JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG– Terdapat sekitar 12 juta orang Uyghur yang mayoritas beragama Islam tinggal di Provinsi Xinjiang yang secara resmi dikenal dengan Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR). Mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri, yang lebih mirip dengan bahasa Turki, dan melihat diri mereka sebagai budaya dan etnis yang dekat dengan negara-negara Asia Tengah.
Upaya genosida budaya yang dilakukan Pemerintah China berlangsung sistematis, kampanye ini bertujuan memberantas ekspresi independen dan kebebasan orang Uyghur dengan bingkai tuduhan sparatisme dan ekstremisme agama. Tetapi tujuan tindakan China di Xinjiang jelas: untuk menyeragamkan orang Uyghur menjadi mayoritas China Han di negara itu, bahkan jika itu berarti menghapus identitas budaya dan agama mereka untuk selamanya.
Saat ini diperkirakan lebih dari 1.8 juta orang Uyghur ditahap di kamp-kamp, tujuannya sangat jelas adalah untuk menghapus ingatan mereka pada bahasa dan tata budaya Uyghur dan menggantikannya dengan rasa hormat yang dipaksakan kepada Partai Komunis China yang berkuasa dan tradisi penduduk mayoritas etnis Han.
Sejak 2016, puluhan kuburan dan tempat ibadah telah dihancurkan. Bahasa Uyghur telah dilarang di sekolah-sekolah Xinjiang demi bahasa Mandarin. Mempraktikkan Islam, agama Uyghur yang dominan, tidak dianjurkan sebagai “ tanda ekstremisme ”.
Sebuah ketakutan muncul bahwa budaya kelompok itu berada di bawah ancaman penghapusan. Sejumlah aktivis Uyghur di berbagai negara di luar China berusaha mempertahankan warisan leluhur mereka dengan berbagai cara, salah satunya dengan penerbitan buku ajar untuk diaspora Uyghur yang tersebar di berbagai negara di dunia.
Abduweli Ayup aktivis Uyghur yang tinggal di Bergen, Norwegia memilih berjuang melawan genosida dengan menerbitkan sejumlah buku ajar untuk mempertahankan budaya Uyghur. Pria kelahiran Kashgar, China 1973 ini tercatat telah menerbitkan 9 buku ajar yang didistribusikan ke berbagai negara untuk diaspora Uyghur.
Upaya penulisan buku ajar menurut Abduweli Ayub dilatarbelakangi oleh operasi pembakaran buku-buku berbahasa Uyghur oleh Pemerintah China di Xinjiang. “Saya mendapat ide ini karena di diaspora kami tidak memiliki buku teks. Saya menulis karena buku teks yang lebih besar dibakar dan dilarang. Orang-orang yang tinggal di luar, seperti saya, para sarjana yang tinggal di luar, bertanggung jawab untuk tetap melakukan itu. Bahkan suara kami dilarang di China. Tapi kita bisa menjadi suara orang-orang tak bersuara di luar China. Dan alasan lainnya adalah karena tidak ada buku pelajaran untuk anak-anak. Dan anak-anak di diaspora mempelajari buku teks yang diedit di China. Itu tidak tepat karena buku pelajaran di China berfokus pada anak-anak yang berbicara bahasa itu, yang menguasai bahasa itu di rumah. Tetapi buku pelajaran kita harus berbeda. Misalnya, Uyghur di Turki, mereka berbicara bahasa Turki dan Uyghur di Inggris, Burton, mereka berbicara Birch, Inggris dan Amerika. Mereka berbicara bahasa Inggris Amerika. Masalahnya adalah bahasa pertama mereka hampir bukan bahasa Uyghur. Uyghur harus diajarkan sebagai bahasa kedua. Jadi kita harus memiliki perspektif yang berbeda. Ini adalah salah satunya,” ungkap Ayup.
Menurut Ayup melestarikan budaya Uyghur di lingkungan asalnya tidaklah sulit, misalnya budaya mencuci tangan sebelum makan dan serangkaian budaya lainnya. Bagi yang tumbuh kembang di lingkungan tanah kelahiran Uyghur itu persoalan mudah, tidak hanya memahami budaya namun juga menginternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kondisi akan berbeda jika anak-anak Uyghur tersebut besar dan tumbuh di negara lain, mereka membutuhkan teks panduan agar tidak melupakan budaya aslinya.
“Jadi ketika kita mengenalkan budaya kepada anak-anak di lingkungan Uyghur, mudah saja. Tapi bagi anak-anak Uyghur yang besar di Norwegia, di Swedia, bagi mereka itu adalah budaya asing. Anda harus menjelaskannya dengan cara yang berbeda. Bahkan secara geografi, seperti negara mereka adalah Swedia, AS dan Inggris. Mereka tidak memahami konsep geografi,” tegasnya.
Ayup menambahkan, seperti anak-anak di Belanda, di Prancis mereka tidak dapat membayangkan bahwa kita hidup di atap dunia. Uyghur hampir tinggal di atap dunia. Puncak tertinggi kedua ada di tanah air kita. Yang pertama adalah Gunung Everest, yang kedua bukan di tanah air kita. Jadi seperti anak-anak, konsep geografisnya tidak mudah karena mereka tinggal di level tertinggi di dunia. Namun dalam diaspora mereka hidup dengan lingkungan yang berbeda. “Jadi semuanya harus kita mulai dengan metode baru, dengan konten baru dengan semangat baru di dalamnya. Jadi saya mulai dari pertimbangan ini dan saya menyusun buku pertama saya,” ungkapnya.
Abduweli Ayup mulai menerbitkan buku pertamanya pada tahun 2016, sekitar tanggal 2 September, setahun berikutnya pada bulan Februari tahun 2017, Ayup terus terus menerbitkan dan mengedit buku. Saat ini tercatat telah diterbitkan 9 buku teks yang semuanya sangat populer di kalangan Uyghur dan sekolah Uyghur di Australia, di Amerika Serikat, di Kanada, di Turki dan di Norwegia, di Jerman, di Prancis mereka menggunakan buku teks karya Ayup.
“Dan tentu saja, saya menyumbangkan beberapa buku pelajaran untuk anak-anak Uyghur di Turki karena kebanyakan dari mereka dalam keadaan rapuh, mereka seperti berempat. Saya juga menyumbangkan buku teks saya di Turki kepada anak-anak yang tidak mampu membelinya. Di Turki ada tiga sekolah yang menggunakan buku teks saya dan saya harap saya akan menerima umpan balik dan edisi kedua saya akan memperbaiki kesalahan yang saya buat, teks yang tidak sesuai yang saya tulis. Saya akan memperbaikinya di edisi kedua saya,” ulas Ayup.
Identitas sebagai Uyghur
Buku teks yang ditulis Abduweli Ayup memberikan panduan jelas untuk mengidentifikasi siapa Uyghur sebenarnya, bagaimana seharusnya bermasyarakat, berprilaku baik sosial maupun prilaku keagamaan. Lebih dari itu dalam buku ajar tersebut pembaca juga mendapatkan pola dan teknik identifikasi diri agar tidak tercerabut dari akar silsilahnya.
“Izinkan saya memberi tahu Anda tentang buku pelajaran, pelajaran tentang Uyghur. Deskripsikan dulu siapa kamu. Seperti, siapa aku? Saya orang Uyghur. Ini adalah teks pertama. Ini menggambarkan saya Uyghur karena orang tua saya adalah orang tua saya Uyghur. Saya Uyghur karena saya mengidentifikasi diri saya sebagai Uyghur. Saya orang Uyghur karena saya makan makanan Uyghur di rumah bersama orang tua saya. Saya Uyghur karena saya merayakan dan festival nasional Uyghur lainnya. Hal-hal itu, seperti cara anak, misalnya anak bertanya dan orang tua menjawab. itu puisi. Ini sebuah puisi. Seperti orang tua menjawab pertanyaan, anak-anak kita menanyakan pertanyaan itu dan jawaban itu dan pertanyaannya, semuanya adalah puisi, baris demi baris,” jelas Ayup.
Atribut khas Uyghur juga ditulis dan diperkenalkan oleh Abduweli Ayup dalam buku-buku ajar yang dia terbitkan, salah satunya yang paling terkenal adalah Doppa. Doppa adalah topi empat sudut yang merupakan bagian penting dari pakaian tradisional Uyghur. Doppa dapat menandakan gender, kampung halaman seseorang, atau juga mencerminkan tradisi artistik tertentu dimana ia diciptakan.
Motifnya memiliki filosofi kelahiran dan kematian yang digambarkan dalam bentuk janin dan batu nisan. Setiap tanggal 5 Mei dilangsungkan festival Doppa secara internasional. Pertama kali diadakan pada tahun 2010. Awalnya, festival ini didukung oleh Pemerintah China dan disorot di media pemerintah. Namun belakangan, festival ini sebagian besar telah dilarang dan pemakaian Doppa telah dilarang di sekolah-sekolah dan daerah lain.
“Doppa adalah buku kedua saya, bahkan kami memiliki hari Doppa Internasional. Itu adalah simbol kami yang memiliki arti yang sangat besar dan kuat. Motif, simbol pada Doppa memwakili arti tertentu, “ imbuhnya.
Dalam bukunya yang lain berjudul “Lessons of Uyghurness” Abduweli Ayup memabahas hal-hal yang sangat spesifik tentang budi pekerti ala Uyghur, misalnya bagaimana Uyghur saling menyapa dan bagaimana orang-orang Uyghur mengucapkan selamat tinggal. Lalu bagaimana Uyghur memperlakukan tamu dan bagaimana Uyghur bersikap sopan.
Karya-karya Abduweli Ayup juga mengangkat tema seputar geografi yang mengambarkan kondisi alam di Turkestan Timur, tanah kelahiran Uyghur. “Buku ini saya sebut sebagai Pusat Dunia Uyghur. Artinya, seperti buku yang menggambarkan geografi. Misalnya, gunung-gunung di tanah air Uyghur dan kota-kota di Turkestan Timur. Dan bunga di Turkistan Timur, burung di Turkistan Timur, hewan di Turkistan Timur, serangga di Turkistan Timur. Mereka yang seperti serangga menceritakan kisah serangga dan hewan menceritakan kisah binatang dan burung menceritakan kisah burung. Bukan manusia menceritakan kisah mereka. Serangga, hewan, dan burung seperti itu menceritakan kisah mereka sendiri dengan kata-kata mereka sendiri,” ulas Ayup.
Kisah-kisah lainnya yang menceritakan sejarah Uyghur juga diangkat dalam tema buku ajar tulisan Abduweli Ayup. Misalnya sejarah lucu Omaktara, menceritakan tentang sejarah Uyghur, seperti apa dan siapa Uyghur, kerajaan Uyghur yang tertua, para raja dan pahlawan Uyghur.
“Uniknya dalam buku ini para pahlawan itu menceritakan kisah mereka sebagai seorang anak dengan bahasa anak-anak, hal-hal tentang sejarah, tentang budaya, tentang geografi dan tentang dan kisah tentang arsitektur itu. Misalnya, kami memiliki beberapa arsitektur bersejarah. Arsitektur tersebut juga menceritakan kisah mereka di Uyghur. Jadi, ya, ini tentang budaya, geografi dan sejarah dan bahasa, tentu saja, musik dan lukisan,” terang Ayup.
Mempertahankan Budaya Uyghur
Menulis buku ajar bagi Abduweli Ayup adalah bagian dari cara menjaga dan mempertahankan budaya Uyghur agar tetap dapat difahami, terdistribusi kepada diaspora Uyghur yang tersebar di berbagai negara di dunia. Khususnya untuk generasi mendatang, agar mereka tetap dapat mengenal budaya warisan leluhur yang membentuk karakter sebagai Uyghur.
“Meskipun secara fisik mereka tinggal di negara orang, saya berharap mereka hidup dalam budaya Uyghur. Mereka saat ini berada di Eropa, di Amerika Serikat, di Turki tetapi saya berharap roh mereka hidup di tanah air mereka sendiri, dalam budaya mereka sendiri, di lingkungan mereka sendiri,” tegas Ayup.
“Saya tidak percaya seseorang memperjuangkan kebebasan jika dia tidak mencintai budaya itu. Misalnya, mungkin Anda berbicara bahasa Uyghur dengan sangat lancar, tetapi jika Anda tidak mencintai budaya ini, Anda tidak akan berjuang untuk orang-orang yang tinggal di kamp, jutaan orang, orang-orang itu adalah pewaris atau praktisi, atau pemelihara budaya tersebut. Tanpa orang-orang itu, kita tidak bisa melanjutkan budaya ini. Ya, mereka berada di kamp tetapi jika kita tidak mendidik anak-anak dengan semangat budaya itu, mereka tidak akan bersimpati kepada orang-orang itu karena mereka tidak memiliki titik temu,” ungkapnya.
Ayup mengungkapkan proses menulis dan menerbitkan buku adalah jalan yang panjang karena China kuat dan China mendikte negara lain, juga pengaruh China ke seluruh negara di seluruh dunia. Itu adalah kekuatan kediktatoran, kekuatan penjajahan dan kekuatan pengawasan. Tapi ini adalah kesempatan untuk menceritakan kisah Uyghur kepada anak-anak.
“Anda dapat mengatakan sesuatu yang penting seperti nilai kemanusiaan, seperti pentingnya kebebasan, pentingnya kebebasan berbicara, pentingnya kebebasan berkumpul dan martabat manusia serta nilai-nilai budaya. Hal-hal itu penting karena Pemerintah China menghilangkan budaya itu, menghilangkan martabat, nilai-nilai, semangat itu,” tegas Ayup.
Ayup menegaskan bahwa Uyghur juga harus menghidupkan budayanya, karena Pemerintah China tidak akan membiarkan budaya tersebut berkembang. “Kami mengajak kepada semua Uyghur untuk mempraktikkan budaya kami, tidak ada yang merasa penting karena semua orang melakukan itu tetapi ketika kami kehilangan mereka, kami merasa itu penting. Dan ini waktu yang tepat untuk mengajari anak-anak tentang budaya mereka karena orang tua mereka sedang tidak baik-baik saja, mereka gugup kehilangan budaya mereka,” ungkapnya.
Ayup menambahkan, inilah saatnya menekankan betapa pentingnya nilai dan itu terjadi sekarang. Itu sebabnya kami memiliki lebih dari 70 sekolah Minggu di seluruh dunia seperti ribuan anak Uyghur yang belajar bahasa mereka sendiri. Jadi apa yang bisa kita lakukan, apa yang harus kita lakukan, kita harus menyediakan apa yang bisa mereka pelajari tentang Uyghur karena buku-buku itu sudah dilarang, sudah dibakar kita tidak akan memproduksi buku-buku itu, materi-materi itu, produk-produk budaya di luar dan anak-anak, setelah mereka mempelajarinya. bahasa, apa yang bisa mereka baca.
“Jadi penting untuk menulis buku teks, penting untuk terus menulis untuk anak-anak tetapi itu sangat sulit karena ketika Anda tinggal di diaspora, sangat mudah untuk melupakan beberapa kata. Anda tidak menggunakan bahasa Uyghur, misalnya. Saya tidak menggunakan Uyghur untuk kehidupan sehari-hari saya, saya menggunakan bahasa Inggris, saya menggunakan bahasa Norwegia karena saya hidup dalam bahasa ini tetapi karena itu sangat mudah untuk melupakan beberapa kata dan kemudian karena Anda menulis buku-buku itu setelah 8 jam dan kemudian Anda mengerjakan hal-hal itu, Anda tidak punya cukup waktu,” terang Ayup.
Tentu tidak mudah untuk terus memproduksi buku teks, khususnya untuk melahirkan ide-ide baru. Sebelum menulis, Ayup sering berbicara dengan anak-anak dan mengobrol ringan sampai akhirnya dapat menemukan ide baru. “Tetapi karena Uyghur ini hidup di diaspora, mereka tidak memiliki cukup kesempatan untuk berbicara, menikmati waktu bersama mereka, mendorong mereka untuk berbicara dengan Anda. Jadi memang tidak mudah, tapi bisa dan itu penting untuk dilakukan,” tegasnya.
Sejumlah tim ikut mendukung suksesnya penerbitan buku karya Abduweli Ayup, seperti ilustrator, editor bahkan pelukis untuk mempercantik halaman demi halaman. Selain itu guru bahasa juga dibutuhkan untuk turut meneliti isi buku sebelum akhirnya diterbitkan dan didistrisbusikan.
“Saya memiliki anggota tetap sekitar tujuh orang Uyghur. Mereka selalu bekerja dengan saya. Ya. Terutama saya menyewa pelukis karena pelukis sangat penting bagi saya, karena anak-anak itu tidak dapat berimajinasi sesuatu yang belum pernah mereka lihat. Jadi saya lebih fokus pada pelukis dan berkomunikasi dengan lukisan itu,” ungkapnya.
Ayup yang juga menjabat sebagai direktur Uyghur Hjelp, sebuah organisasi hak asasi manusia Uyghur ini juga menyelenggarakan sekolah dengan pengantar bahasa Uyghur di Bergen, Norwegia. Ayup bersama tim mengorganisir sekitar 30 perwakilan anak Uyghur dari seluruh dunia untuk diberikan materi-materi tentang sejarah Uyghur.
“Mereka kami biarkan untuk melihat museum dengan barang-barang peninggalan Uyghur, kami juga menggelar kontes pidato Uyghur dan event lainnya. Ke depan kami akan mengadakan Olimpiade Uyghur,” jelas Ayup.
Dukungan Dunia Islam
Menyelamatkan budaya Uyghur terkait erat dengan penyelamatan budaya dan nilai-nilai Islam, oleh sebab itu jika budaya Uyghur dalam bahaya, maka sudah seharusnya umat Muslim di seluruh dunia juga turut memperhatikan kondisi tersebut dan turut membantu proses penyelematan dan pelestarian peninggalan Uyghur. “Uyghur mempraktekkan Islam dan mereka beriman kepada Allah dan mereka seperti melindungi dunia Muslim dari invasi komunis. Dan saya harap ini adalah tanggung jawab dunia Islam,” tegas Ayup.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Uyghur yang juga seorang Muslim tidak mungkin hidup dan menyerah dengan ideologi komunis China. “Saya tidak percaya dunia Islam akan menerima hidup di bawah ideologi komunis ini dan mereka tidak ingin menjadi Muslim Uyghur kedua di dunia. Jika demikian, kita harus bersatu, kita harus melawan kekejaman, melawan kediktatoran komunis dan dunia Islam harus berbuat banyak. Pertama-tama, apa yang kita makan dan apa yang kita kenakan dan apa yang kita kendarai, semuanya dari China, dibuat di China.
Jadi kita harus berhati-hati dengan apa yang kita makan, apa yang kita kenakan, apa yang kita kendarai, karena itu uang kita sendiri dan kita tidak boleh memberi makan tentara China yang menduduki tanah air Uyghur dan kita tidak boleh membantu pemerintah China yang menghasilkan uang dari jutaan orang Uyghur yang berada di kamp penjara. Dan kita tidak boleh terlibat dengan genosida ini,” uangkap Ayup.
Menurut Ayup jika dunia Islam bersatu dan mengikuti jalan yang benar, maka itu akan menyelamatkan banyak orang. Umat Islam tidak seharusnya berkompromi apalagi mematuhi komunis.
“Saya harap kami akan berjuang untuk orang-orang yang menderita dan saya harap seruan Uyghur ini didukung. Misalnya, kami menerima donasi sebagai bantuan Uyghur, kami menerima donasi dan kami memiliki kampanye lain untuk didukung. Jadi saya berharap saudara dan saudari kita di seluruh dunia harus melakukan apa yang mereka bisa lakukan seperti donasi atau sebarkan pesan, buat kesadaran apa yang ingin kita lakukan seperti jika kita ingin melakukan banyak hal yang harus kita lakukan sebenarnya dan terima kasih. Anda juga bisa kunjungi situs kami uyghurhjelp.org, “ pungkasnya. (diq)