JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Carut-marut permasalahan yang muncul di lapas dan di rutan tak pernah mereda hingga sekarang.
Berkaca pada kasus warga Malaysia, Ahmad Fitri bin MD Latib yang harus kehilangan tiga jari tangannya akibat dipenggal oleh napi bernama Aming di Lapas Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan contoh lainnya yang mengusik penegakan hukum tak pernah tuntas.
Penganiayaan itu terjadi setelah Ahmad menagih hutang penjual narkoba yang nilainya sudah mencapai Rp 24 miliar yang tak dibayar oleh Aming. Sampai sejauhmana kasus itu ditangani, sepertinya hilang di telan bumi
Melihat berbagai kasus di lapas maupun di rutan itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menyoroti sistem dan kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).
“Ditjen PAS mempunyai wewenang cukup besar, ada anggaran dan sebagainya, adanya dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk pembenahan. Artinya ada tindakan bagi yang melakukan pelanggaran hukum berat ya diberi sanksi baik teguran sampai pemberhentian,” tegas Trubus, di Solo, Selasa (7/9/2021).
Pakar Kebijakan Publik itu mengatakan dari sisi leadership memang ada masalah di sini.
“Kalau tidak mampu (mengawasi-red) ya ajak masyarakat untuk berperan dalam pengawasan. Diberikan akses untuk ikut mengawasi. Seharusnya seperti itu,” terangnya.
Menurutnya, sistem pengawasan yang belum maksimal menjadi kelemahan mencolok. Dan yang menyedihkan, lanjut dia, kasus yang terjadi seperti budaya yang selalu berulang-ulang.
“Kelemahan dalam pengawasan menjadi problem tersendiri dan dari dulu saya selalu teriak-teriak. Kedua reformasi birokarasi yang belum dibenahi adalah pembenahan internal. Kan sudah ada SOP dan tupoksinya semuanya, prgoram sudah ada ya seharusnya dilaksanakan saja,” paparnya.
Trubus menilai masih banyak kasus serupa yang terjadi namun tidak sampai muncul di publik. Sinyal menutup-nutupi kasus yang terjadi di dalam lapas maupun di rutan menjadi catatan tersendiri bagi dirinya.
“Sekali lagi ini masalah integritas orangnya. Kalau memang ada masalah ya ganti saja Dirjen, Kanwil hingga Kalapas sampai sipir diberi sanksi sesuai aturan hukum dan digeser kedudukannya,” imbuhnya.
“Bisa ambil contoh insitusi Polri yang selalu merotasi anggotanya. Bisa dibuat semacam SOP tugasnya hanya dua sampai tiga tahun kemudian digeser. Ini akan efektif mencegah adanya sistem ‘tahu sama tahu’ jika terjadi suatu kasus di lapas maupun rutan,” beber Trubus, yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta.
Ditambahkan Trubus, pengawasan menggunakan sistem digitalisasi yang bisa diakses publik secara terbuka bisa menjadi solusi agar berbagai kasus hukum yang terjadi di lapas maupun rutan tak lagi muncul.
“Lapas itu kan masyarakat, jadi dalam pengawasan ya harus berkolaborasi dengan berbagai pihak sehingga akan ada masukan dari pakar, LSM, lembaga lain termasuk media. Digitalisasi pengawasan secara terbuka juga penting dilakukan,” tandasnya. (Dea)