JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Belum lama ini public Jawa Tengah dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual di sejumlah daerah. Seperti di Kabupaten Batang. Bahkan kasus ini menyita perhatian Gubenur Jateng Ganjar Pranowo yang turun langsung ke Batang.
Tentu saja kasus ini mengundang keprihatinan banyak pihak. Salah satunya adalah DPRD Jateng. Lembaga wakil rakyat ini prihatin dengan maraknya kasus kekerasan seksual di Jawa Tengah. Untuk itu DPRD Jateng mendorong agar persoalan ini mendapatkan perhatian serius.
Demikian disampaikan Wakil Ketua DPRD Jateng Heri Pudyatmoko saat dimintai tanggapan terkait kasus tersebut. Menurut Heri Pudyatmoko perlu langkah serius untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang korbannya justru banyak anak dibawah umur.
“Tentu ini sangat memprihatinkan, perlu ada langkah-langkah yang konkret dan menyeluruh agar kasus ini bisa diselesaikan hingga tuntas,” katanya. Apalagi berdasarkan informasi yang masuk ke dewan, hingga Desember tahun 2022, tercatat ada sekitar 1.249 aduan terkait kekerasan seksual yang terjadi di Jawa Tengah. Dari kasus yang dilaporkan, sebagian besar terjadi di lingkungan pendidikan, baik formal maupun non formal.
“Urgensi ini mendorong untuk dilakukan penanganan serius, yang tidak hanya memangkas, tetapi juga membawa dampak yang transformatif,” kata Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah, Heri Pudyatmoko. Dia menerangkan, maraknya kriminalitas seperti kekerasan seksual, harus ditangani dengan langkah yang strategis dan menyentuh hingga ke akar.
“Adanya aduan tersebut membuktikan bahwa kasus itu tidak pernah termitigasi dengan sepenuhnya. Itu artinya, selama ini, respon yang diberikan lebih banyak hanya dalam tataran melaksanakan ketentuan berdasarkan sistem yang sudah terbentuk, dan itu sumbernya dari lama,” jelasnya.
Heri Pudyatmoko mengatakan, keseriusan dalam penanganan juga harus bersifat transformatif. Di mana terdapat relevansi antara sistem yang digalakkan dengan kondisi yang saat ini terjadi.
“Respon itu harus lebih strategis, yang mana terdapat dialektika antara peristiwa yang muncul dengan pisau penanganan yang digunakan. Ketajaman hukum ada, tidak dilihat dari seberapa berat hukuman yang dijatuhkan, tetapi sejauh mana hukum itu bisa memahami relevansi dengan akar permasalahannya,” terangnya.
Ia juga menuturkan, banyaknya kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan menandakan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat untuk menumbuhkan diri, justru menjadi ruang paling tidak aman yang dimiliki.
Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di Semarang, di mana seorang siswi SD dilecehkan oleh penjaga sekolahnya. Dalam kasus lain di Batang, guru ngaji melakukan pelecehan terhadap puluhan muridnya. Termausk kasus-kasus lain yang ada maupun tidak ada di deretan pemberitaan media.
Menurut Heri, terjadinya kasus-kasus tersebut tidak terlepas dari bagaimana peran “pendidikan” berlangsung selama ini. Mulai dari sistem yang berlaku, karakter pendidikan yang diberikan, kurikulum serta sirkulasi dan perubahan budaya dalam lingkungan sekolah.
“Terutama setelah berlangsungnya pembatasan akibat pandemi, ada banyak aspek yang berubah dan memang dibutuhkan keadaan yang lebih transformatif, mulai dari aturan hingga cara mengimplementasikannya,” kata Heri.
Perhatiannya tidak hanya berdasarkan pada apa yang disorot media. Melainkan, harus ada perhatian dari para pemangku jabatan serta lembaga terkait, dalam aspek dasar dari berkembnganya peristiwa serupa.
“Di masa yang sudah transformatif ini, hukum yang diberlakukan juga harus jauh lebih mengedepankan basis risiko, baik dalam tataran yang pragmatis maupun risiko yang bersifat melekat hingga di masa yang akan datang,” paparnya.
Ia mengatakana bahwa pendampingan secara psikologis untuk korban memang hal utama, tatapi lebih utama lagi jika pendampingan itu dilakukan bahkan sebelum kasus terjadi. Misalnya, penguatan nilai karakter di lingkungan sekolah maupun ruang publik secara lebih luas.
“Pendidikan karakter memang sudah ada dari kurikulum lama, tapi yang perlu dipernaharui yaitu terkait pemahaman implementasinya. Karakter sekolah di masa sekarang dengan masa dulu tentu berbeda. Selain itu, pendidikan ini tidak hanya berbatas nilai dalam sosial, tetapi juga pengetahuan terkait cara menjaga diri dari ancaman yang semakin kompleks bentuknya,” katanya.
Kejahatan yang berkaitan dengan kekerasan seksual, lanjut Heri, tidak dikendalikan hanya dengan menegaskan payung hukum. Tetapi juga perlu penanamam pengetahuan tentang hukum serta nilai risiko dari kejahatan tersebut.
“Pencegahan sifatnya tidak pandang bulu, semua orang bisa jadi pelaku dan juga bisa jadi korban. Ini yang perlu diperhatikan serius, bagaimana mengedukasi masyarakat, baik di ruang sekolah maupun secara luas, bahwa hal tersebut sangat tidak pantas dilakukan. Terlebih itu mencerminkan moralitas manusia dari bangsa ini,” terangnya.
Heri Pudyatmoko meminta koordinasi dari semua pihak yang berwenang memberikan penanganan terkait kekerasan seksual, baik untuk pencegahan, pengobatan, maupun penghukuman, untuk tidak gentar mengupayakan mitigasi kasus kekerasan seksual.
“Khususnya yang ada di daerah, karena lebih dekat dengan masyarakat secara langsung, artinya memiliki kesempatan untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dari dasar. Namun wewenang lembaga yang dia atasnya juga tak kalah penting dalam hal peninjauan serta pembentukan peraturan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mampu membuat peristiwa itu berhenti,” tegas Heri. (anf/sgt)