JATENGPOS.CO.ID, DEMAK – Warga kampung nelayan rajungan Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak secara swadaya membangun masjid cukup megah. Namanya Masjid Jami’ Al Falah. Masjid yang dibangun dari iuran jimpitan nelayan rajungan ini menelan biaya hingga Rp 7 miliar. Padahal, masjid yang bernaung dibawah Yayasan Miftahul Falah tersebut berada di perkampungan warga nelayan.
Bila rumah warga sekitar masjid rata-rata terbuat dari kayu dan tembok sederhana khas kampung nelayan, maka masjid tempat ibadah yang mereka bangun cukup mewah. Bangunannya tak kalah dengan masjid diperkotaan. Yang menarik, pembiayaan pembangunan masjid yang berdiri sejak 1933 tersebut sebagian besar adalah hasil swadaya masyarakat setempat. Rata-rata bekerja sebagai nelayan.
Dengan berbagai cara yang dilakukan, mereka bersepakat menyisihkan pendapatannya untuk membangun masjid. Tekhnisnya setiap rumah nelayan dipasang gelas plastik bekas tempat minum air mineral. Digelas itu, warga tinggal sesuka hati atau sukarela untuk mengisinya. Ada yang mengisi Rp 500 hingga Rp 2 ribu sesuai kemampuan masing-masing. Bahkan, ada pula gelas yang tetap kosong tidak diisi lantaran si empunya rumah sedang tidak memiliki uang.
Dewan penasehat Masjid Al Falah, Kiai Muslih ketika itu mengungkapkan, ada tenaga khusus yang mengambil uang yang terkumpul di gelas itu. Tenaga khusus itu berasal dari gang perumahan masing-masing atau per kaum. Setiap hari Jumat, iuran jimpitan itu pun diumumkan di masjid.
Hasil jimpitan bisa mencapai Rp 2 jutaan. Sedangkan, khusus dari hasil infaq, setiap Jumat bisa terkumpul dana rata-rata sebesar Rp 1,5 juta.“Selain nelayan, yang ikut jumputan ada pula dari petambak, petani, PNS, pedagang maupun pensiunan. Semua ikuta handarbeni (sengkuyung, red),”ujarnya.
Iuran swadaya warga yang berlangsung bertahun-tahun itu makin lama terkumpul banyak, termasuk hasil pengumpulan dana saat hari raya lebaran Idul Fitri atau Idul Adha. Biasanya saat jelang hari raya, panitia menyebarkan amplop kepada warga. Amplop kosong itu dikumpulkan dalam kotak dan dibuka usai salat Id. Hasilnya bisa terkumpul antara Rp 6 juta hingga Rp 7 juta. Setelah terkumpul banyak, masjid pun mulai dibangun.
Kebetulan Masjid Al Falah sebelumnya juga telah memiliki modal pembangunan sebesar Rp 450 juta. Uang itu untuk membangun pondasi, besi dan bahan bangunan lainnya. Selain itu, masjid milik masyarakat itu juga memiliki tanah wakaf dari perorangan seluas 8 bahu. Sehingga hasil lelang tanah wakaf setiap tahun itu juga bisa untuk membantu membangun masjid.
Pembangunan masjid juga dibantu dari hasil lelang tanah Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) yang ada di Desa Betahwalang. Tanah BKM peninggalan Sultan Fatah dan Sunan Kalijaga di Betahwalang tersebut tercatat ada 50 bahu. Setiap tahun dilelang dan laba penjualan sewa disalurkan untuk pembangunan masjid. Namun, dalam perkembangannya, sejak sistem lelang dirubah, maka hasil lelangan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Sebab, saat lelang berlangsung, sawah BKM tersebut kena orang luar Betahwalang.
Muslih menuturkan, sebelum dibangun megah seperti itu, dulu masjid Al Falah masih berbentuk kuno. Dipuncaknya masih ada tetenger pekik tingkat tiga yang melambangkan iman, Islam dan ihsan. Pekik tersebut merupakan bentuk simbol perpaduan antara Hindu dan Islam. Sekarang berganti dengan bentuk kubah besar ala Timur Tengah. “Masjid ini dibangun secara bertahap sejak 2006,”katanya.
Wakil Ketua Yayasan Miftahul Falah Khoeron Imron ketika itu mengatakan, masjid dibangun diatas lahan seluas 23×33 meter persegi dan dibangun dua lantai. Pondasi masjid berbentuk cakar ayam sehingga sangat kuat untuk menopang bangunan. Sebab, dilengkapi pula dengan paku bumi dilima tempat serta bor-boran. Masjid ini diarsiteki oleh putra desa, yakni Fathurridlo yang saat itu masih kuliah di Surabaya.
Meski demikian, untuk mencapai hasil yang maksimal, panitia pembangunan masjid sempat melakukan studi banding ke berbagai daerah, termasuk studi banding ke Masjid Al Akbar Surabaya. Dengan begitu, panitia pembangunan bisa memperoleh gambaran tentang model bangunan maupun bentuk mihrab masjid secara detail.
Gabungan dari hasil studi banding itu akhirnya memunculkan model bangunan yang kini telah jadi. Mihrab diukir dengan tulisan kaligrafi. Pun ukiran pintu masjid dipesan khusus dari Jepara. Sedangkan, kayu pintu didapatkan langsung dari hutan Karangrayung, Purwodadi. Lantainya pun dari bahan granit. Untuk penerangan, panitia pembangunan memasang lampu yang nilainya ratusan juta.
Menurut Khoeron Imron, letak Desa Betahwalang yang cukup terpencil cukup menyulitkan pembangunan. Sebab, akses jalan sempit sehingga kendaraan material sudah masuk ke kampung. “Untuk mensiasatinya, maka kita menggunakan grobak grandong (bermesin) mirip L 300 untuk melansir bahan material tersebut sejauh 3 kilometer,”kata Khoeron yang sebelumnya menjadi Ketua panitia pembangunan Masjid Al Falah ini. (*)