JATENGPOS.CO.ID, JAKARTA– Indonesia Corruption Watch (ICW) ikut menyoroti penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar. Ia ditangkap Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan pemufakatan jahat dan keji suap putusan kasasi 5 tahun penjara terhadap Ronald Tannur.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengungkapkan penangkapan Zarof oleh Kejagung harus dimanfaatkan untuk mengungkap praktik mafia peradilan.
Dalam penangkapan Zarof, pensiunan ASN, Kejagung menemukan uang nyaris Rp 1 triliun dan emas Antam seberat 51 kilogram. Diduga uang itu didapat Zarof dari pengurusan perkara yang dilakukannya sejak 2012.
“Penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, oleh Kejagung harusnya menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar kotak pandora mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman. Terlebih, petunjuk guna menindaklanjutinya sudah terang benderang, yakni, penemuan barang bukti berupa uang ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di kediaman Zarof,” kata Kurnia dalam keterangannya, Senin (28/10).
ICW, kata Kurnia, melihat setidaknya ada tiga potensi kejahatan Zarof yang harus didalami oleh penyidik Kejagung. Pertama soal suap-menyuap.
“Suap di sini terjadi bilamana uang atau emas yang ditemukan di kediaman Zarof adalah hasil dari pengurusan suatu perkara di MA atau pengadilan lainnya. Kami pun ingin ingatkan, sekalipun Zarof bukan hakim, namun tetap ada kemungkinan bahwa dirinya adalah broker atau perantara suap kepada oknum internal MA,” ujarnya.
Kedua soal dugaan gratifikasi. Delik ini dapat digunakan untuk penyidik menelusuri asal uang dan emas Zarof. Sementara terakhir soal dugaan pencucian uang.
Kurnia menuturkan penangkapan Zarof menambah panjang daftar hakim yang terjerat korupsi. Berdasarkan catatan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2023, setidaknya terdapat 26 hakim yang terbukti melakukan korupsi.
“Melihat kondisi lembaga peradilan yang semakin mengkhawatirkan, maka diperlukan langkah luar biasa untuk bersih-bersih mafia peradilan, sekaligus untuk mengembalikan citra lembaga peradilan di mata publik,” tutur Kurnia.
Juru Bicara MA, Yanto, mengatakan sudah banyak upaya yang dilakukan pihaknya dalam mencegah terjadinya permainan makelar kasus semacam yang dilakukan Zarof. Mulai dari adanya Komisi Yudisial (KY), Bawas MA, hingga Peraturan MA.
“Namun, toh masih ada kejadian yang demikian. Karena tentunya MA berkomitmen tidak akan melindungi anggota yang tidak benar,” ujar Yanto dalam jumpa pers di MA, Senin (28/10).
“Yang kedua ke depan tentu akan intensif akan selalu rutin melakukan pembinaan kepada hakim agar tidak lagi terjadi hal yang terjadi harus kemudian,” tambahnya.
Setelah adanya kejadian ini, Yanto menyebut, pimpinan MA bakal melakukan pembinaan dan pengarahan kepada seluruh pimpinan Pengadilan Tinggi, Pengadilan Agama, hingga Pengadilan Militer se-Indonesia.
“Dan tadi kebijakan pimpinan MA, memberikan kewenangan kepada ketua Pengadilan Tinggi untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu dalam hal terjadi penyimpangan, seperti itu ya,” ucapnya.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mendesak Kejagung mengusut asal muasal uang dan emas yang ditemukan di rumah bekas pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Temuan jumlah uang mencapai Rp 920 miliar dan emas 51 kilogram senilai Rp 75 miliar ini, sekaligus jadi momentum bagi Presiden Prabowo Subianto untuk membersihkan mafia peradilan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/10), mengatakan, penangkapan bekas pejabat MA, Zarof Ricar, serta tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi untuk membebaskan terdakwa Ronald Tannur menunjukkan bahwa mafia peradilan belum hilang dari lembaga peradilan di Indonesia.
Menurut Nasir, barang bukti uang dan emas yang ditemukan di rumah Zarof Ricar bisa saja sengaja dikumpulkan. Uang tersebut dikumpulkan untuk para oknum hakim agung atau hakim lainnya yang bisa diambil kapan saja setelah mereka pensiun. Sebab, jika langsung diberikan akan memunculkan risiko yang lebih besar.
”Jadi memang kalau Presiden ingin membersihkan dunia peradilan dari mafia-mafia peradilan, ini saatnya. Karena uangnya sangat fantastis. Uangnya sangat banyak, hampir Rp 1 triliun dan 51 kilogram emas,” kata Nasir, dilansir dari kompas.
Kasus itu, katanya, bisa jadi momentum yang tepat di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo yang ingin membersihkan institusi penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga peradilan, dari perilaku korupsi.
Presiden dapat segera memerintahkan Kejaksaan agar mengusut kasus itu hingga tuntas. Kejagung harus mengungkap asal usul dan tujuan pemberian uang dan emas tersebut, serta pihak mana saja yang terlibat dalam makelar kasus di pengadilan tersebut.
Di sisi lain, ada hal yang membuat publik bingung dengan fakta Zarof Ricar. Berdasarkan situs e-LHKPN KPK, Zarof menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK pada Maret 2022. LHKPN itu disetorkan Zarof untuk akhir jabatannya sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA.
Tercatat ia memiliki 13 bidang tanah dan bangunan dengan total nilai Rp 45,5 miliar. Tanah dan bangunannya itu tersebar di Jakarta Selatan, Bogor, Tangerang, Denpasar, Bandung, Cianjur, Solok, hingga Pekanbaru.
Sebanyak 11 dari 13 aset tanah dan bangunannya merupakan warisan. Lalu ia juga tercatat memiliki tiga mobil senilai Rp 740 juta. Mobilnya terdiri atas Toyota Kijang tahun 2016, VW Beetle tahun 2018, dan Toyota Yaris tahun 2021.
Kemudian, Zarof juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp 680 juta, kas dan setara kas Rp 4,4 miliar, serta harta lainnya Rp 66,4 juta. Total hartanya Rp 51.419.972.176 (Rp 51,4 miliar).
Sementara itu, Kejagung menyita uang senilai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kg dari kediaman Zarof Ricar di kawasan Senayan, Jakarta. Uang dan emas senilai Rp 1 triliun lebih itu itu didapatkan saat penyidik menggeledah kediaman Zarof. Terlihat modus simpan harta kekayaan di rumah untuk kelabui LHKPN. (kum/kom/dtc/muz)