JATENGPOS.CO.ID, DEMAK – Banyak seluk beluk kehidupan yang bisa diselami dari sebuah pertunjukkan wayang kulit, terutama saat masa penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Budaya adiluhung ini digunakan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Inilah yang coba dilakukan pada malam kemarin di pendopo Kabupaten Demak. Sebuah pagelaran wayang kulit digelar dengan lakon Manunggaling Mustikaning Jagad (Wahyu Pancasila) dengan dalang Ki Sigit Ariyanto. Kegiatan yang diprakarsai H. Bowo Sidik Pangarso, SE, ini dihadiri HM. Natsir, Drs. H. Joko Sutanto, Kepala OPD, dan anggota PMRI RI Fraksi Golkar.
Bupati menyambut gembira diadakannya pagelaran wayang tersebut. Mengingat saat ini banyak budaya adiluhung yang sudah terkikis oleh budaya luar.
“Pagelaran ini memiliki misi pembinaan nilai luhur budaya bangsa melalui seni pewayangan. Terlebih lagi bila menengok kultur masyarakat Kabupaten Demak yang masih tinggi menghargai nilai-nilai budaya leluhur,” ujar bupati.
”Fakta sejarah menyebutkan bahwa Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa tidak lepas dari seni budaya wayang. Seni budaya wayang dan seni-seni bernafaskan budaya jawa sejak dahulu telah dijadikan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam,” tegas Natsir.
Dalam sambutannya, Bowo mengatakan bahwa kegiatan wayang kulit bagian dari program MPR RI yakni empat pilar kebangsaan, yang terdiri dari Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945.
”Bagaimana agar masyarakat mengerti dan dapat mewujudkan pancasila, karena pancasila lahir dari pidato Bapak Sukarno pada tahun 1945. Nilai – nilai pancasila digali dari budaya bangsa kita termasuk wayang kulit,” jelas wakil ketua Komisi VI DPR RI dari dapil Jateng ini.
Lebih lanjut Bowo yang juga Wakil sekretaris fraksi FPG MPR RI mengatakan, bahwa dirinya memilih Demak dikarenakan dirinya merupakan wakil rakyat untuk Kota Wali. Demak yang merupakan asal muasal dari Sunan Kalijaga memiliki cerita sendiri akan Pandhawa dengan jimat kalimasadanya.
Diceritakan oleh Bowo, bahwa pada suatu waktu Pandawa kehilangan jimat Kalimasada. kehilangan jimat ini artinya Pandawa lumpuh karena hilang kebijaksanaan dan kemakmuran, keangkaramurkaan timbul dimana-mana. Akhirnya Yudistira menjadi rantai, Nakula Sadewa menjadi padi dan kapas, Bima menjadi beringin, Arjuna menjadi Banteng, Kuntodewo menjadi bintang dan Semar menjadi burung garuda.
”Mereka melawan angkara murka dan terbentuklah Pancasila,” pungkas Bowo.(adi/sgt/mg8)