Parpol Rame-rame Keroyok PDIP Solo, tak Jamin bakal Menang Pilkada

Pengamat politik hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto. FOTO:IST/ANTARA

JATENGPOS.CO.ID, SOLO– Enam parpol di Solo yakni Gerindra, PSI, Golkar, PKB, PAN, dan PKS menggelar pertemuan tanpa mengajak PDI Perjuangan. Pengamat politik hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, menyebut koalisi keenam partai politik itu belum tentu bisa mengalahkan PDIP di Pilkada Solo 2024.

Menurutnya, wajar bila adanya koalisi di enam partai politik tersebut. Karena enam parpol itu belum memenuhi ambang batas pencalonan Pilkada di Solo.

“Nanti kemungkinan ada dua blok, blok PDIP dan blok koalisi enam partai ini. Jadi adanya koalisi enam partai politik di Pilkada itu suatu kewajaran karena mencari pemenuhan ambang batas pencalonan Wali Kota Solo,” katanya, Minggu (30/6).

Meski ada enam partai politik, Agus menyebut bahwa belum bisa dilihat apakah akan menang koalisi besar itu atau PDIP saja. Menurutnya, Pilkada Solo merupakan pertarungan antarcalon bukan antarpartai.

“Jadi yang dilihat ketokohan, pencitraan, popularitas, modal ekonomi, jejaring sosial itu memengaruhi keterpilihan calon. Karena Pilkada bukan sekedar partai mengusung calon. Apakah menang PDIP atau tidak, tinggal tunggu calon,” bebernya.

Menurutnya, pertemuan enam parpol itu bukan untuk menggembosi partai berlambang banteng itu. Ia mengatakan koalisi diperlukan untuk memenuhi ambang batas pencalonan.

Sedangkan PDIP memperoleh 20 kursi atau sudah memenuhi syarat untuk mencalonkan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo sendiri.

“Bukan gembos-menggembosi, wajar saja PDIP bisa mencalonkan tanpa koalisi, mau tidak mau harus ada lawan. Kalau kita lihat dinamika, PDIP tidak akan berkoalisi dengan partai politik lain,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua DPC PDIP Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, angkat bicara soal pertemuan partai di DPRD Solo yang digelar tanpa mengajak PDIP. Rudy pun mengaku tak ciut jika nantinya ada koalisi partai besar di Pilkada Solo.

Sebagai informasi, pertemuan anggota parlemen itu dihadiri enam parpol yakni Gerindra, PSI, Golkar, PAN, PKB, dan PKS.

“Itu hak dari masing-masing partai kok. Bagi PDIP diundang ya kita berangkat, tidak diundang pun tidak pemikiran yang negatif oleh siapa pun. Dulu saya jadi Wali Kota dibanding-bandingkan, saya nggak suka gitu, rakyat menentukan pilihan nanti, lima menit untuk lima tahun,” kata Rudy ditemui di kediamannya, Rabu (26/6), dilansir dari detikcom.

Rudy berpendapat setiap partai punya hak membentuk koalisi. Dia pun optimistis setiap ada kontestasi karena penentuan pemenang ada di tangan rakyat.

Senada disampaikan Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai partai politik yang mendekati Presiden Joko Widodo menjelang Pilkada ialah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Hal ini merespons Waketum Partai NasDem Ahmad Ali yang tak mendengar Presiden Joko Widodo menyodorkan nama ketum PSI Kaesang Pangarep ke partai-partai dan menilai lebih banyak partai yang mendekati Jokowi.

“Partai-partai yang meminta arahan Jokowi itu adalah partai yang tergabung dalam KIM, spesifiknya yang mendukung Prabowo-Gibran. Di luar itu saya kira partai partai seperti PDI Perjuangan, PKS, NasDem, PKB, mereka punya preferensi dan pilihan politik masing-masing,” kata Adi kepada wartawan, kemarin.

Adi menyebut hal ini bisa dilihat dari dinamika politik menjelang Pilgub Jakarta mendatang, di mana PDI-P yang merupakan parpol di luar KIM melirik Anies Baswedan ketimbang Kaesang untuk Pilgub mendatang. Begitu juga dengan PKS yang resmi mengusung Anies berpasangan dengan kadernya, Sohibul Iman.

“PDI-P kecenderungannya ingin memajukan kader sendiri, sangat kelihatan PDI-P sangat haram mengusung anak Jokowi, mereka mau mengusung Anies, bukan Kaesang, PKS dukung Anies dan Sohibul. NasDem menyebut Wibi dan Sahroni,” ujarnya.

“Tak ada satupun nama Kaesang yang kemudian disebut oleh partai non-KIM. jadi pernyataan Mad Ali ada benarnya dan ada kurang benarnya. Benarnya ya tentu partai KIM yang minta arahan Jokowi, di luar KIM tentunya mereka punya preferensi politik yang berbeda,” sambungnya.

Adi memandang Jokowi effect bisa saja berpengaruh terhadap pencarian kandidat calon kepala daerah mendatang. Namun, ia memandang bagi partai KIM, Jokowi effect bukanlah segala-galanya.

“Jadi bisa dibagi dua hal, dalam pencalonan faktor Jokowi masih determinan, tapi kalau soal calon yang diusung KIM itu banyak faktor calon dan pengaruh Prabowo Subianto. Artinya faktor Jokowi begitu penting, tapi bukan segala-galanya,” ucapnya.

Adi berpandangan, jika nasihat Jokowi di atas segalanya, maka sejak awal partai yang tergabung dalam KIM pasti mendorong Kaesang Pangarep sebagai Cagub Jakarta. Namun kenyataannya, ada nama-nama lain yang masuk ke dalam radar.

“Kalau memang faktor Jokowi menjadi sangat penting dan segala-galanya, mestinya yang dimajukan di Pilgub Jakarta adalah Kaesang, bukan RK. Artinya petuah politik Jokowi masih cukup kuat, mestinya Kaesang yang diusung mengingat ia adalah Ketum PSI yang juga punya peluang untuk maju,” ujarnya.

“Tapi nyatakan nama Kaesang hanya diproyeksikan sebagai cawagub, bukan cagub,” pungkasnya. (dtc/muz)