Sidang Konsinyasi Proyek Bendungan Bener, Warga Wadas Keukeuh Tolak UGR

PEDULI WADAS: Aksi unjuk rasa menolak penggusuran warga Wadas di kantor Gubernur Jateng beberapa waktu lalu. FOTO:IST

JATENGPOS.CO.ID, PURWOREJO– Sidang konsinyasi atau pengajuan penitipan uang ganti rugi (UGR) atas lahan terdampak kuari untuk pembangunan Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo digelar. Warga terdampak pun tetap menolak menerima uang ganti rugi tersebut.

Sebelum konsinyasi digelar, pembayaran lahan terdampak Bendungan Bener sudah nyaris rampung dan hanya menyisakan beberapa bidang di Desa Wadas yang masih belum selesai. Uang ganti rugi sebenarnya sudah dibayarkan, namun pemilik tanah belum mau menerima.

Dalam sidang penetapan yang dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Purworejo, Purnomo Hadiyarto SH, di Pengadilan Negeri Purworejo, hakim menetapkan mengabulkan permohonan pemohon.

Kedua menyatakan sah menerima penitipan uang ganti kerugian sejumlah tersebut di atas kepada termohon bagi pembayaran ganti kerugian tanah dan tanam tumbuh atas tanah seluas tersebut untuk pembangunan Bendungan Bener Kabupaten Purworejo dan Wonosobo di Kabupaten Purworejo kepada termohon.

“Ketiga memerintahkan panitera Pengadilan Negeri Purworejo kelas 1B untuk melakukan penyimpanan uang ganti kerugian sejumlah tersebut di atas dan memberitahukannya kepada termohon. Keempat, membebankan biaya persidangan kepada pemohon,” kata Purnomo Hadiyarto saat membacakan penetapan, Selasa (4/6/2024).

Sidang tersebut mengungkap bahwa pihak BBWSSO sebagai pemohon menitipkan uang ganti kerugian 5 bidang tanah milik 3 warga atau termohon di Pengadilan Negeri Purworejo.

Adapun rincian kepemilikan lahan dan besaran ganti rugi dari 3 termohon yakni, atas nama Ribut dengan luas 1.999 meter persegi dengan nilai Rp 1,4 miliar, atas nama Ngatirin luas 1.538 meter persegi dengan nilai Rp 1,2 miliar dan Priyanggodo pemilik 3 bidang tanah dengan luas total 7.248 meter persegi dengan nilai total sekitar Rp 5,3 miliar.

Atas putusan ini, Kuasa Hukum termohon, Dhanil Al Ghifary, menuturkan jika upaya yang disampaikan tidak dijadikan bahan pertimbangan. Dengan perasaan sedih dan kecewa, pihaknya menyatakan bahwa mereka tetap menolak untuk menerima UGR.

“Paling tidak kami sebelumnya sudah menyampaikan upaya yang memang kami nilai penting untuk disampaikan meskipun tidak dijadikan bahan pertimbangan oleh majelis hakim,” ucap Dhanil usai sidang, seperti dilansir dari detikcom.

“Sejak awal kami memang menolak. Langkah selanjutnya mungkin akan kami diskusikan dengan warga dan beberapa kawan-kawan yang lain karena ini kan penetapan dari pengadilan, tentu ada beberapa upaya hukum yang bisa dilakukan atas itu tapi nanti memang perlu ada proses pendiskusian terlebih dahulu. Warga sendiri sampai hari ini belum menerima (UGR),” sambungnya.

Sebagai informasi, sebelumnya pemilik tanah sudah tiga kali dipanggil tapi tak juga hadir. Oleh karena itu, mengacu aturan, berkas dan seluruh uang mereka diserahkan ke Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO).

Atas dasar tersebut, pihak BBWSSO kemudian menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri Purworejo dan diregister pada tanggal 27 Mei 2024. Pihak pengadilan melalui panitera dan juru sita sudah melakukan penawaran pembayaran UGR kepada para pemilik sehari setelah teregister, namun mereka menolak atas penawaran tersebut.

Sidang konsinyasi pun kemudian digelar dengan pemohon dari BBWSSO dan selaku termohon adalah warga pemilik tanah. Sidang pertama digelar pada Senin (3/6) dengan agenda pembacaan permohonan dan pembuktian, kemudian sidang kedua digelar Selasa (4/6) kemarin dengan agenda kesempatan termohon untuk mengajukan keberatan dan bukti dilanjutkan pembacaan penetapan.

Sementara itu, Pelaksana Teknik PPK Pengadaan Tanah BBWSSO, Yura Suryandari, menyebut pihaknya hanya menitipkan uang tersebut kepada pengadilan. Jika suatu saat para pemilik ingin mengambilnya, maka dipersilakan kapan saja.

“Lima bidang milik tiga warga, totalnya sekitar Rp 7,9 miliar. Kami hanya sebatas menitipkan saja. Monggo mau diambil sewaktu-waktu bisa, uang tidak berkurang dan tidak berlebih, uang bisa diambil, kalau mereka sudah berubah pikiran ya monggo diambil utuh, nggak ada jangka waktu,” terangnya.

Diketahui, Bendungan Bener digadang-gadang bakal menjadi bendungan tertinggi di Indonesia dengan ketinggian sekitar 169 meter, panjang timbunan 543 meter, dan lebar bawah sekitar 290 meter. Realisasi megaproyek tersebut menelan APBN sekitar Rp 4 triliun.

Pembangunan bendungan tersebut membutuhkan sedikitnya 590 hektare lahan milik warga dari delapan desa. Enam desa di antaranya dari Kecamatan Bener yang meliputi Nglaris, Limbangan, Guntur, Karangsari, Kedung Loteng, dan Bener. Dua desa lainnya dari Kecamatan Gebang, yaitu Desa Kemiri dan Redin. Sementara Desa Wadas terdampak karena jadi lokasi kuari pembangunan bendungan. (dtc/muz)