JATENGPOS.CO.ID, Serba salah. Mungkin itu yang banyak dirasakan para politisi dan institusi parpol dalam bencana. Tak cepat bergerak, kerap dicap tak peduli. Aktif membantu, bisa dianggap kampanye.
Masih segar dalam ingatan, ketika pandemi mulai menggaung, kebutuhan masyarakat akan masker meroket. Masker menjadi barang langka yang dicari banyak orang.
Di saat masyarakat mulai frustasi, politisi dan parpol pun menjadi sasaran. Bertebaran sindiran dan meme di media sosial. “Waktu musim pileg, semua partai sanggup bagi2 kaos merk partai dan caleg walau rakyat tak butuh…sekarang saat rakyat butuh 1 masker saja, tidak ada partai yang sanggup memberi”, begitu salah satu sindiran yang viral di media sosial.
Beredar massif pula foto meme yang menunjukan contoh masker berlogo partai. Para netizen menyatakan siap pakai masker berlogo partai asal ada barangnya dan gratis.
Ini sebuah tamparan keras bagi parpol. Bisa jadi parpol dan para kadernya bukan tidak mau membantu kesulitan masyarakat. Namun mereka pun sama-sama kena dampaknya. Sama-sama sulit mencari masker yang mendadak seperti raib di pasaran ketika pandemi mulai merebak.
Perlu waktu bagi parpol untuk mengonsolidasikan sumber dayanya untuk bergerak aktif membantu kesulitan dan bencana di masyarakat. Karena bukan hal yang mudah untuk bisa mengumpulkan dan memoblisasi infrastruktur, kader dan simpatisan yang tersebar seantero nusantara secara cepat. Komandonya bersifat kesukarelaan. Sumber dayanya pun bersifat internal.
Dalam sistem ketatanegaraan, hanya pemerintah lah, yang bisa mengonsolidasikan dan mengeksekusi langsung sumber daya negara untuk bergerak dalam pandemi. Itu memang ranah pemerintah sebagai eksekutif.
Sementara parpol, sebagai cabang legislatif, hanyalah sebatas mengusulkan dan mengawasi pelaksanannya. Itupun tak secara langsung, tapi melalui wakilnya di parlemen.
Dalam istilah Sigmund Neuwmann, parpol hanyalah perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi. Tak ada kuasa eksekusi yang melekat dalam parpol.
PKS dan Bencana
Walaupun sejatinya sebagai parpol fungsinya lebih pada mengagrerasikan usulan dan aspirasi masyarakat, namun Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak awal telah menahbiskan dirinya sebagai partai yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Sejak didirikan 22 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 20 April 1999, (PKS) tak ingin terjebak dalam percaturan perebutan kekuasaan di saat Pemilu saja. Namun senantiasa hadir setiap saat dalam berbagai gerakan sosial dan pelayanan di masyarakat.
Maka tak heran, jika kegiatan di berbagai tingkatan pengurus, PKS selalu menempatkan program pelayanan masyarakat sebagai ujung tombak nyata kegiatan partai. Kader-kader PKS terbiasa melakukan program bakti sosial, pengobatan gratis, pelatihan keterampilan, pengajian, dan kegiatan sosial lannya. Kegiatan ini digelar secara rutin, tak dihelat saat mendekati Pemilu saja.
PKS selalu hadir dalam berbagai bencana nasional dengan memobilisasi kader dan sumber daya internalnya untuk terjun langsung membantu masyarakat. Sebut saja misalnya, mobilisasi nasional kader saat bencana tsunami Aceh tahun 2004, gempa bumi Jogja 2006, bencana letusan Merapi tahun 2006 dan 2010, gempa Palu dan Donggala tahun 2018, serta darurat kabut asap Sumatera dan Kalimantan 2019. Belum lagi aksi penanggulangan bencana alam yang bersifat lokal, struktur dan kader PKS selalu terlibat aktif di dalamnya.
PKS pun mencoba ikut berempati terhadap kesulitan yang dialami masyarakat dalam bencana pandemi covid19 saat ini. Setidaknya ada tiga bentuk empati PKS untuk meresponnya. Baik empati dengan menjalankan fungsi komunikasi politiknya dalam sistem ketatanegaraan melalui wakil-wakil rakyatnya di parlemen, maupun dengan aksi nyata struktur dan kadernya di lapangan.
Pertama, empati dalam kerangka kebijakan. Di parlemen, PKS mendorong dan mengapresiasi rasionalisasi anggaran yang dilakukan pemerintah untuk fokus terhadap program penanggulangan pandemi. Kebijakan pemerintah untuk memberikan pemotongan beban biaya listrik khususnya bagi masyarakat kecil juga juga didukung fraksi PKS,
Fraksi PKS juga berempati pada masyarakat dengan meminta pemerintah untuk tidak melakukan penundaan pembayaran tunjangan profesi guru dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Selain itu, PKS melalui fraksinya di DPR, mendesak penundaan pembahasan omnibus law yang dinilai akan lebih menyengsarakan para pekerja dan rakyat kecil.
Kedua, empati dalam kerangka tindakan. PKS menggiatkan aktifitas bergotong royong saling membantu satu sama lain. Mulai dari skala terkecil antar kader, hingga antar tetangga, dan dengan masyarakat.
Memperingati miladnya yang ke-22, PKS menjadikan momentum ini sebagai bulan berbagi. Struktur dan kader PKS diwajibkan mengerahkan potensi yang dimilikinya menyelenggarakan program-program untuk membantu komponen masyarakat yang terimbas bencana pandemi Covid19.
Ketiga, empati dalam bingkai keteladanan. Secara nyata, PKS memotong gaji seluruh pejabat publiknya se-Indonesia, baik di legislatif dan eksekutif untuk membantu masyarakat yang kehidupannya makin sulit akibat pandemi.
Selain itu, PKS juga menyulap ribuan kantor sekretariatnya di seluruh tingkatan, sebagai pos kepedulian untuk berbagi bersama masyarakat sekitar.
Mungkin apa yang dilakukan PKS, sebagai parpol seperti sebilah kayu penyelamat yang terombang ambing dalam terjangan gelombang besar bencana pandemi. Kecil saja.
Namun jika bilah kayu ini saling bersinergi satu sama lain dengan bilah kayu lainnya dari berbagai parpol, golongan, dan elemen bangsa, bukan tidak mungkin bahtera Nabi Nuh pun akan terbangun.
Sebuah bahtera besar yang akan membawa rakyat Indonesia melewati masa-masa sulit pandemi. Semoga.
Penulis adalah Ketua Bidang Humas DPW PKS Jateng,
Wakil Ketua Komisi D DPRD JAteng