Istilah ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) bagi SLB dan sekolah dengan sistem pendidikan inklusif tentu bukan hal baru. Mereka telah dipersiapkan untuk mengatasi segala permasalahan ABK. Namun, bagaimana jika ada ABK di sekolah umum dengan pendidik yang tidak memiliki kemampuan khusus? Apa yang dapat dilakukan guru agar pembelajaran yang dikelola dapat berjalan dengan baik dan memastikan semua peserta didik mendapatkan pelayanan yang sama sesuai kebutuhan belajarnya? Keputusan akhir yang sering diambil dengan menaikkan peserta didik ke tingkat berikutnya. Namun, hal ini ternyata menjadi masalah baru saat kami menemukan permasalahan yang sama di tahun berikutnya.
           Permenneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan ABK dijelaskan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Jenis ABK diantaranya; tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita, tuna netra, autis, anak lamban belajar, anak kesulitan belajar khusus, dan lain-lain. Anak- anak dengan kondisi tersebut memerlukan penanganan yang lebih serius demi meningkatkan kemampuan dan potensinya. Dalam kasus ini, yang menjadi sorotan yaitu anak dengan kesulitan belajar khusus.
           Pada pembelajaran Tema 1 Sub tema 1 mapel bahasa Indonesia KD 3.1 Menyimpulkan informasi berdasarkan teks laporan hasil pengamatan yang didengar dan dibaca, ternyata ada salah satu siswa yang tidak bisa membaca. Berdasarkan hasil observasi diperoleh bahwa anak mengalami kesulitan mengenal huruf dan membacanya. Berdasarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan menunjukkan kondisi anak normal, artinya usia, dan fisik sudah memenuhi bahkan di atas rata-rata usia teman sekelasnya. Hasil wawancara dengan guru dan orang tua menunjukkan bahwa anak kurang berminat dalam pembelajaran, sulit mengenal huruf dan mengucapkan ejaan. Selain itu orang tua tidak memberikan dukungan dan perhatian malah cenderung melarang anak untuk belajar, terutama dalam kelompok belajar. Hal ini semakin diperparah dengan lingkup pergaulan yang kurang sehat dan membiarkan anak bermain tanpa kenal waktu. Berdasarkan pertimbangan dan hasil temuan inilah, penulis berinisiatif menciptakan pembelajaran menyenangkan yang dapat membantu siswa memahami bahkan mampu membaca dengan benar.
           Langkah awal dengan menetapkan skala prioritas terhadap siswa, melakukan wawancara mendalam dan membuat alternatif kegiatan pendukung. Kedua, memberikan teks bacaan bergambar yang menarik untuk merangsang imajinasi siswa. Melatih siswa menceritakan gambar dengan kata- katanya sendiri, menulis kata yang diucapkan dari yang paling sederhana, mengeja dan membacanya berulang- ulang. Namun aktivitas ini belum menunjukkan hasil yang berarti. Siswa masih kesulitan mengenal huruf k, ny, q, ng, r, d, b dan huruf konsonan yang digabung seperti tr, pr, sp, kr, sy, dan yang lainnya. Ketiga, dengan membuat kartu warna atau yang disingkat ‘Karna’. Karna merupakan media yang terbuat dari kertas berwarna yang dipotong- potong berisi huruf maupun kartu kosong yang dijadikan media tulis. Cara bermain, 1) kertas dikumpulkan jadi satu seperti kartu domino, siswa mengambil kartu secara acak dan menebak huruf ( tebak huruf ). Hal ini bertujuan untuk melatih ingatan, mengenal huruf  dan ucapan yang benar.2) Memasangkan kata yang dieja maupun dibaca dengan tulisan yang sudah ditempel dikarton maupun dipapan yang tertutup.3) Mengulang kembali kata secara berurutan menjadi satu kalimat sederhana. Hal ni dapat dilakukan secara terus meners dan berulang dimulai dari kata yang sederhana ke sulit, tergantung tingkat pemahaman siswa. Melalui media karna ternyata siswa menunjukkan perubahan secara signifikan, dari yang awalnya hanya dapat mengucap satu sampai dua kata mampu membaca kalimat sederhana lima sampai 6 kata.
           Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui penggunaan media kartu warna dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa dengan kesulitan belajar khusus. Hal ini sejalan dengan penelitian K.Rini, dkk (2013), bahwa bahwa penerapan media kartu huruf dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan. Sesuai dengan pendapat Gagne bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. (https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPGSD/article/download/1441/1302).  Media Karna ( kartu warna) dapat dikembangkan lagi dengan berbagai tampilan yang lebih menarik seperti ditempel stiker yang disukai siswa. Pentingnya media disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan siswa agar proses belajar sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Oleh Titik Sumartini, S.Pd.SD
Guru SDN 6 Blingoh Donorojo Jepara