Kisah Doktor jadi Pemulung di Blora ( Part 1/3 )

DOKTOR PEMULUNG: Dr. Soesilo Toer dengan motor bututnya yang setia menemani keliling mencari sampah. Foto: bejansyahidan/jatengpos

JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG –  Mendengar doktor jadi pemulung seolah tidak percaya. Tetapi itulah kenyataanya. Di Blora Jawa Tengah, seorang pria bergelar doktor, yaitu Dr. Soesilo Toer, setiap malam mencari sampah untuk dijual. Kok bisa?

Itulah yang dilakukan Dr. Soesilo Toer. Pria yang tinggal di Jln Sumbawa no 40 kelurahan Jetis kabupaten Blora, itu, setiap malam keliling kota. Mengais sampah untuk dibawa pulang.

Karena penasaran dengan kabar ini, Jateng Pos, Jumat (11/3/2022) lalu datang ke rumahnya di Blora. Di siang yang terik itu, doktor usia 86 tahun tersebut tertidur pulas di kursi tamu. Motor tua dengan keranjang sampah parkir di halaman rumah. Tumpukan sampah menggunung di tanah kosong depan rumahnya.

“Dari mana mas? Sini-sini duduk dulu, ada perlu apa,”sapa Pak Sus, panggilan akrab Dr Soesilo Toer yang terbangun dari tidurnya.


Orangnya ramah. Menerima siapa saja yang datang ke rumahnya. Tanpa ditanyapun, langsung bercerita seputar isi rumahnya. Banyak buku dan rak-rak majalah. Seperti perpustakaan. Itulah perpustakaan PATABA. Singkatan dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA). Perpustakaan di rumahnya. Isinya buku-buku karya Pram dan Pak Sus sendiri.

Ruangan rumah dan kamarnya luas. Atapnya tinggi. Temboknya tebal. Jendela besar. Halaman luas samping kiri dan kanan banyak tanaman. Itulah rumah pria bergelar doktor yang kini jadi pemulung itu. Tubuhnya kurus. Mukanya brewokan.

“Sekarang percaya kan kalau saya jadi pemulung. Lihat tuh tumpukan sampah di depan rumah,”ucapnya sambil tertawa.

Baca juga:  Desain Arsitektur Tempat Wisata dan Olahraga Blora Disayembarakan

Lalu dia berkisah. Bagaimana ceritanya sehingga menjadi pemulung. Pria yang fasih empat bahasaa itu bercerita, sejatinya dia adalah adik kandung sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan yang separo hidupnya di penjara orde baru karena buku-bukunya dituduh propaganda PKI. Terutama buku Bumi Manusia, yang ditulis selama di penjara pulau Buru.

Kata Pak Sus, pada masa pemerintahan Soekarno, dia bersama 9 bersaudara dari Blora hijrah ke Jakarta ikut Pram yang bekerja sebagai penulis buku dan editor majalah. Pak Sus yang kuliah di Universitas Indonesia (UI), setelah lulus lanjut sekolah ke Rusia dengan beasiswa pemerintahan Pak Karno. Hingga lulus doktor ilmu politik dan ekonomi.

Namun buntut tragedi G30S/65 berimbas kepadanya. Dia yang adik kandung Pramoedya Ananta Toer kena getahnya. Ikut dituduh PKI sehingga menjadi tahanan politik dan tidak bisa pulang hingga dua tahun.

Saat memaksa pulang tahun 1973, dia langsung ditangkap di bandara Jakarta. Lalu dijebloskan penjara 6 tahun tanpa peradilan. Selain dikaitkan adiknya Pram, dia juga dianggap pro PKI ketika mahasiswa Rusia mengadakan tahlilan tewasnya 7 jendral di Lubang Buaya, dia tidak datang.

“Padahal, saya tidak datang karena tidak diundang sehingga saya tidak tahu ada acara itu,”jelasnya.

Setelah dibui 6 tahun dan bebas, lalu pulang ke Blora Jawa Tengah. Menempati rumah masa kecil Pram di Jln Sumbawa no 40 Kelurahan Jetis Blora.

Karena dituduh mantan tapol PKI, gelar doktornya nganggur. Hingga akhirnya pilih jadi pemulung untuk bertahan hidup bersama istrinya. Satu anaknya kini sudah bekerja di Jogjakarta.

Baca juga:  Pemudik Mulai Berdatangan, Warga dan Relawan Giatkan Sterilisasi Lingkungan

“Padahal saya ditahan itu karena kerterlambatan memperpanjang paspor. Saya ditahan karena pelanggaran imigrasi ketika saya kuliah di Moskow. Begitu pulang saya ditangkap. Entah kenapa kok dikaitkan tuduhan PKI,”tanya doktor ilmu politik dan ekonomi jebolan Rusia ini.

Pria yang kini usia 86 tahun itu, setiap malam keliling Blora naik sepeda motor mencari sampah untuk dijual. Tanpa malu dia berangkat dari rumah jam 9 malam. Mengais sampah-sampah sisa toko, pasar, dan restoran. Semalam bisa sampai empat kali bolak balik mengambil sampah.

Esok paginya, sampah tersebut dipilah bersama istrinya. Ada plastik, kertas, dan botol. Semuanya dipilah-pilah dan laku dijual. Plastik per kilo Rp 1000, kerta Rp 1400, dan botol bisa Rp 5000.

“Saya jadi pemulung tidak malu. Karena saya sendiri sebetulnya rektor (ngorek-ngorek yang kotor),”katanya sambil terkekeh.

Dia juga mengaku jadi pemulung bukan
karena terpaksa akibat gelar doktornya yang tidak laku. Tapi karena jadi pemulung itu kenikmatan abadi. Pemulung juga menyelamatkan dunia.

“Jadi meskipun gelar saya doktor, saya happy saja jadi pemulung. Bagi saya pemulung itu kenikmatan abadi. Kalau Socrates (filsuf Yuani) bilang kematian adalah kenikmatan abadi, saya bilang pemulung adalah kenikmatan abadi,”sambungnya penuh semangat.

Nikmatnya dimana sebagai pemulung? “Loh, kalau malam hari hujan, saya malah turun ke jalanan. Ini saatnya saya dapat banyak sampah karena pemulung yang lain tidak ada. Itulah nikmatnya. Dapat sampah banyak,”imbuhnya.

Baca juga:  Duh... Ulah Oknum DPRD Ini Jangan Ditiru... Merancang Mimpi Blora 2021 Sambil Tidur

Karenanya, dia meminta kepada siapa saja jangan menghina pemulung. Selain pekerjaan halal yang menghasilkan uang, pemulung menyelamatkan bumi dari sampah.
“Bayangkan, di Blora sehari ada 50 pemulung, kalo sehari rata-rata dapat plastik 50 Kg, berapa setahun. Di Indonesia ada 1000 pemulung, kalo per orang 50 kg plastik, berapa setahun. Apa lagi sedunia, ada 5 jta pelumulung, berapa sampah plastik yang diselamatkan? Itu baru plastik, belum sampah lainya. Apa ini bukan penyelamat dunia?,”tanyanya serius.

Dia mengakui memang banyak yang menghinanya karena lulusan doktor hanya jadi pemulung. Tetapi salah satu dari orang yang menghina itu tetangganya. Yang pada saat punya gawe malah meminta dirinya mengangkuti sampah sisa hajatan.

“Hahaha..aneh kan. Menghina profesi pemulung tapi saat hajatan minta tolong saya ambilin sampahnya. Sampe bolak balik tiga kali saya. Itulah manusia asal omong saja.”

Dari hasil memulung sampah itu, dia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Jika ramai, semalam bisa dapat uang sampah Tp 100 ribu. Jika sepi yang Tp 60 ribu. Baginya itu sudah lebih dari cukup untuk hidup berdua bersama istrinya.

“Saya hidup di Blora sehari cuma 50 ribu bersama istri. Makan pecel cuma 3 ribu,”tambahnya.

Sampah yang didapat itu menurutnya tidak perlu dijual kemana-mana. Karena pembeli sampah sudah datang ke rumahnya setiap hari. Lalu, apakah Pak Sus yang bergelar doktor tidak pernah melamar jadi dosen? Pekerjaan apa yang dilakukan selain mencari sampah? Ikuti cerita di sambungan berikutnya. (bersambung)