JATENGPOS.CO.ID, BLORA – Namanya pak Untung. Jika ada pengendara yang nerobos palang kereta langsung dibentak-bentak. Dimarah-marahi. Padahal dia tidak kedua punya tangan.
Itulah pak Untung. Seorang difabel yang setiap hari menjadi sukarelawan. Menjaga pintu palang kereta suka rela. Di lampu merah palang kereta daerah Wulung, kecamatan Randu Blatung, kabupaten Blora. Padahal Pak Untung tidak punya tangan. Badanya kecil. Pundak bagian kiri sama sekali tidak ada tangan. Yang kanan ada bentuk tangan mungil. Tetapi tidak lebih 15 cm. Tanpa jari. Hanya kakinya yang normal.
Orang-orang yang setiap hari lewat di daerah itu sudah hafal. Dengan suara yang keras dan peluit yang melengking, pak Untung akan teriak menyemprit pengendara yang menerobos palang kereta. Jika ngeyel akan dimarah-marahi sampai mundur dari pintu kereta.
“Saya tidak peduli mereka tersinggung atau tidak. Soalnya kalau ada yang sampai ditabrak kereta, nanti yang disalahkan pak polisi saya,”kata Untung Joko Priyono, nama lengkap pak Untung.
Saat Jateng Pos datang ke rumahnya 11 Maret lalu, Pak Untung baru saja pulang dari tugasnya. Ditemani bapak dan ibunya, pria 50 tahun itu menerima dengan ramah. Beda dengan perangainya saat di palang kereta. Yang suka marah-marah.
Rumah kuno sederhana itu berada di Dusun Nguleng, Desa Sambungwangan, kecamatan Randu Blatung, kabupaten Blora. Persis di depan Balai Desa Sambungwangan, di seberang jalan.
“Monggo Mas pinarak di tempat seadanya. Ini gubuk orang tua saya, keadaan rumah ndeso Mas,”kata pria yang suka tidak berbaju ketika di rumah itu.
Sudah 32 tahun, Pak Untung menjadi petugas palang kereta itu. Tidak digaji karena suka rela. Dia hanya mendapatkan uang dari pengendara yang lewat. Kadang Rp 100 ribu kadang Rp 50 ribu sehari.
“Saya berangkat jam 5 pagi, kadang duhur sudah pulang karena panas. Dapat uang dari pemberian suka rela orang yang lewat,”katanya.
Karena tidak punya kedua tangan, untuk bisa menerima pemberian uang pengendara yang lewat, Pak Untung membuat saku besar di bajunya. Kantung lebar di bagian dada itu akan didekatkan pengendara yang memasukkan uang.
Untuk berangkat dan pulang, pak Untung sering diantar orang-orang yang peduli denganya. Dibonceng motor atau naik mobil orang yang lewat.
“Sering saya dibonceng pak polisi atau pak tentara diantar pulang sampai rumah. Karena gak ada yang ngantar. Begitupun kalau barangkat, saya berdiri di depan rumah ada yang mbarengi,”imbuhnya.
Jarak palang kereta Wulung tempatnya bertugas dengan rumahnya sekitat 5 kilometer. Rumahnya masuk gang sejauh 2 km menyusuri jalan kampung. Kalau ditempuh dari Kota Blora sejauh 34 km, ke arah selatan atau arah kabupaten Ngawi Jawa Timur. Melewati hutan jati yang sepi dengan jalanan sesekali bagus sesekali rusak.
Atas kepedulianya menjaga palang kereta itu, Pak Untung sudah dua kali mendapat penghargaan dari Satlantas kabupaten Blora. Dia dijuluki difabel pahlawan palang kereta. Atas jasanya banyak orang yang selamat dari kecelakaan kereta.
“Saya dua kali diberi penghargaan Poltas Blora. Sekali diundanh ke Polres, sekalinya lagi pak polisi Blora datang ke rumah memberi penghargaan,”kata Pak Untung.
Sebelum jadi petugas palang kereta, Pak Untung dulu adalah makelar penumpang di terminal Cepu. Dia juga pernah menjadi kernet bus tanggung Blora-Cepu.
“Pas saya ngelamun diterminal, saya ketemu pak polisi lalu ditawari pulang njaga palang kereta suka rela. Akhirnya saya pulang Randu Blatung jaga palang kereta sampai sekarang,”imbuhnya.
Sebagai pria sejati, pak Untung juga pengin punya istrik dan anak. Tetapi hingga sekarang belum kesampaian. Pengin pacaran tapi belum ada yang mau. Kenapa? Ikuti sambungan berikutnya. (bersambung)