2024).
Peringatan itu muncul beberapa jam setelah Hizbullah mengumumkan tewasnya salah satu komandan paling seniornya akibat serangan udara Israel di jantung pinggiran selatan Beirut pada Selasa malam waktu setempat.
Departemen Luar Negeri AS juga menaikkan imbauan perjalanan Israel utara ke Level 4 dan menyarankan warga untuk menghindari perjalanan dalam jarak 2,5 mil dari perbatasan Lebanon dan Suriah.
Sebelumnya, Hizbullah telah berjanji untuk membalas serangan Israel yang menewaskan komandan militernya. Israel menyatakan serangan itu sebagai respons atas serangan roket akhir pekan lalu, yang menewaskan 12 anak-anak dan remaja di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel. Pejabat-pejabat pemerintah Israel dan Amerika Serikat menuduh Hizbullah mendalangi serangan tersebut. Namun, Hizbullah membantah tuduhan tersebut.
Beberapa maskapai penerbangan telah membatalkan atau menyesuaikan penerbangan mereka dari dan ke Lebanon. Maskapai AS, United Airlines mengumumkan bahwa mereka telah membatalkan penerbangan hariannya dari AS ke Tel Aviv, Israel karena situasi keamanan.
“Warga negara AS di Lebanon harus menyadari bahwa petugas konsuler dari Kedutaan Besar AS tidak selalu dapat bepergian untuk membantu mereka,” demikian peringatan Deplu AS yang dirilis pada hari Rabu (31/7) waktu setempat.
Seperti dilansir dari detikcom, serangan yang menewaskan salah satu petinggi Hamas, Ismail Haniyeh di Iran, diprediksi mampu memicu perang di kawasan Timur.
Hal itu disampaikan oleh Analis Geopolitik Timur Tengah Dina Sulaeman dalam sebuah pernyataan pada Rabu (31/7).
Dia mengaku terkejut dengan kematian Haniyeh, terlebih diumumkan tak lama setelah ada laporan bahwa salah satu komandan tertinggi Hizbullah, Fuad Shukr diklaim telah tewas akibat serangan Israel di Beirut hari Selasa (30/7).
Beberapa bulan lalu, Iran juga kehilangan presiden mereka, Ebrahim Raisi dalam sebuah kecelakaan pesawat di daerah perbatasan.
“Dengan demikian tokoh-tokoh yang ada di garis depan perlawanan terhadap Israel atau disebut act of resistance betul-betul mengalami serangan yang luar biasa,” ungkap Dina.
Terkait pelaku pembunuhan Haniyeh, Dina memiliki dugaan kuat kejahatan itu dilakukan oleh Dinas Intelijen Rahasia Israel Mossad.
“Asumsi terkuatnya pelakunya adalah Mossad karena karena Israel adalah pihak yang diuntungkan dari tokoh-tokoh yang syahid ini,” ujarnya.
Dina memiliki kekhawatiran insiden itu akan memicu perang regional karena saat dibunuh, Haniyeh merupakan tamu yang diundang menghadiri acara pelantikan presiden terpilih Iran, Masoud Pezeshkian.
“Dampaknya, saya khawatir ini akan memicu perang regional karena dia adalah tamu VVIP di sebuah negara Iran,” ungkapnya.
Melihat bagaimana Hizbullah juga telah bersumpah untuk membalaskan kematian tokoh pentingnya, menurut Dina, aksi saling balas sangat mungkin terjadi.
“Sehingga saya pikirkan terjadi serangan balasan baik dari Hizbullah maupun Iran tinggal menunggu waktu,” kata Dina.
Menurut Dina aksi balasan itu harus dilakukan karena jika tidak, Iran dan Hizbullah akan mempertaruhkan hal yang sangat besar yakni penurunan spirit perlawanan terhadap Israel.
“Saya pikir pertaruhannya sangat besar seandainya Iran maupun Hizbullah tidak melakukan pembalasan karena berdampak pada spirit perlawanan terhadap Israel,” paparnya.
Kendati demikian, Dina menilai serangan itu tidak dilakukan secara asimetris atau negara melawan negara melainkan melibatkan intelijen rahasia seperti yang dilakukan Israel di Iran dan Lebanon. (dtc/muz)