JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Angka perkawinan anak di Jawa Tengah ternyata masih sangat tinggi. Wakil Ketua DPRD Jateng, Heri Pudyatmoko menegaskan, perkawinan anak perlu mendapat perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Tengah secara ekstra, baik di masa sekarang maupun mendatang. Data selama tahun 2021 menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di Jawa Tengah sebanyak 9.868 kasus. Tertinggi berada di Kabupaten Cilacap (724 kasus) dan terendah di Kota Salatiga (19 kasus).
“Perkawinan anak dapat berdampak pada kesehatan fisik maupun mental, khususnya pada anak perempuan jika segera diikuti dengan kehamilan. Selain melahirkan, norma yang masih banyak berlaku di masyarakat memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada istri untuk mengasuh anak dan mengelola rumah tangga,” katanya, Sabtu (26/3/2022).
Di sisi lain, norma sosial mengenai peran laki-laki dalam keluarga dapat menyebabkan suami yang masih berusia muda rentan mengalami tekanan mental, jika tidak mampu memberikan nafkah yang cukup kepada keluarganya. Tekanan ini dapat memicu terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga dan perceraian.
“Maka untuk itu, pemerintah kami harapkan bisa lebih fokus dalam penanganan masalah ini. Karena pengetahuan dan pendidikan masih minim, mereka tidak mengetahui risiko kesehatan reproduksi dan pentingnya berbagai hal tentang rumah tangga. Karenanya Pemprov Jateng perlu melakukan pendampingan, pelatihan-pelatihan usaha, sosialisasi manajemen keuangan keluarga, edukasi, penyuluhan tentang pernikahan yang sehat dan berdaya kepada generasi milenial di berbagai daerah,” tegasnya.
Tak hanya soal perkawinan anak, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terus terjadi, bahkan bisa dikatakan sebagai fenomena gunung es. Di mana yang tampak dipermukaan (yang terlapor dan melapor) tidak sebanding dengan kejadian yang sesungguhnya.
“Adanya budaya malu dan takut melapor karena bisa dianggap aib menjadi kendala di masyarakat sehingga ini perlu terus didorong untuk memberikan penyadaran dan keberanian kepada masyarakat, utamanya kaum perempuan dan anak. Sampai dengan tahun 2021 angka rasio kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebesar 8,35 per 100.000 penduduk,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemprov Jateng terus berupaya menekan angka pernikahan di usia anak dengan beragam program. Di antaranya melalui program “Jokawin Bocah”, akses pendidikan gratis, pendidikan pranikah, serta pemberdayaan ekonomi dengan melibatkan berbagai organisasi dan komponen masyarakat.
Ketua Badan Kerja Sama Organisasi Wanita (BKOW) Jateng, Nawal Arafah Taj Yasin beberapa waktu lalu menegaskan, program-program itu harus dikerjakan secara bersama-sama lintas sektoral.
Nawal menjelaskan, pemprov melibatkan komunitas, organisasi, PKK, akademisi, media, serta seluruh komponen masyarakat bekerja sama secara terstruktur, holistik, dan komprehensif. Semua bekerja sama mengurai dan menyelesaikan berbagai persoalan yang menyebabkan peningkatan kasus pernikahan dini.
Menurutnya, pernikahan dini terjadi karena berbagai faktor. Di antaranya menyangkut faktor pemahaman agama yang sempit, kemiskinan, pendidikan, dan budaya. Misalnya daripada terjadi kumpul kebo, maka lebih baik dinikahkan. Untuk faktor ekonomi, banyak terjadi karena orang tua beranggapan, menikahkan anak merupakan jalan pintas untuk menyudahi kemiskinan.
Tidak sedikit pula pernikahan usia anak terjadi karena faktor budaya. Masyarakat masih banyak yang menganut budaya anak perempuan dapat macak, masak, dan manak kemudian dinikahkan.(sgt)