JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Puro Mangkunegaran menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung gerakan inklusivitas bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Kota Solo. Dalam kegiatan Walk for Autism yang digelar oleh Junior Chamber International (JCI) Solo, KGPAA Mangkunegara X atau biasa disapa Gusti Bre menyatakan kebanggaannya bisa menjadi bagian dari acara yang membawa semangat kolaborasi dan kepedulian sosial tersebut.
“Saya senang sekali melihat kebersamaan antara teman-teman JCI, anak-anak, orang tua, dan para guru. Ini bukan sekadar acara seremonial, tapi langkah awal yang sangat berarti. Walau masih sederhana, semoga bisa menjadi cikal bakal acara yang lebih besar dan berdampak di tahun-tahun berikutnya,” ujar Gusti Bhre.
Mangkunegaran tidak hanya mendukung secara simbolis, tetapi juga membuka pintu bagi berbagai bentuk kegiatan kreatif dan edukatif di masa depan. Gusti Bre menegaskan bahwa Puro Mangkunegaran siap menjadi rumah bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar, berkarya, dan berkembang.
“Anak-anak ini memiliki talenta yang unik dan luar biasa. Kami di Mangkunegaran ingin memastikan mereka merasa diterima, nyaman, dan memiliki ruang untuk mengekspresikan diri. Tahun depan, kami bahkan merencanakan kegiatan seperti melukis, menari, latihan gamelan, hingga pameran karya anak-anak di lingkungan istana.” imbuhnya.
Ketua Panitia, William dari JCI Solo, menjelaskan bahwa acara ini tidak hanya berupa kegiatan jalan santai, namun juga rangkaian program kreatif sejak bulan April. Salah satunya adalah lomba desain yang hasil karyanya dijadikan merchandise resmi acara – mulai dari kaos, topi, hingga pin – seluruhnya didesain oleh anak-anak berkebutuhan khusus.
“Kegiatan ini adalah bentuk nyata dari apresiasi dan pemberdayaan. Diikuti 300 anak dengan 300 orang tua dari 9 yayasan dengan 50 guru. harapannya rutin digelar setiap tahun,” ungkap William.
Ketua Umum JCI Indonesia, Budiman, menyebutkan dua tujuan utama dari Walk for Autism. Pertama, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang autisme, dan kedua, mendorong lahirnya kebijakan serta fasilitas yang lebih ramah bagi penyandang disabilitas.
“Statistik WHO menunjukkan bahwa 1 dari 68 anak berpotensi berada dalam spektrum autisme. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum memahami ini, sehingga kurang bisa merespons dengan tepat. Melalui acara ini, kita ingin mengubah itu,” jelas Budiman.
Pengalaman dari pelaksanaan di kota lain seperti Bali, lanjut Budiman, membuktikan bahwa kegiatan seperti ini dapat membuka mata banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, akan pentingnya membangun fasilitas publik yang inklusif.
“Anak-anak penyandang disabilitas juga punya mimpi dan ingin beraktivitas layaknya anak-anak lainnya. Tugas kita adalah memastikan lingkungan mereka mendukung, dari fasilitas hingga sikap masyarakat.”
Dengan kolaborasi berbagai pihak, mulai dari lembaga sosial, sekolah, komunitas, hingga pemerintah dan istana Mangkunegaran, acara ini menjadi bukti bahwa inklusi bukan hanya wacana, tetapi bisa diwujudkan dalam aksi nyata.
“Saat ini JCI baru ada di 18 kota di Indonesia harapannya bisa ada di seluruh kota besar di Indonesia,” tandasnya.
Walk for Autism Solo 2025 bukan hanya sebuah acara, tetapi langkah awal menuju kota yang lebih inklusif, ramah, dan peduli pada keberagaman potensi warganya.(dea)









