JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Banjir bandang yang terjadi di Kota Semarang beberapa waktu lalu, mendapat sorotan oleh kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang. Para wakil rakyat ini meminta agar peraturan daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang (RTRW) tahun 2021, harus dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga tidak boleh ada toleransi untuk alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukannya.
Sekretaris Komisi C DPRD Kota Semarang, Suharsono menjelaskan, jika Perda RTRW ini dipatuhi, sebenarnya bisa memberikan manfaat yang besar bagi Kota Semarang. Namun dengan banyaknya kondisi bencana di Kota Semarang, harusnya ada kajian mendalam terkait pengaturan alih fungsi lahan di wilayah Semarang bagian atas yang sudah diatur dalam RTRW.
“Berdasarkan RTRW Semarang yang baru ada perubahan tahun 2021 lalu, sudah disesuaikan tata ruang provinsi dan pusat. Kalau dimanfaatkan sebaik mungkin, tentunya pasti memberikan manfaat,” katanya.
Suharsono menerangkan, kajian mendalam harus dilakukan Pemkot Semarang, terutama di Semarang atas. Menurutnya tidak boleh ada toleransi adanya alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan agar tidak berdampak pada lingkungan di wilayah lainnya. Selain itu, beban pembangunan di Semarang bawah pun harus dipikirkan dengan baik, jika tidak akan membuat penurunan tanah semakin cepat.
“Alih fungsi lahan ini tidak boleh ada toleransi. Jadi yang sudah diatur di RTRW harus dipertahankan. Apalagi saat ini kondisi pemanasan global, air laut naik bahkan kondisinya lebih tinggi dari sebagian daratan. Jika tidak diperketat pengawasan secara komperhensif, tentu akan semakin parah,” tambahnya.
Menurut dia, pembangunan di Kota Semarang barus memiliki konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dirinya meminta alih fungsi lahan sebagai perumahan ini juga harus dilakukan audit secara keseluruhan. “Jika tidak berizin harusnya ditutup, jadi harus ada audit secara keseluruhan. Apalagi banyak temuan, banyak bencana di daerah Semarang bagian atas,” tegasnya.
Pemkot Semarang, kata dia, harus memberikan langkah tegas jika memang ada temuan pelanggaran dari pengembang perumahan. Misalnya, perumahan yang tumbuh di dekat daerah aliran sungai (DAS). Namun di lapangan, setelah dilakukan pengecekan ternyata memiliki izin KRK.
“Tangkapan wilayah atas ini harus dipertahankan, misalnya sawah atau kebun. Jika tidak ada air hujan langsung masuk ke saluran, atau sungai, tentu akan membanjiri Semarang bagian bawah. Karena tidak ada kawasan tangkapan air,” pungkasnya.
Sebelumnya, menurut pengamat sekaligus dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik USM, Bambang Sudarmanto, sebaiknya permasalahan banjir ditangani dengan pendekatan penanganan banjir secara berkelanjutan. Artinya tidak semata diatasi dampak banjir pada saat ini, tetapi juga mempersiapkan wilayah dalam antisipasi pra bencana.
“Jadi tidak fokus pada paska bencana banjir saja. Dengan demikian solusi bencana banjir juga bersifat antisipasi jangka panjang dengan memperhatikan faktor resiliensi atau ketangguhan lingkungan secara menyeluruh dalam skala kawasan,” katanya.
Dalam penanganan banjir di Kota Semarang, dikatakan Bambang, akan efektif jika diterapkan sesuai dengan kondisi topografi dan kelerengan wilayahnya masing-masing. Dirinya menggambarkan topografi Semarang punya keunikan sendiri, yaitu terbagi menjadi beberapa wilayah seperti Semarang bagian atas dan bagian bawah.
“Sedangkan wilayah atas, juga berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang, sehingga saling berkaitan dan memberikan pengaruh dan dampak pada lingkungan bagi kedua wilayah. Karakteristik di wilayah atas, topografinya dataran tinggi, lereng yang curam, sehingga butuh pendekatan khusus yang berwawasan lingkungan untuk mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan di wilayah atas tersebut. Karena bisa berdampak kepada potensi banjir di wilayah tersebut dan wilayah di bawahnya,” terangnya.
Untuk wilayah Semarang bawah, lanjut Bambang, misalnya daerah Tlogosari, Gayamsari, dan Genuk serta Semarang Utara, khususnya dan wilayah di Kota Semarang umumnya, solusinya sudah saatnya untuk mengenal konsep tentang memanen air hujan, yang bisa diterapkan dengan membuat konstruksi penampung air hujan di rumah.
“Sebab, di wilayah bawah atau topografi rendah, muka air tanahnya tinggi, dan tidak mampu lagi untuk menyerap curah hujan yang ekstrem walaupun dibuatkan sumur resapan. Jika air hujan yang turun tidak dipanen, akibatnya air menuju dan memenuhi sistem drainase dan sungai perkotaan. Sehingga bisa menyebakan banjir serta melimpas dan mengenangi kawasan permukiman dan jalan-jalan. Untuk memanen air hujan ini masyarakat bisa dengan membuat kolam tandon, atau tangki di bagian rumahnya untuk menampung air hujan, dengan inletnya dari talang atap rumah. Dan nantinya bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman, dan mencuci atau keperluan lain melalui proses penjernihan sederhana,” paparnya.
Lalu, untuk wilayah Semarang bagian atas yang memiliki permukaan tinggi, lereng yang curam ini, warga diedukasi agar mulai sadar dengan menjaga lingkungannya. Yakni menerapkan konsep kompensasi perubahan tataguna lahan dari landuse yang sebelumnya vegetasi berupa pepohonan menjadi non-vegetasi. Seperti misalnya ada bangunan rumah, industri dan jalan, dengan pembuatan sumur resapan dan dipadu dengan restorasi vegetasi di lokasi-lokasi yang memungkinkan.
“Jika seseorang menebang pohon satu batang, harusnya diganti dengan beberapa pohon yang baru untuk peremajaan di wilayah sekitar rumah secara individu maupun komunal, atau memberikan kompensasi dengan menggantinya berupa penyediaan ruang terbuka hijau. Tujuannya agar eksistensi vegetasi tetap terjaga. Dengan demikian air hujan tidak langsung menjadi aliran permukaan dan tidak ada penahan berupa akar pepohonan yang berfungsi membantu infiltrasi air ke dalam tanah,” paparnya. (sgt)