JATENGPOS.CO.ID, SALATIGA – Bla ketika melintas di Jalan Patimura, kawasan Kauman Kidul, maka di sebelah timur jalan akan melhat tumpukan batu-batu besar. Namun bila dilihat secara kasat mata, batu itu memang sengaja disusun oleh manusia, bukan kebetulan atau faktor alam.
Di sela-sela batu itu ada pohon Beringin berdiameter sekitar 30 cm yang akarnya tertindih dan melilit bebatuan itu. Dibawah lokasi Watu Rumpuk ada persawahan. Tumpukan batu itu sudah melegenda di kalangan warga Salatiga dan sekitarnya.
Hingga kini tumpukan batu itu masih berdiri kokoh dan tidak ada yang berani mengusiknya karena dipercaya sebagai lokasi wingit yang ada penunggu tidak kasat mata.
Memang tidak ada catatan sejarah atau petunjuk tertulis yang menceritakan batu bersusun itu. Letak Watu Rumpuk juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Plumpungan yang akhirnya disepakati sebagai cikal bakal lahirnya Salatiga.
Karena tidak informasi tertulis tentang Watu Rumpuk, maka tidak sedikit yang menyimpulkan bahwa batu itu dulunya akan dibuat percandian ( bahan candi), mengingat letaknya di dekat Prasasti Plumpungan yang dulunya banyak ditemukan batu-batu candi. Ada juga yang mengatakan, bebatuan bersusun itu merupakan dolmen atau batu persembahan bagi penganut animisme dinamisme peninggalan nenek moyang.
Namun demikian menurut cerita turun temurun yang didapat oleh sesepuh Kauman Kidul, Karso Warsidi (91) keberadaan Watu Rumpuk tak lepas dari peran dua ulama yang berasal dari Mantingan, Jawa Timur. Dua ulama itu diminta oleh Wali Songo di Demak untuk ikut membantu pembangunan Masjid Demak.
Kedua sosok ulama yang tidak diketahui namanya itu pun melakukan perjalanan panjang dari Mantingan menuju Demak dengan berjalan kaki. Ketika sampai di Watu Rumpuk, kedua ulama itu pun saling bertanya apakah sudah dekat dengan Demak.
Karena bingung, salah seorang ulama itu pamit untuk mencari dataran tinggi. Ia menuju ke Gunung Payung, atau tepatnya bukit Payung, tidak begitu jauh dari lokasi mereka berdiri saat itu. “ Namun ulama yang satu tidak mau ikut ke Gunung Payung dan mengatakan tidak jauh-jauh ke bukit. Cukup disini ( Watu Rumpuk saat ini). Dengan kelebihan yang dimiliki, ia menunpuk batu-batu besar itu untuk pijakan agar posisinya bisa lebih tinggi,” kata Mbah Karso.
Setelah menumpuk bebatuan itu, ulama tersebut naik tumpukan yang paling atas untuk melihat Masjid Demak. Dengan kelebihan atau karomah yang dimiliknya, dari tumpukan baru itu ulama tersebut sudah bisa melihat Masjid Demak yang saat itu sudah berdiri.
” Setelah melihat Masjid Demak, ulama itu kemudian meminta temannya untuk mengurungkan niatnya ke Gunung Payung, karena Masjid Demak sudah bisa dilihat dari Watu Rumpuk. Setelah itu kedua ulama itu melanjutkan perjalananya menuju Demak. Begitu cerita turun temuran yang saya terima,” kata Mbah Karso.
Apakah Watu Rumpuk wingit? Mbah Karso mengatakan, saat ia masih remaja, batu yang dikeramatkan itu sering dipakai untuk perosotan anak-anak kecil bila musim hujan. “ Namanya saja anak kecil untuk mainan,” katanya.
Hanya saja, ia baru sekali menyaksikan kewingitan Watu Rumpuk. Diceritakan, sekitar tahun 1965, ada pekerja membangun jalan makadam ( batu yang ditata) di Jalan Patimura ( saat ini).
“ Kebetulan ada salah satu batu di Watu Rumpuk yang letaknya paling bawah terguling ke pinggir jalan. Oleh seorang pekerja, batu berdiamter sekitar 50 cm itu, ikut dipecah untuk makadam. Di godam pakai palu pecah, tapi yang memecah setelah pulang ke rumah kakinya lumpuh total. Itu pengalaman mistis Watu Rumpuk yang saya ketahui. Makanya tempat itu dianggap wingit hingga sekarang,” pungkasnya. (deb)